Part 7
novel.goshere.xyz Situs Berbagi Cerita, Baca novel online gratis beragam cerita. Temukan aneka novel romance, novel horor, dan novel adult romance. Saat ini novel.goshere.xyz Situs Berbagi Cerita Part 7
"Sayang aku pengen itu dong. Feby menunjuk baju yang ada di salah satu toko di mall
"Beli lagi? belanjaan kamu itu kan udah banyak banget." Dimas mengarahkan matanya pada beberapa tas belanjaan yang di pegang oleh kekasihnya itu
"Tapi pengen yang itu, satu lagi deh ya. Please." bujuk Feby
"Nih cewe banyak banget sih permintaannya, pengen ini lah, itu lah. Emang dia pikir, gue atm pribadinya apa." kesal Dimas dalam hatinya. "Yaudah deh, tapi abis ini kita pulang ya." sahutnya mengiyakan
"Berarti kita langsung ke rumah dong, ketemu sama mama aku." Feby menyunggingkan seulas senyum di bibirnya
"Hah?." Dimas terlihat tercengang. "Jangan dulu deh, ada yang mau aku beli. Stok makanan aku udah abis." lanjutnya mencari alasan
"Hmm yaudah deh." Feby mengiyakan dengan terpaksa. "Dimas apaan sih, terus aja nyari alasan tiap gue ajak ke rumah. Padahal kan gue pengen Viona segera tau tentang hubungan gue sama dia ini, karena kalau gue kasih tau sendiri kurang seru." gerutunya dalam hati
Dimas pun mengajak Feby ke lantai bawah, setelah selesai membelikan baju untuk kekasihnya itu di lantai dua. Ia mulai mencari barang-barang keperluannya dan beberapa makanan untuk stok di apartemennya.
Di mall dan lantai yang sama. Viona tengah memilih sayuran dan bahan-bahan masakan lainnya bersama Dion untuk keperluan restoran. Sebenarnya sudah ada dua keranjang penuh yang dibawa oleh gadis itu, namun entah kenapa Dion masih saja memilah-milih bahan-bahan masakan yang ingin dibelinya.
"Lo mau beli berapa banyak lagi sih bahan-bahan masakannya? ini udah banyak banget tau ga." kesal Viona yang terlihat mengeluh
"Kenapa? pegel ya bawa dua keranjang sekaligus?." tanya Dion santai
"Ya jelaslah pegel, lagian kenapa sih ga pake trolli aja biar tinggal gue dorong." ketus Viona
"Kan sekalian olahraga, biar lo kuat." Dion menyunggingkan seulas senyum di bibirnya
"Olahraga, olahraga. Nyiksa orang ini mah namanya." kesal Viona
"Yaudah kalau lo pegel, sini biar gue yang bawa." Dion mengulurkan tangannya
"Ga usah, gue masih kuat." tolak Viona sambil tersenyum sinis
"Yaudah kalau lo masih kuat." Dion menarik kembali tangannya dan mulai melangkahkan kakinya menuju kasir
"Ih Dion." panggil Viona dengan kesal
"Kenapa?." Dion memutar kepalanya ke arah gadis itu
"Lo gimana sih, udah tau gue pegel. Main pergi gitu aja." ketus Viona
"Ya tadi kan lo sendiri yang bilang kalau lo masih kuat. Jadi ya gue pergi." Dion tersenyum kecil
"Duh lo tuh ya, jadi cowo peka dikit kenapa. Kalau gue bilang kuat, ya itu bukan berarti gue bener-bener kuat. Emang lo pikir tangan gue ini tangan besi bisa seenteng itu bawa dua keranjang penuh sekaligus?." sinis Viona
"Tangan besi, kenapa ga sekalian aja tangan baja." ejek Dion
"Ih lo tuh ya." Viona semakin merasa kesal
"Yaudah deh, sini biar gue yang bawa." Dion langsung membawa dua keranjang itu dari tangan Viona. "Makanya kalau butuh itu jangan gengsi." lanjutnya sambil tersenyum sinis
"Butuh? siapa juga yang butuh sama lo." sinis Viona lagi
"Lah ini buktinya." Dion mengangkat kedua keranjang yang dipegangnya
"Terserah lo deh." ketus Viona
"Jadi bener dong lo butuh sama gue, dan itu artinya lo nerima gue jadi temen lo." Dion tersenyum sambil menatap gadis itu
"Hah temen lo bilang?." Viona tersenyum ngeri
"Iyalah, kan semalem gue bilang kalau lo butuh sama gue berarti lo itu nerima gue jadi temen lo." Dion tersenyum simpul. "Semalem aja lo butuh sama gue pake meluk-meluk segala lagi, terus sekarang lo ngebutuhin gue juga." lanjutnya dengan suara cukup keras sambil mendekatkan wajahnya ke gadis itu
"Ih bisa ga sih lo ngomongnya ga usah keras-keras kaya gitu? disini itu banyak orang, nanti gue di sangka cewe apaan lagi." Viona menatap dengan kesal
"Lah emang kenapa? lagian bener kan, semalem lo meluk gue." Dion mengangkat alisnya sebelah
"Ih lo tuh ya." Viona langsung memukul lengan lelaki itu
"Ih pake mukul segala, pengen banget ya deket-deket sama gue." Dion tersenyum jail
"Arghh lo tuh ya. Tau ah ngeselin banget jadi orang." kesalnya langsung melangkah pergi
"Eh Viona mau kemana? tungguin, ini berat loh" panggil Dion
"Bodo amat." acuh Viona sambil terus berjalan meninggalkan lelaki itu
Namun saat di persimpangan jalan manuju kasir, Viona berpapasan dengan Feby dan juga Dimas yang membuat langkahnya terhenti dan badannya mendadak kaku.
"Viona." sahut Dimas yang terlihat begitu terkejut
"Viona? ngapain dia disini? ah bukan urusan gue. Yang terpenting, ini bagus biar hubungan gue sama Dimas segera terbongkar. Lagian, percuma juga gue ajak Dimas ke rumah, karena mereka ga bakal ketemu. Viona kan kerja, duh Feby bodoh banget sih lo sampai lupa hal ini segala." gumam Feby dalam diamnya
"Feby, kamu ngapain disini sama dia?." tanya Viona sambil menatap adiknya itu dengan heran
"Loh emang kenapa? Dimas kan sekarang pacar aku." Feby langsung menggandeng lengan Dimas dengan mesra
"Pacar? kalian pacaran?." Viona mulai merasa sesak
"Iya. Emang lo ga tau ya, setelah putus sama lo kan Dimas jadian sama gue." Feby tersenyum dengan bangga
"Apa?." Viona semakin merasa sesak
"Dan ga cuma itu, tapi juga lo harus tau kalau..."
Saat itu Dimas langsung menyenggol lengan Feby seolah memberi kode agar kekasihnya itu berhenti bicara.
"Biarin aja, biar dia tau." kesal Feby pada Dimas. "Gini ya Viona, lo mesti tau kalau orang yang disukai oleh Dimas dan ngebuat dia mutusin lo itu adalah gue." tegas Feby sambil tersenyum dengan puasnya
"Apa? jadi kalian?." Viona mulai meneteskan air mata dengan rasa sesak yang begitu menyiksa. "Ga, ini ga mungkin."
"Loh kenapa ga mungkin? jelas mungkin lah, kalau ga percaya tanya aja sama Dimasnya langsung." Feby tersenyum sinis. "Iya ga sayang?." lanjutnya sambil menyenggol lengan Dimas
"I-iya." sahut Dimas dengan nada berat yang membuat Feby kembali tersenyum dengan sangat puas
"Ga, ini ga mungkin." Viona semakin dan semakin merasa sesak, gadis itu pun langsung berlari ke luar mall dengan berurai air mata
"Viona." Dimas langsung membalikkan badan dan menatap kepergian gadis itu dengan sendu
Dari kejauhan, di posisi diamnya. Dion menatap kejadian tadi dengan penuh kebingungan. Siapa mereka? apa yang terjadi dengan Viona? dan kenapa Viona pergi sambil menangis? pertanyaan itu semakin membuatnya bingung. Tak ingin membiarkan Viona pergi lebih jauh, lelaki itu pun langsung berlari sambil membawa dua keranjang yang sangat penuh menuju kasir, setelah menatap Feby dan juga Dimas sekilas.
"Mba, ini belanjaan saya. Mba hitung dulu, nanti saya kembali lagi kesini setelah urusan saya selesai." sahut Dion yang langsung berlari cepat keluar mall
"Loh tapi mas." kasir itu mencoba menahan Dion, tapi sia-sia
Dion berusaha mencari keberadaan Viona di sekitar luar mall. Namun gadis itu tak ditemukannya. Lalu ia berlari meninggalkan mall, menyusuri jalanan di tengah teriknya matahari. Hingga akhirnya ia melihat gadis itu di pinggir jalan, tengah duduk di trotoar sambil menenggelamkan wajahnya dengan kedua tangan.
"Viona." Dion langsung berlari mendekati gadis itu
Dada Dion terasa sesak, saat melihat Viona begitu terisak dalam tangisnya. "Viona, lo kenapa?." tanyanya sambil memegang bahu gadis itu
Namun Viona tak menjawab, gadis itu malah semakin terisak dalam tangisnya.
Melihat hal itu, Dion merasa sangat khawatir. Lalu ia mulai menyadari jika dirinya dan Viona berada di tempat yang cukup membayakan.
"Viona, lo berdiri dulu." ajak Dion, namun Viona masih saja diam. "Viona." lanjutnya yang langsung menarik gadis itu untuk berdiri di atas trotoar
"Lo apa-apaan sih." Viona menepis pegangan Dion dengan begitu kesalnya
"Lo yang apa-apaan. Ngapain lo duduk di pinggir jalan kaya tadi, kalau lo ketabrak gimana?." Dion menatap dengan emosi
"Biarin aja gue ketabrak, biar gue mati sekalian." acuh Viona yang masih berurai air mata
"Lo kenapa sih?." Dion menatap gadis itu dengan lembut. "Apa mereka yang bikin lo nangis kaya gini?."
Viona langsung menatap ke arah Dion, ia mulai tersadar jika lelaki itu ada bersamanya saat kejadian tadi. Lalu ia menganggukkan kepalanya dengan begitu berat dan kembali terisak dalam tangisnya.
"Emang mereka siapa?." Dion menatap dengan penasaran
"Cewe itu adalah adik gue." lirih Viona dalam isak tangisnya
"Lalu cowo yang bersama adik lo itu?." Dion mengerutkan kening heran
"Dia adalah mantan gue." lirih Viona dengan suara yang terdengar semakin berat
"Adik sama mantan lo." Dion berusaha untuk memahami semuanya. "Apa itu artinya mereka?." lanjutnya sambil menatap lurus Viona
Viona kembali menganggukkan kepalanya dengan begitu berat. "Gue ga nyangka, kenapa mereka bisa setega itu sama gue." sahutnya sambil terduduk dengan lemas
Dion pun ikut terduduk dan menatap Viona yang tertunduk dengan begitu sendu.
"Mereka adalah orang yang sama-sama gue sayangi, tapi kenapa mereka bisa setega itu sama gue. Apa salah gue." Viona kembali menenggelamkan wajahnya, namun kali ini dengan satu tangan. "Awalnya gue berpikir, jika kejadian di malam itu adalah hal yang sangat menyakitkan. Tapi ternyata, kejadian yang tadi lebih menyakitkan lagi." lanjutnya dalam isakan tangis yang benar-benar menyiksa
"Kejadian malam itu? maksud lo?." Dion terlihat sangat kebingungan
Viona berusaha menguatkan dirinya untuk melanjutkan ceritanya. "Lo masih ingat saat pertama kali gue ketemu sama lo di tengah hujan deras malam itu?." sahutnya yang mulai menatap Dion kembali
"Iya gue inget, lalu hubungannya sama ini?." Dion menatap dengan begitu lembut
"Malam itu gue abis nemuin Dimas, cowo yang lo liat tadi. Dia nyuruh gue malem-malem datang ke taman tempat biasa gue dan dia ngabisin waktu berdua, tapi disaat perjalanan, gue terjebak macet, hingga akhirnya gue bela-belain jalan kaki 2 km hanya untuk dia. Tapi saat disana..." Viona kembali menenggelamkan wajahnya dengan satu tangan di diikuti tangisan yang semakin menjadi
"Udah, ga perlu lo lanjutin." Dion langsung memegang tangan Viona lainnya yang tertahan pada trotoar. "Gue tau, saat disana dia pasti mutusin lo kan? karena itu, lo jalan kaki malam-malam tanpa arah di tengah hujan deras, hingga akhirnya mobil gue hampir nabrak lo."
"Lo bener. Dan disaat itu gue bener-bener hancur, karena Dimas mutusin gue secara tiba-tiba tanpa ada masalah sebelumnya." Viona kembali menatap Dion. "Dan saat itu juga, dengan gampangnya dia bilang kalau dia menyukai orang lain, padahal selama ini gue sangat percaya sama dia. Gue percaya kalau dia ga bakal pernah menyakiti apalagi mengkhianati gue seperti ini." lanjutnya dengan air mata yang belum juga berhenti mengalir
"Jadi ini kejadian pahit di tengah hujan deras yang Viona maksud semalam, lelaki itu benar-benar pengecut. Dan adiknya sendiri bahkan tega mengkhianati Viona seperti ini." kesal Dion dalam hatinya. "Udah sekarang hapus air mata lo, pengkhianat seperti mereka ga pantas lo tangisi seperti ini." sahutnya sambil menghapus air mata Viona
Viona hanya terdiam sambil menatap lelaki yang berada di hadapannya itu.
"Lo ga pantes so cengeng kaya gini, lo lebih pantes bersikap sinis seperti biasanya." Dion mengangkat alisnya sebelah sambil tersenyum jail
"Ih lo tuh ya, masih aja ngeselin. Sekalipun dalam kondisi gue kaya gini." kesal Viona sambil memukul lengan Dion dengan wajah yang masih terlihat bersedih
"Nah gitu dong galak, ini baru Viona yang gue kenal." Dion menyunggingkan seulas senyum di bibirnya
"Kenapa Dion bisa semudah ini membuat gue kembali tenang disaat gue begitu rapuh. Padahal mama pun butuh waktu cukup lama untuk melakukannya." pikir Viona sambil terus menatap ke arah Dion
"Udah ga usah sedih-sedih lagi, sekarang juga lo bangun." Dion langsung menarik Viona untuk berdiri. "Kita balik lagi ke mall." lanjutnya sambil menatap lurus gadis itu
"Mau ngapain?." Viona mengerutkan kening heran
"Aduh, lo lupa ya tujuan awal kita pergi itu apa? buat belanja keperluan restoran kan? dan sekarang belanjaan itu gue titipin di kasir, gara-gara lo main pergi gitu aja." Dion menunjukkan wajah so kesal
Viona hanya tersenyum kecil. "Sorry ya." sahutnya lembut
"Ga masalah. Yaudah, ayo kita pergi sekarang." ajak Dion sambil menggenggam erat pergelangan tangan Viona
Seketika Viona pun langsung menatap ke arah pegangan itu, dan perlahan Dion mulai menyadari alasan Viona yang tidak juga melangkahkan kakinya.
"Eh sorry." Dion melepaskan pegangannya pada gadis itu dengan perlahan
Viona pun langsung mengerjapkan matanya, lalu kembali menatap ke arah Dion.
"Ayo pergi. Mau sampai kapan lo disini?." ajak Dion kembali
"Dion, makasih ya." Viona mengalihkan pembicaraan
"Makasih untuk?." Dion mengerutkan kening heran
"Makasih karena udah ngehibur gue dan bikin gue ga sedih lagi." Viona tersenyum begitu hangat
"Untuk yang pertama kalinya senyuman indah itu aku dapatkan darinya." gumam Dion dalam hatinya yang merasa begitu bahagia. "Siapa bilang gue ngehibur lo? orang gue ngelakuin itu biar ga kelamaan disini, panas tau ga lo." ketus Dion lalu melangkah pergi
"Eh Dion tunggu." Viona langsung berjalan mengikuti lelaki itu. "Cowo itu, tetep aja ngeselin. Padahal tadi udah lembut banget sikapnya." gerutunya dalam hati
Andai kamu tahu, jika panas yang ku katakan tadi. Bukanlah panasnya matahari. Tapi panasnya hatiku. Terasa begitu panas sekali saat kamu mengatakan di depanku, jika kamu mencintainya. Cemburu? mungkin itu yang ku rasakan sekarang.
Dan saat kamu mengatakan jika aku sedang menghiburmu, tentu saja itu benar. Karena aku tidak mungkin membiarkanmu sedih seperti itu. Bahkan sebenarnya, tadi itu aku ingin sekali menenangkanmu dalam pelukan hangatku. Namun rasanya terlalu lancang, karena aku tidak berhak memeluk orang yang hatinya masih untuk yang lain.
Tapi nanti, saat waktunya tiba. Aku akan selalu ada disaat kamu butuhkan. Aku akan menjadi penenang disaat sedihmu, aku akan menjadi pereda di setiap tangismu, dan aku pun akan menjadi alasan dari setiap senyumanmu. Semua perasaan di hati ini, akan ku curahkan seluruhnya. Disaat aku sudah berhasil meluluhkan hatimu.
"Itu pasti." gumam Dion tanpa terdengar oleh Viona yang berjalan di belakangnya
***
Ketenangan yang sudah dirasakan oleh Viona tadi seakan menguap begitu saja. Sekarang kesedihannya kembali menghampiri. Dadanya kembali terasa sesak. Dan lukanya kembali terkelupas, sangat menyakitkan. Bahkan raganya pun terasa lemah, terlebih ia harus memasuki rumah. Kakinya seakan enggan untuk melangkah, sangat berat.
"Ngga, aku ga bisa melihat Feby dulu untuk saat ini." lirih Viona yang mengurung niatnya kembali untuk membuka pintu
Langkah yang sudah mendekat pun kembali menjauh, badannya langsung berbalik arah dan membelakangi pintu rumah.
"Viona." panggil Vina yang tiba-tiba membuka pintu
Perlahan Viona pun kembali memutar badan dan menatap lurus mamanya itu. "Iya Ma." sahutnya sambil menyunggingkan seulas senyum di bibirnya
"Kamu mau kemana? bukannya kamu baru pulang." Vina mengerutkan kening heran
"Ga kemana-mana koq Ma, Viona cuma mau cari angin aja. Iya cari angin." Viona berusaha setenang mungkin. "Mama sendiri, mau kemana keluar malam-malam kaya gini?."
"Mama juga ga kemana-mana, cuma tadi mama kaya ngerasain aja kalau kamu itu udah pulang. Eh ternyata bener pas mama buka pintu, kamu udah ada di luar." jelas Vina dengan tenang. "Dan tadi mama juga kaya ngerasain kalau ada sesuatu yang terjadi sama kamu. Tapi, kamu gapapa kan sayang?."
"Viona gapapa koq Ma, itu cuma perasaan mama aja." Viona tersenyum meyakinkan. "Maafin Viona Ma, Viona belum bisa cerita sekarang." gumamnya dalam hati
"Yaudah kalau gitu, kita masuk yu. Mama udah siapin makanan buat kamu." ajak Vina sambil merangkul bahu anaknya itu
"Ga usah Ma, Viona udah makan koq tadi. Viona langsung ke kamar aja ya." tolak Viona lembut lalu mulai melangkah pergi
"Viona kenapa? ga biasanya dia kaya gini. Apa jangan-jangan dia menyembunyikan sesuatu ya dari aku." pikir Vina keras-keras
Sesampai di kamar, Viona langsung menghempaskan dirinya pada kursi kayu yang menghadap ke meja belajar kecil dan sederhana. Tempat biasa dimana ia mengerjakan tugas-tugas kuliah, menggali ilmu dari tumpukan buku, atau hanya sekedar berduduk santai.
Namun saat ini, bukan hal itu yang dilakukannya. Ia hanya terdiam untuk sejenak menenangkan diri. Namun bukannya mendapat ketenangan, gadis itu malah semakin mengingat kejadian tadi siang. Sangat jelas dan semakin jelas. Dadanya kembali terasa sesak, air mata pun mulai menetes dari pelupuk matanya.
"Kenapa mereka setega ini, kenapa." geram Viona sambil memukuli meja dengan kepalan tangan kanannya
Karena sudah tidak bisa menahan isakan tangisnya lagi, Viona pun langsung bangkit dan berlari ke tempat tidurnya. Menenggelamkan wajahnya pada sebelah tangan sambil menelungkup dengan begitu lemas. Dan terus-menerus terisak dalam tangis yang semakin menyiksa.
"Sayang, mama boleh masuk?." Vina mengetuk pintu kamar anaknya itu berulang kali
Namun karena tidak mendengar satupun jawaban, ia langsung membuka pintunya dan merasa terkejut ketika melihat Viona tengah menangis terisak-isak.
"Sayang, kamu kenapa?." Vina langsung mendekat setelah menyimpan segelas susu hangat yang dibawanya di atas meja belajar
Mulai menyadari keberadaan Vina, Viona pun langsung terbangun dan memeluk mamanya itu erat-erat.
"Kamu kenapa sayang?." tanya Vina sambil mengelus rambutnya Viona berulang kali. "Ada apa? ada yang membuat kamu terluka lagi?." lanjutnya yang langsung melepaskan pelukannya
"Dimas Ma." lirih Viona dengan sangat berat
"Dimas? kamu nangis kaya gini hanya karena dia lagi?." Vina terlihat langsung kesal. "Ngga sayang, air mata kamu terlalu berharga untuk menangisi lelaki seperti itu." lanjutnya sambil menghapus air mata anaknya itu
"Tadi Viona ketemu sama dia Ma, dan juga pacar barunya." lirih Viona kembali
"Kamu menangis hanya karena hal itu? ngga sayang, lupakan dia. Dan jangan pernah memikirkannya lagi." tegas Vina
"Tapi Ma, Viona kenal sama perempuan itu." Viona kembali meneteskan air matanya
"Kamu kenal sama dia? siapa? siapa dia? apa dia teman kamu?." tanya lurus Vina
"Dia..." Viona tidak kuat untuk meneruskan kata-katanya
Ia benar-benar tidak bisa mengatakan kebenaran itu pada mamanya. Karena dalam hati kecilnya, ia tidak menginginkan timbulnya pertengkaran yang akan terjadi setelahnya. Meskipun sebenarnya ia ingin sekali mencurahkan semuanya, karena saat ini ia benar-benar rapuh dan membutuhkan sandaran.
"Kenapa kamu diam? siapa orang itu?." tanya Vina kembali
Viona malah kembali merasa sesak, dan terus meneteskan air matanya sambil mulai menunduk.
"Sayang." Vina langsung mengangkat dagunya Viona. "Apa orang itu adalah Feby?."
"Mama tau dari mana?." Viona nampak begitu tercengang
"Jadi ternyata benar? dia sangat keterlaluan." Vina menunjukkan wajah penuh amarah
"Tapi mama tau dari mana?." Viona mengulangi pertanyaannya
Setelah menghela nafas sejenak, Vina pun menceritakan semuanya. Semua hal yang membuatnya curiga pada Feby. Dari mulai ia merasakan ada hal yang aneh karena anak keduanya itu bersikap sangat santai saat Viona putus dari Dimas. Lalu ia sendiri pernah memergoki Feby tengah menelepon seorang lelaki, dan pada saat itu Feby menyebutkan nama 'Dimas'. Dan ia juga pernah melihat anak keduanya itu diantar pulang oleh seorang lelaki yang mirip dengan Dimas beberapa malam yang lalu, namun karena ia hanya melihatnya dari balik jendela, ia tidak bisa memastikan apakah lekaki itu benar-benar Dimas atau bukan.
"Sebenarnya saat itu juga mama ingin langsung memberitahu kamu soal ini. Tapi mama takut kalau kecurigaan mama itu salah, makanya mama memilih untuk diam dulu sampai terbukti kebenarannya." jelas Vina sambil menatap Viona dengan sangat lembut. "Tapi sekarang sudah jelas, mama harus memberikan pelajaran pada Feby." lanjutnya yang langsung berdiri dengan bercampur emosi
"Ma, mama tenang dulu ya. Kita bisa bicarakan ini dengan baik-baik." Viona pun ikut berdiri dan langsung menahan mamanya itu
"Bicara baik-baik gimana maksud kamu? apa selama ini sikap dia ke kamu itu baik? ngga sayang, dia selalu bersikap ga baik." tegas Vina. "Dan mama selalu sabar menghadapi dia, karena mama berpikir dia bisa berubah. Tapi dengan kesalahannya yang sekarang, mama ga bisa tinggal diam lagi." sahutnya yang terlihat semakin emosi dan langsung keluar dari kamarnya Viona
"Ma, mama." Viona mencoba menahan kembali, namun sia-sia
Vina langsung bergegas cepat menuju kamarnya Feby yang berada di sebelah kamarnya Viona, dekat jalan menuju dapur.
"Feby, buka pintunya. Mama ingin bicara sama kamu." panggil Vina untuk kesekian kalinya sambil terus mengetuk pintu kamat anak keduanya itu. "Feby." panggilnya lagi dengan marah
"Ada apa sih Ma, malam-malam gini ganggu orang tidur aja." kesal Feby
"Masih mending mama mengganggu orang tidur, daripada kamu mengganggu hubungan orang." sahut Vina dengan tajam
"Mengganggu hubungan orang? maksud mama apa sih, suka ngaco deh kalau ngomong." Feby menunjukkan wajah polos
"Kamu ga usah masang wajah seolah tidak tau apa-apa seperti itu. Mama udah tau semuanya." tegas Vina
"Tau? tau apa?." Feby mengerutkan kening heran, lalu pandangannya tertuju pada Viona yang berdiri dibelakang mamanya itu. "Oh apa jangan-jangan si anak emas itu udah ngadu sama mama." gumamnya dalam hati
"Kamu kan yang sudah menghancurkan hubungan kakak kamu sama Dimas? dan itulah alasan kenapa kamu bersikap sangat santai saat mengetahui kakak kamu putus dari Dimas, karena kamu sendiri yang telah merebut lelaki itu." Vina menatap dengan sangat tajam. "Dan lelaki yang mengantarkan kamu pulang beberapa malam yang lalu itu adalah Dimas, bukan Iqbal seperti yang kamu katakan."
"Sial, ternyata selama ini mama curiga sama aku." kesal Feby dalam hatinya
"Kenapa kamu diam? benar kan apa yang mama bilang barusan?." tanya Vina tajam. "Dan Dimas yang kamu telepon waktu itu adalah Dimas yang sama dengan Dimas pacarnya kakak kamu." lanjutnya semakin tajam
"Iya. Mama benar, memang aku yang merebut Dimas dari Viona." sahut Feby dengan nada tinggi. "Dan sekarang mama mau apa? mama mau marah sama aku? mama mau membela dia lagi seperti biasanya? iya?." lanjutnya dengan tatapan tak kalah tajam
"Feby." Vina langsung melayangkan sebuah tamparan keras pada pipi kanan anak keduanya itu
"Mama." Viona langsung mendekat dan memegang erat lengannya Vina. "Udah Ma, kita bisa bicarakan semuanya dengan baik-baik." lanjutnya dengan sikap tenang
"Alahhh diem deh lo, ga usah so ngebela kaya gitu. Dan ga usah cari muka lagi di depan mama." sahut Feby sambil menatap Viona dengan sangat tajam
"Kakak sama sekali ga ngebela kamu, kakak cuma ga mau kamu bicara tidak sopan seperti ini sama mama." tegas Viona
"Ga sopan? terus gue mesti ngomong kaya gimana? gue mesti ngomong kaya lo gitu, yang so lembut, so baik demi untuk menjadi anak emas di rumah ini."
sinis Feby
"Jaga bicara kamu Feby." Vina hampir melayangkan kembali tamparannya
"Ma, jangan." Viona langsung menahan mamanya itu
"Apa salah Viona sama kamu? sampai kamu setega ini sama dia. Apa kamu sadar dengan apa yang kamu katakan tadi?." tanya lurus Vina
"Iya, aku sangat sadar. Dan kalau mama mau tau salah dia apa, salah dia itu banyak. Dia udah mengambil semuanya dari aku, kasih sayang mama, kasih sayang papa, semuanya dia ambil. Bahkan mama selalu lebih memperhatikan dia dibandingkan aku." tegas Feby. "Di mata mama aku itu selalu salah, dan dia yang selalu benar. Dan mama mau tau kesalahan terbesar apa yang dia lakukan? dia udah membuat mama lupa kalau mama itu punya anak lagi selain dia." lanjutnya dengan tajam
"Apa? jadi ini alasan kenapa belakangan ini sikap Feby berubah sama aku, dan ini juga yang membuat dia tega merebut Dimas dari aku." pikir Viona dalam diamnya
"Bicara apa kamu? mama ga pernah membeda-bedakan antara kamu sama kakak kamu, kalian berdua sama bagi mama. Sama-sama mama sayangi." jelas Vina tak kalah tajam. "Dan apa kamu ga sadar, selama ini Viona selalu mengalah untuk kamu. Dia selalu lebih mementingkan kamu dibanding dirinya sendiri. Dan dia sama sekali ga pernah melakukan apa yang kamu tuduhkan tadi, dia selalu menyayangi kamu. Tapi apa ini balasan kamu untuk dia?."
"Tuh mama belain dia lagi kan sekarang, selalu aku yang salah di mata mama. Bahkan mama sampai nampar aku hanya karena dia, mama ga pernah memperdulikan aku sedikitpun. Yang mama pedulikan cuma Viona, Viona dan Viona." sinis Feby
"Feby, harus gimana lagi mama jelasin ke kamu. Mama sayang sama kalian berdua, dan mama juga selalu memperdulikan kamu tapi kamu ga pernah menyadarinya karena diri kamu dipenuhi oleh kebencian yang tak seharusnya." tegas Vina. "Dan kalau sekarang mama marah dan sampai nampar kamu, bukan karena mama ga sayang. Justru mama sangat sayang sama kamu, mama ingin kamu menyadari kalau yang kamu lakukan ini salah."
"Oh yang aku lakukan salah, terus mama pikir yang selama ini mama lakukan sama aku itu benar? mama menganggap anak yang satu sebagai anak emas, dan mama menganggap anak yang lainnya sebagai anak tiri. Apa itu benar menurut mama?." tanya tajam Feby
"Feby." Vina menggeleng tak percaya
"Kenapa mama ga terima disalahkan seperti itu? sama Ma, aku juga ga terima disalahkan seperti ini. Tapi kalau emang mama mau menyalahkan aku atas apa yang telah aku lakukan, lebih baik mama salahkan diri mama sendiri dulu. Karena semua ini ga akan terjadi, kalau mama ga pernah pilih kasih." tegas Feby yang kemudian langsung masuk kembali ke dalam kamar dan menutup pintunya dengan sangat keras
"Feby." panggil Vina dengan nada tinggi
Seketika Viona menjadi sangat lemas setelah melihat pertengkaran itu. Hubungan adik dan mamanya menjadi memburuk hanya karena dirinya. Hanya karena ketidakberdayaannya untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.
"Kita kembali ke kamar yu, biarkan aja adik kamu itu. Biarkan dia menyadari kesalahannya." ajak Vina masih dengan wajah amarah
"Tapi Ma, semua ini terjadi karena Viona. Mungkin Feby emang benar, Viona udah..."
"Sayang, kamu ga perlu memasukkan kata-kata Feby tadi ke dalam hati. Karena itu semua ga benar. Kamu ga pernah mengambil apapun dari dia." sela Vina
"Tapi Ma." Viona mencoba membela
"Udah, mendingan kamu masuk ke kamar sekarang. Jangan pikirkan masalah ini, dan jangan pernah mengingat lelaki itu lagi." suruh Vina dengan sedikit tegas
Viona hanya menuruti dengan lemas. Kakinya pun terasa berat untuk melangkah, dadanya masih terasa sesak. Perlahan ia menutup pintu kamarnya rapat-rapat, lalu pandangannya tertuju pada sebuah jas yang mengantung di belakang pintu. Jas hitam yang dipinjamkan oleh Dion kemarin malam. Tangannya pun seolah tergerak untuk mengambilnya, lalu dipeluknya jas itu dengan sangat erat, hingga dirinya menjadi lebih tenang dan mulai terlelap tidur.