Part 54 LOVE IN RAIN
novel.goshere.xyz Situs Berbagi Cerita, Baca novel online gratis beragam cerita. Temukan aneka novel romance, novel horor, dan novel adult romance. Saat ini novel.goshere.xyz Situs Berbagi Cerita Part 54 LOVE IN RAIN
Viona baru saja memasuki ruang operasi, bersama dua orang suster yang mendorong ranjang tempatnya terbaring sekarang. Sama-sama menggunakan baju Operation Kamer atau baju berwarna hijau yang biasa digunakan saat di ruang operasi. Ya, hari ini adalah jadwal operasi matanya. Karena beberapa hari yang lalu tiba-tiba saja ada malaikat penolong datang, dan bersedia mendonorkan matanya yang kebetulan cocok dengan kornea mata milik Viona.
Sebenarnya Viona tidak tahu siapa malaikat penolongnya, karena orang itu menyembunyikan identitasnya. Kabar tentang operasi ini pun ia dapatkan dari dokter spesialis matanya.
"Tunggu dulu sebentar ya Mba, dokternya masih menyiapkan perlengkapan yang lain. Sekaligus menunggu pendonornya datang juga." sahut salah seorang suster saat sudah berada di dalam ruang operasi
"Iya sus." Viona tersenyum santai
Lalu kedua suster itu pun beranjak beberapa langkah dari Viona untuk memeriksa perlengkapan yang sudah ada.
"Kamu tau ga siapa pendonor mata itu?."
"Ngga. Kan identitasnya juga dirahasiakan, jadi ga ada seorang pun yang tau siapa dia kecuali dokter Eros."
"Iya sih, tapi aku denger-denger nih ya. Katanya orang itu kekasihnya Mba Viona."
"Hah? Maksud kamu Mas Mas ganteng yang selalu nemenin Mba Viona setiap kali periksa?."
"Iya."
"Wah beruntung banget ya bisa dicintai sama lelaki ganteng dan rela berkorban kaya gitu."
"Mereka lagi ngomongin apaan sih?." pikir Viona yang mendengar suara obrolan itu samar-samar, karena kedua suster tersebut memang berbicara dengan pelan. "Eh tapi tunggu deh, tadi koq mereka kaya ngebahas soal operasi dan kekasih gitu. Apa hubungannya? Terus kekasih siapa yang mereka maksud?."
Viona mencoba memutar otaknya keras-keras. Hingga nama Dion terlintas di pikirannya. Karena kekasihnya itu tidak bisa menemaninya untuk operasi hari ini, bilangnya ada urusan penting. Tapi biasanya Dion selalu lebih mementingkannya dibandingkan urusan yang lain.
"Apa mungkin yang mereka maksud itu adalah Dion? Karena dia kan ga biasanya ga bisa nemenin aku kaya gini, cuma sekedar periksa aja dia selalu nemenin meski lagi sibuk banget, masa untuk hal yang besar seperti operasi ini dia malah lebih milih mentingin urusannya." Viona semakin berpikir keras. "Tunggu tunggu, Dion kan pernah bilang kalau dia akan memastikan sendiri agar aku bisa melihat lagi. Apa jangan-jangan ini yang dia maksud? Dia mendonorkan matanya untuk aku? Arghh ngga, ngga. Ga mungkin."
"Tapi dari semua kemungkinan itu bisa saja benar. Apa iya Dion melakukannya untuk aku? Kalau sampai iya, aku ga akan membiarkannya." Viona menyudahi pikirannya dan langsung bangkit dari posisi terbaringnya
"Loh Mba Viona mau kemana?." salah satu suster langsung menghampiri, lalu beberapa saat kemudian disusul oleh suster yang satunya
"Saya mau bertemu dulu dengan orang yang ingin mendonorkan matanya untuk saya." jelas Viona
"Loh kan dokter Eros sudah bilang kalau orang itu tidak ingin diketahui identitasnya. Jadi sebaiknya, Mba disini aja karena operasinya akan segera dilakukan. Nanti juga orangnya kesini koq." sahut suster yang satunya
"Iya kesini, tapi disaat kalian sudah membuat saya tak sadarkan diri kan?." tanya Viona lurus
"Mohon maaf Mba, itu kan demi terjaganya identitas pendonor. Karena dia memang sama sekali tidak ingin diketahui baik identitas maupun suaranya."
"Suaranya? Kenapa tidak? Saya mengenal orang itu?." Viona membuat suster itu tak berkutik lagi, karena tanpa sadar telah berbicara demikian. "Suster jawab saya, kenapa saya ga boleh tau? Memangnya kalau saya mendengar suaranya kenapa? Bukankah saya juga ga kenal dia siapa, atau jangan-jangan saya kenal sama orang itu? Iya?." tanyanya dengan tegas setelah kedua suster itu terdiam cukup lama
"Dokter Eros kemana ya sus? Koq tadi saya ke ruangannya, dia ga ada."
Tiba-tiba seseorang masuk ke ruangan itu dengan menggunakan baju yang sama seperti Viona dan kedua suster itu.
"Dion." sahut Viona yang mengenal betul suara kekasihnya
Seketika seseorang itu yang memang Dion betul terkejut bukan main. Karena seharusnya saat ia memasuki ruang operasi, Viona sudah dalam keadaan tak sadarkan diri. Bukan seperti sekarang.
"Dion, itu kamu kan?." Viona menggerakkan matanya ke arah suara yang terdengar tadi. "Kamu ngapain disini?."
Dion pun langsung memberikan kode kepada kedua suster itu, seolah meminta mereka agar tidak memberitahu Viona tentang keberadaannya.
"Dion? Dion siapa ya Mba? Ini pendonornya dan namanya bukan Dion." sahut salah seorang suster
"Loh suster koq bisa tau? Bukannya tadi suster bilang pendonor itu menyembunyikan identitasnya? Dan hanya dokter Eros saja yang mengetahui identitasnya." Viona kembali membuat kedua suster itu tak berkutik
Ia berbicara seperti itu karena ia mulai mengingat obrolan kedua suster tadi, ia sekilas mendengar jika mereka juga membicarakan tentang identitas pendonor yang tidak diketahui siapapun kecuali oleh dokter Eros.
"Kenapa diam?." tanya Viona lurus
Tapi tak ada satu suara yang pun terdengar, entah apa yang terjadi sekarang. Viona memang tidak bisa melihatnya, tapi ia bisa merasakan ada keanehan disini. Dan ia sangat meyakini bahwa seseorang yang tadi adalah Dion.
Lalu Viona pun mencoba turun dari ranjang tempatnya berada sejak tadi, menyasar sesuatu yang bisa menjadi pegangan. Namun nampak kesusahan. Kedua suster pun mencoba membantunya, tapi ia menepis pegangan mereka. Dan langsung melangkah menuju arah suara yang ia yakini suaranya Dion itu.
Hingga Viona tak menemukan jalan yang benar, kakinya terbentur ujung ranjang yang berbahan keras.
"Viona." Dion tak mampu bungkam lagi ketika kekasihnya itu nyaris saja terjatuh
"Jadi kamu beneran disini?." tanya Viona saat tubuhnya berada dalam pegangan Dion
Seketika Dion kembali terdiam, karena ia tidak tahu harus mengatakan apa kepada gadis cantiknya itu.
"Dion." panggil Viona kepada Dion yang masih tetap memegangnya. "Jawab pertanyaan aku, atau aku ga mau bicara lagi sama kamu."
"Oke oke, aku memang ada disini." Dion mulai bersuara kembali
"Sedang apa kamu disini?." tanya Viona lurus
"Aku..." Dion merasa tak mampu untuk menjelaskannya, karena ia yakin Viona pasti akan marah kepadanya
"Jelaskan semuanya sama aku." pinta Viona
"Lebih baik kamu duduk ya, kamu harus tenang. Karena hari ini kamu kamu mau di operasi dan setelah itu kamu akan bisa melihat lagi." Dion mencoba membawa Viona kembali ke atas ranjang
"Ngga." Viona langsung menepis pegangannya Dion. "Sekarang juga aku minta sama kamu, jelaskan semuanya. Untuk apa kamu datang kesini? Bukannya kamu yang bilang kalau kamu ga bisa nemenin aku karena ada urusan yang penting. Lalu sekarang, kenapa kamu bisa ada disini?." tanyanya penuh penegasan
"Ya urusan aku udah selesai sayang, makanya aku kesini untuk nemenin kamu." Dion mencoba mencari alasan
"Ga mungkin, ga mungkin bisa selesai secepat itu." Viona tersenyum tak percaya
"Kamu harus percaya dong sama aku, karena aku kan ga mungkin bohong apalagi menutupi sesuatu dari kamu." Dion mencoba meyakinkan
"Tapi sekarang aku merasakannya. Aku merasakan kalau kamu sedang berbohong dan menutupi sesuatu dari aku." tegas Viona. "Jadi sekarang aku minta kamu jujur sama aku. Sedang apa kamu disini? Dan kenapa kamu sampai mencari dokter Eros? Untuk apa?."
"Ya aku mau menanyakan operasi kamu udah mulai atau belum, dan ternyata setelah kesini operasinya belum dimulai." Dion mencoba sesantai mungkin
"Kamu masih juga tidak mau jujur sama aku?." Viona nampak kecewa
"Arghhh kenapa aku bisa seceroboh tadi, langsung masuk ke ruang operasi begitu saja. Dan sekarang apa yang harus aku katakan sama Viona." pikir Dion sambil mengusap wajahnya frustasi
"Oke kalau emang kamu ga mau jujur, gapapa koq. Yang jelas sekarang aku bisa menyimpulkan sendiri kalau yang aku pikirkan itu memang benar, kamu adalah orang yang ingin mendonorkan matanya untuk aku." sahut Viona. "Tapi aku tidak akan pernah mau menerimanya." lanjutnya yang langsung beranjak pergi
"Kamu mau kemana? Operasinya sebentar lagi akan di mulai." Dion langsung menahan Viona
"Ngga, operasi ini ga akan pernah terjadi. Karena aku ga akan mau menerima donor mata dari kamu." tegas Viona
"Memangnya kenapa kalau aku yang mendonorkan mata itu untuk kamu? Yang penting kamu bisa melihat lagi kan, kamu ga perlu mikirin siapa orang yang mendonorkannya." sahut Dion tanpa sadar
"Apa? Jadi benar kamu adalah pendonor mata itu? Kamu adalah orang yang ingin mendonorkan matanya untuk aku?." Viona nampak terkejut dan tak percaya
"I-iya." Dion pun akhirnya mengakui
"Untuk apa?." tanya Viona yang langsung menjauh
"Ya untuk membuat kamu bisa melihat lagi, karena aku ga mau kamu terus-menerus merasakan kepahitan di dalam hidup kamu. Apalagi dengan kegelapan yang kamu rasakan sekarang." jelas Dion
"Tapi kamu ga perlu kaya gini, dengan kamu selalu ada di samping aku aja itu udah lebih dari cukup. Aku ga mau merasakan lagi hadirnya cahaya dalam hidup aku, jika akhirnya kamu yang harus merasakan kegelapan itu." Viona mencoba membuat kekasihnya itu mengerti
"Tapi sayang..."
"Udah cukup, dengan kamu yang selalu ada bersama aku aja itu udah cukup jadi penerang dalam kegelapan yang aku rasakan. Aku ga butuh mata kamu, aku hanya butuh kamu." sela Viona. "Lebih baik aku buta selamanya daripada harus membiarkan orang yang aku cintai mengorbankan hidupnya seperti ini."
"Tapi sayang, aku cuma ingin membuat kamu bahagia dengan bisa melihat lagi semuanya." Dion mulai mendekat
"Kamu pikir aku akan bahagia jika aku bisa melihat lagi, sedangkan kamu menjadi buta?." tanya Viona dengan penuh penegasan. "Ngga Dion, justru kepahitan itu akan semakin aku rasakan. Aku ga akan pernah bisa bahagia di atas penderitaan kamu." sahutnya dengan dengan tegas
"Aku ga akan menderita, aku akan bahagia jika aku bisa membuat kamu bahagia." balas Dion tak kalah tegas
"Jangan menjadi bodoh hanya karena cinta yang kamu miliki terhadap aku. Kamu bisa ngomong segampang ini, karena kamu belum merasakannya." tegas Viona lagi. "Tapi nanti, setelah kamu beneran buta. Kamu akan merasakan semua yang aku rasakan saat ini, dan aku yakin kamu akan menyesalinya."
"Aku memang merasa menderita dengan kenyataan ini, tapi aku bisa tetap kuat karena kamu yang selalu ada untuk menguatkan aku. Jadi aku mohon sama kamu, kalau memang kamu sayang sama aku batalkan operasi ini. Cinta memang butuh pengorbanan, tapi pengorbanan yang benar itu untuk membuat kedua belah pihak bahagia, bukan hanya untuk membahagiakan satu pihak."
"Kalau kamu masih tetap ingin melanjutkan operasi ini, jangan harap kamu bisa mengenal aku lagi."
"Maksud kamu apa?." Dion mengerutkan kening heran
"Lebih baik kita berhenti saling mengenal, daripada aku harus menghancurkan hidup kamu hanya untuk kebahagiaan aku." tegas Viona lagi dan lagi
Seketika Dion terdiam, ia mencoba memikirkan semuanya. Ini pilihan yang berat untuknya. Ia jelas tidak ingin melihat Viona menderita karena harus buta selamanya, tapi ia lebih tidak ingin jika akhirnya Viona pergi lagi meninggalkannya.
"Yaudah kalau kamu tidak mau membatalkannya, tapi aku juga tidak akan pernah mau melakukan operasinya. Lebih baik cukup sampai disini." Viona kembali beranjak pergi
Tapi Dion langsung menariknya ke dalam dekapan dan memeluknya dengan sangat erat. "Maafin aku." sahutnya dengan rasa penyesalan yang mendalam
***
Viona, Marisa dan Anggara tengah menikmati makan malamnya bersama Vina dan juga Feby. Ya, mereka memang sengaja mengundang ibu dan anak itu agar kedekatan mereka yang sempat renggang kembali menjadi erat.
"Oh iya, perasaan dari tadi ga ngelihat Dimas. Dia kemana ya?." tanya Feby di sela-sela waktu makan
"Dia masih di kantor, pekerjaannya lagi numpuk. Tapi tadi sih pas nelepon bilangnya bentar lagi beres, mungkin kalau keburu dia ikut makan malam bareng kita." jelas Anggara dengan santai
"Oh gitu." Feby mengangguk paham
Mendengar nama Dimas, Vina langsung menatap ke arah Viona yang duduk disebelahnya. Karena yang ia tahu, hubungan Viona dan Dimas masih belum membaik semenjak Viona buta. Ingin sekali ia menanyakan tentang hubungan adik kakak itu sekarang, tapi waktunya dirasa kurang tepat. Ia tidak ingin merusak suasana.
"Makan lagi ya sayang." Vina kembali menyuapi Viona setelah tadi sempat terhenti
Hingga tiba-tiba saja Marisa menjatuhkan sebuah gelas ketika ia hendak mengambil minum.
"Mama kenapa?." tanya Anggara lurus
"Hah? Gapapa koq Pa, mungkin tangan mama licin jadi gelasnya jatuh." Marisa nampak terperanjat. "Kenapa perasaan aku jadi ga enak gini ya." pikirnya dalam diam
"Mama beneran gapapa?." tanya Viona yang merasa aneh karena sebelumnya Marisa tidak pernah seceroboh tadi, mamanya itu selalu melakukan semua hal dengan hati-hati
"Gapapa koq sayang." Marisa tersenyum setenang mungkin
Lalu ia pun memanggil salah seorang pelayan untuk membersihkan pecahan gelas itu. Hingga ponsel Anggara berdering, dan seketika ia langsung menoleh ke arah suaminya itu.
"Hallo Dimas, kamu dimana?."
"Iya, saya sendiri. Ini siapa ya? Kenapa menggunakan ponsel anak saya?."
"Apa?."
"Terus sekarang keadaannya gimana?."
"Di rumah sakit mana?."
"Baik saya kesana sekarang juga."
"Dimas kenapa Pa?." tanya Marisa dengan perasaan yang semakin tidak enak
"Dimas mengalami kecelakaan dan sekarang dia ada di rumah sakit." jelas Anggara setenang mungkin
"Apa?." Marisa mendadak lemas seketika. "Gimana keadaan Dimas Pa?."
"Tadi orang yang nelepon papa bilang, keadaannya kritis. Jadi lebih baik kita kesana sekarang juga." ajak Anggara
Hingga mereka semua pun langsung pergi dengan penuh kepanikan dan ketakutan jika sesuatu paling buruk terjadi kepada Dimas.
"Suster permisi, saya mau menanyakan pasien yang bernama Dimas Adi Anggara. Dia korban kecelakaan yang baru dibawa kesini, dia berada di ruang mana ya sekarang?." tanya Anggara saat mereka baru saja tiba di tempat receptionist
"Permisi, apa kalian keluarganya saudara Dimas? Tadi saya yang menghubungi untuk memberitahu keadaannya." tiba-tiba seorang suster lain menghampiri mereka
"Iya sus, saya mamanya. Dimana anak saya sekarang?." tanya Marisa dengan penuh kekhawatiran
"Dia ada di ruang jenazah." jelas suster itu yang membuat mereka langsung terdiam beku
"Ruang jenazah?." Viona merasakan tubuhnya benar-benar melemah yang langsung dipegang oleh Vina
"Apa maksud suster? Seharusnya anak saya berada di ruang perawatan, bukan di ruang jenazah. Jangan sembarangan kalau bicara." Anggara menatap dengan kesal
"Anak Bapak memang berada di ruang jenazah, tadi saat kita sedang berkomunikasi di telepon dia benar-benar kritis, dan setelah itu nyawanya tidak bisa diselamatkan lagi. Dia sudah meninggal dunia."
"Ngga, ga mungkin Dimas meninggal." Marisa langsung tak sadarkan diri dan langsung ditangkap oleh Anggara
Hingga Marisa pun langsung ditangani oleh beberapa suster yang membawanya ke salah satu ruang rawat dengan menggunakan ranjang rumah sakit.
"Feby, lebih baik kamu temenin tante Marisa ya. Biar mama, kakak kamu dan om Anggara pergi ke ruang jenazah." suruh Vina
"Iya Ma." Feby pun langsung menurut dan menuju ke ruang rawat Marisa
"Ayo, kita kesana sekarang." ajak Anggara yang langsung disetujui oleh mereka
Perlahan, mereka bertiga melangkahkan kakinya mulai memasuki ruang jenazah. Menghampiri satu-satunya jenazah yang berada disana.
"Ini ga mungkin Dimas Pa." Viona nampak tak sanggup menerima kenyataan jika kakaknya itu benar-benar sudah meninggal
"Kita cek dulu ya, sayang." Anggara mulai membuka kain yang menutupi jenazah itu dengan perasaan yang sangat berat. "Dimas." tangisnya pecah seketika saat mengetahui bahwa jenazah itu benar-benar putranya
"Ngga Pa, ga mungkin Dimas." Viona masih tak percaya
"Jenazah ini benar Dimas sayang, dia sudah meninggal." jelas Vina yang langsung memeluk erat Viona dari samping sambil meneteskan air mata
"Ga mungkin Ma." Viona terus menggeleng tak percaya dengan kepahitan mendalam yang dirasakannya
Seketika semua moment kebersamaan dengan Dimas terbayang jelas di pikiran Viona. Dari awal mula mereka kenal, dekat, lalu menjadi sepasang kekasih dan berakhir karena orang ketiga. Semua yang dilakukan oleh Dimas setelah hubungan mereka berakhir pun juga terbayang dengan jelas. Dimana lelaki itu selalu berusaha mendapatkannya kembali dengan berbagai cara yang bahkan tak pantas sekalipun.
Dan sudah terlalu banyak juga kata-kata menyakitkan yang keluar dari mulut Viona kepada Dimas. Hingga kemarin malam Dimas tiba-tiba memasuki kamarnya dan langsung memeluknya dengan sangat erat. Kakaknya itu meminta maaf atas semua yang pernah ia lakukan sambil terdengar suara isakan tangis. Selain itu, Dimas juga mengatakan bahwa ia berjanji tidak akan lagi menjadi badai dalam kehidupannya. Dimas tidak akan lagi membuatnya menderita.
Saat itu Viona tidak memberi respon apa-apa hingga Dimas pun pergi keluar dari kamar Viona, dengan memberikan senyuman terakhirnya meski tak terlihat oleh Viona. Mungkin itu adalah pertanda bahwa Dimas akan pergi untuk selama-lamanya.
"Dimas kamu jangan pergi dulu, kamu belum mendengarkan apapun dari aku atas semua yang kamu katakan semalam." tiba-tiba Viona langsung menghampiri Dimas dibantu oleh Vina. "Aku maafin kamu Dimas, aku maafin semua kesalahan kamu. Aku juga akan melupakan semuanya. Aku akan menjadi adik yang lebih baik untuk kamu, jadi tolong kamu bangun. Jangan tinggalin aku." rintihnya tanpa air mata sambil memeluk kakaknya itu
"Kamu harus bangun, kita mulai hubungan kita dari awal lagi sebagai adik kakak yang seharusnya. Yang selalu saling menyayangi, mengasihi, dan menjaga. Tanpa ada kebencian sedikitpun. Aku mohon Dimas, bangun. Aku udah ga marah lagi sama kamu, jadi kamu harus bangun."
Viona terus saja menggerak-gerakkan tubuh Dimas. Ia benar-benar tak rela kakaknya itu harus pergi disaat hubungan mereka belum cukup membaik. Bahkan belum membaik seperti yang seharusnya.
"Atau kamu marah sama aku? Karena selama ini aku terlalu jahat sama kamu. Aku minta maaf, aku janji aku ga akan mengeluarkan lagi kata-kata yang menyakitkan untuk kamu. Aku akan mencoba mengerti perasaan kamu, karena aku tau rasa cinta itu sangat susah dilupakan meskipun kenyataan menentangnya. Ayo bangun Dimas, bangun."
"Sayang udah sayang, ikhlaskan Dimas." Anggara langsung menghampiri lalu memeluk erat putrinya itu
"Dimas pergi karena Viona Pa, Dimas marah sama Viona karena semalam Viona tidak memberi respon apa-apa ketika dia minta maaf." lirih Viona. "Kalau saja semalam Viona langsung bilang kalau Viona memaafkan dia, dia pasti ga akan pergi seperti ini. Ini semua salah Viona Pa, salah Viona."
"Ngga sayang, ngga. Ini bukan salah kamu. Sudah takdirnya Dimas pergi sekarang. Kamu harus ikhlas, biar dia tenang di alam sana." Anggara mempererat pelukannya dengan air mata yang terus menetes
"Dimas." sahut Marisa dengan wajah sayu yang mulai memasuki ruangan itu dipegangi oleh Feby
"Mama." Viona melepaskan pelukan Anggara dan langsung menggerakkan matanya ke arah suara itu
"Dimas." Marisa langsung menghampiri dan memeluk Dimas dengan menangis sejadi-jadinya. "Jangan tinggalin mama sayang, jangan tinggalin mama."
"Vina, titip Viona dulu sebentar." sahut Anggara yang langsung menghampiri istrinya yang berada di samping ranjang yang berbeda
Vina pun langsung memeluk Viona yang nampak sangat bersedih dan kalut.
"Pa, bilang sama Dimas Pa. Dia jangan pergi, dia harus selalu bersama kita." Marisa menatap Anggara dengan penuh kepahitan
"Mama harus ikhlas. Biarkan Dimas pergi dengan tenang." Anggara mengusap air mata istrinya itu
"Ga bisa Pa, Dimas itu yang selalu menemani kita di rumah saat Viona tidak ada. Dia satu-satunya jagoan kita Pa, dia ga boleh pergi." rintih Marisa yang semakin berurai air mata
"Papa tau ini sangat berat, tapi kita harus ikhlas Ma. Biarkan Dimas pergi dengan tenang." Anggara langsung memeluk erat Marisa dengan air mata yang kembali menetes
"Kak Dion." sahut Feby ketika melihat lelaki itu berada di ambang pintu
Feby memang sudah tahu jika Dion akan datang, karena ia sendiri yang menghubungi Dion untuk memberitahu tentang kabar meninggalnya Dimas saat tengah menemani Marisa yang tak sadarkan diri tadi.
Tanpa ingin mengganggu suasana, Dion langsung melangkah masuk tanpa bersuara sedikitpun. Lalu menghampiri Viona yang tengah berada dalam pelukan Vina.
"Sayang, kamu yang sabar ya." sahut Dion sambil mengelus lembut kepala kekasihnya itu
"Dion." Viona langsung melepaskan pelukan Vina dan berbalik menghadap Dion, lalu memeluk kekasihnya dengan sangat erat
"Aku tau ini sangat berat, tapi kamu harus mengkhilaskan Dimas pergi." Dion balas memeluk dengan lebih erat
Feby pun mulai menghampiri Vina, dan berpelukan dengan sangat erat. Ia tentu merasakan kesedihan yang sama, karena setidaknya Dimas pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Air matanya pun terus menetes saat berada di dalam pelukan mamanya itu.
"Permisi." tiba-tiba seorang dokter masuk
"Iya dok, kenapa? Jenazah Dimas sudah mau diurus?." tanya Anggara yang masih memeluk istrinya
"Memang benar Pak, tapi sebelum itu ada yang mau saya sampaikan terlebih dahulu. Tadi saat anak Bapak masih dalam keadaan kritis, dia sempat mengatakan bahwa dia ingin mendonorkan matanya untuk Viona. Adik yang sangat dia sayangi." jelas dokter itu
"Apa?." Viona nampak tak percaya
"Yasudah kalau begitu langsung lakukan saja operasinya sekarang." Anggara langsung menyetujui
"Papa apa-apaan sih, kita lagi berduka malah nyuruh melakukan operasi." Marisa langsung melepas pelukan suaminya itu dengan wajah kesal
"Ma, ini adalah amanah dari Dimas sebelum dia meninggal. Jadi kita harus melakukannya agar dia bisa benar-benar tenang dan bahagia disana." jelas Anggara
"Om benar tante, amanah itu harus dilaksanakan. Lagipula kalau ga sekarang kapan lagi, jenazahnya Dimas kan harus segera dimakamkan." tambah Dion
"Yasudah lakukan operasinya sekarang, karena saya juga ingin putri yang sangat saya sayangi bisa melihat lagi." sahut Marisa
"Tapi Viona ga mau Ma." Viona langsung melepaskan pelukannya pada Dion
"Loh kenapa sayang?." Marisa mengerutkan kening heran
"Viona ga bisa menerimanya." Viona menggelengkan kepalanya
"Sayang dengarkan aku baik-baik, aku tau kamu pasti berat menerimanya. Tapi Dimas ingin melakukannya, karena dia sayang sama kamu. Dia ingin membuat kamu bahagia meskipun dia sudah tidak berada di dunia ini. Jadi kalau kamu juga sayang sama dia, kamu turuti keinginan terakhirnya." Dion langsung menangkup kedua sisi wajah Viona
"Tapi Dion..."
"Apa yang dikatakan oleh Dion itu benar sayang, kamu harus menuruti keinginan terakhir dari Dimas. Semua ini juga demi kebaikan kamu, agar kamu bisa melihat lagi." sahut Vina
"Dan agar Dimas bisa tetap ada bersama kita melalui setiap tatapan mata kamu." tambah Marisa yang langsung menghampiri bersama dengan Anggara