Part 5 LOVE IN RAIN
novel.goshere.xyz Situs Berbagi Cerita, Baca novel online gratis beragam cerita. Temukan aneka novel romance, novel horor, dan novel adult romance. Saat ini novel.goshere.xyz Situs Berbagi Cerita Part 5 LOVE IN RAIN
Viona masih saja gusar dan mondar-mandir tidak jelas di dekat pintu menuju dapur restoran. Ia masih ingat betul bagaimana reaksi Feby tadi saat mengetahui dirinya bekerja sebagai pelayan. Ia terus memikirkan bagaimana jika adiknya itu memberitahu Vina tentang hal ini.
"Gimana kalau Feby ngasih tau mama, dan gimana kalau nanti mama sampai marah karena gue udah bohong. Duh gimana ini." Viona terus gelisah tak karuan
"Ngapain sih lo mondar-mandir ga jelas mulu dari tadi?." tanya Dion yang seperti biasanya tiba-tiba ada di sebelah Viona
"Lo kaya setan ya, hobby banget tiba-tiba ada di hadapan gue." Viona langsung melirik ke arah lelaki itu
"Biarin, gue kan setan ganteng. Jadi ga bakal ada yang takut sekalipun gue suka tiba-tiba datangnya." Dion tersenyum dengan sangat percaya diri
"Hah ganteng lo bilang? gangguan telinga iya." sinis Viona
"Terserah lo deh. Tapi lo belum jawab pertanyaan gue." Dion menatap lurus gadis itu
"Harus banget yah gue jawab pertanyaan lo?." tanya Viona dengan tatapan sinisnya
"Oh jelas harus dong. Gue kan bos lo." jawab Dion sambil tersenyum angkuh
"Denger ya. Hanya karena lo itu bos gue, bukan berarti lo mesti tau semua urusan gue." tegas Viona
"Tapi kalau gue mau tau gimana?." Dion mendekatkan wajahnya pada gadis itu
"Dan kalau gue sendiri ga mau ngasih tau, lo mau apa?." Viona menunjukkan wajah kesal
"Gue mau..."
Saat itu tiba-tiba saja ponsel Viona berdering, yang membuat gadis itu langsung merogoh saku roknya dan mulai menatap layar ponselnya.
"Mama." Viona terlihat begitu terkejut. "Mampus gue, jangan-jangan Feby udah ngasih tau mama lagi kalau gue kerja disini."
Namun ketakutan Viona tak menjadi nyata, karena ternyata alasan Vina menelepon hanya untuk menanyakan apakah anaknya itu pulang malam lagi seperti biasanya. Vina hanya ingin mencurahkan perhatiannya, karena belakangan anak pertamanya itu lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah.
"Jadi selama ini lo ga ngasih tau nyokap lo kalau lo kerja disini?." tanya Dion seusai Viona menutup telepon dari mamanya
"Ngga." acuh Viona sambil memalingkan wajah. "Karena dia juga emang ga ngizinin gue buat kerja." lanjutnya lesu
"Terus kenapa lo tetep kerja disini?." Dion menunjukkan wajah tak mengerti
"Ya karena gue ga bisa ngeliat nyokap gue nyari uang sendirian." sahut Viona dengan nada disentakkan sambil menoleh ke arah Dion. "Gue pengen ngebantuin dia." lanjutnya langsung menunduk
"Sungguh sosok yang sangat penyayang." gumam Dion dalam hatinya sambil terus menatap Viona. "Tapi lo ga bisa terus kaya gini, bagaimanapun juga lo harus kasih tau nyokap lo." sahutnya dengan wajah serius
"Gue tau, tapi ga sekarang." Viona langsung mengangkat wajahnya dan menatap lelaki itu
"Ya terus kapan? oke kalau gitu, biar gue aja yang ngasih tau nyokap lo." Dion langsung mengeluarkan ponselnya
"Apa hak lo ngasih tau nyokap gue?." ketus Viona
"Ya lo kan kerja di gue, jadi jelas dong gue berhak. Karena gue ga mau memperkerjakan karyawan yang tidak memiliki izin dari orang tuanya." jelas Dion
"Silahkan aja lo bilang sama nyokap gue, kaya lo punya nomornya aja." sinis Viona
"Kata siapa ga punya? lo lupa ya, gue kan yang nelpon nyokap lo pas lo masuk rumah sakit waktu itu." jelas Dion santai. "Dan gue masih ngesave nomor nyokap lo sampai sekarang." lanjutnya sambil tersenyum sinis
"Oh iya gue lupa, bisa kacau urusannya kalau dia beneran nelpon mama sekarang." pikir Viona dalam diamnya
"Gimana? gue telpon aja ya sekarang." Dion mulai men-scroll up layar ponselnya untuk mencari nomor yang ingin dihubunginya
"Eh jangan, jangan." Viona langsung menghentikannya dengan memegang tangan lelaki itu
Seketika Dion langsung menatap ke arah tangan Viona yang tengah memegang tangannya itu, ia mulai tersenyum simpul. Lalu mengangkat wajahnya dan menatap gadis itu dengan lembut.
"Please, jangan kasih tau nyokap gue. Dia bisa marah karena gue udah bohong sama dia." Viona menatap Dion dengan penuh harap
"Oke kalau itu mau lo. Tapi ada syaratnya." Dion menyunggingkan seulas senyum di bibirnya
"Syarat? ih bener-bener ya lo." Viona langsung melepaskan pegangannya dari Dion dengan kesal
"Yaudah kalau ga mau, gue bakal telepon nyokap lo sekarang juga." Dion langsung menempelkan ponselnya pada telinga kanan
"Eh iya iya. Apa syaratnya?." Viona menatap dengan kesal
"Syaratnya itu adalah, mulai sekarang dan seterusnya lo harus bersikap baik dan lembut sama gue." Dion mendekatkan wajahnya pada gadis itu. "Dan lo ga boleh protes. Pokoknya jangan pernah lagi lo bersikap sinis sama gue, lo harus baik sama gue seperti lo bersikap sama yang lainnya. Atau..."
"Iya iya, gue bakal penuhi syarat dari lo. Gue bakal bersikap baik dan lembut sama lo, gue ga bakal galak ataupun sinis lagi." sahut Viona dengan terpaksa
"Bagus. Gue pegang janji lo." Dion kembali menyunggingkan seulas senyum di bibirnya
"Ehm. Viona restoran lagi ramai loh." sahut Dila yang tiba-tiba datang
"Iya tuh bener lagi ramai, malah diem mulu disini." ketus Dion sambil pergi
"Ih stres kali ya tuh orang." kesal Viona
"Udah, ribut mulu." Dila mencoba mencairkan suasana hati Viona
"Ya abisan itu orang bener-bener nyebelin tau ga." kesal Viona lagi
"Gue ga ngerti deh sama sikap lo ke Pa Dion, lo udah kenal dia ya sebelum kerja disini?." Dila menatap lurus Viona
"Kenal sekilas doang." acuh Viona
"Tapi koq kalian kaya udah akrab gitu ya." Dila menunjukkan wajah tak mengerti
"Akrab dari mananya? orang dia selalu ngajak ribut mulu tiap ketemu." ketus Viona
"Ya justru karena itu kalian terlihat kaya udah kenal lama, dan juga terlihat dekat. Bukan seperti bos dan karyawannya." jelas Dila santai
"Maksud lo?." Viona mengerutkan kening heran
"Gimana ya ngejelasinnya. Gini deh, gue pernah bilang kan sama lo, kalau pa Dion itu baik sama semua karyawannya yang ada disini?." Dila menatap Viona
"Iya, terus?." Viona menanggapi dengan santai
"Nah tapi baiknya dia ke lo itu beda. Lo masih inget ga saat pertama kali lo kerja? dia nyuruh lo bikinin kopi buat dia. Dan dia bilang semua pelayan disini pasti pernah melakukan hal itu di hari pertama kerjanya, tapi semua itu bohong." jelas Dila
"Bohong?." Viona semakin tidak mengerti
"Iya, karena orang yang suka bikinin kopi buat dia disini itu cuma office boy langganannya. Dia ga pernah nyuruh ke pelayan yang ada disini, termasuk gue." Dila memperjelas maksudnya
"Jadi pas lo bilang waktu itu kalau lo pernah membuatkan kopi buat dia di hari pertama lo kerja, juga bohong?." Viona mulai memahami maksud teman barunya itu
"Tepat sekali. Dia yang nyuruh gue buat jawab iya." Dila mengangguk santai
"Terus maksudnya dia kaya gitu apa?." Viona menatap dengan penasaran
"Sebelum gue jawab pertanyaan lo, gue tanya dulu. Kapan pertama kali lo ketemu dia dan dalam moment apa?." Dila menatap Viona dengan tenang
"Dia nolongin gue pas hujan malam itu, saat gue jatuh pingsan setelah hampir ketabrak sama dia." jelas Viona dengan sangat tenang. "Terus hubungannya sama pertanyaan gue yang tadi apa?."
"Dari penjelasan yang lo berikan, menurut gue kayanya dia suka deh sama lo dari sejak pertemuan malam itu." Dila menunjukkan wajah yakin
"Hah suka? apaan sih lo. Kan lo sendiri yang bilang kalau dia itu orangnya baik, jadi saat malam itu ya dia nolongin gue sebagaimana mestinya. Bukan karena hal lain." Viona merasa tak terima
"Tapi seperti yang gue bilang tadi, baiknya dia ke lo itu beda. Bahkan dia masih tetap aja kan baik sama lo, meskipun sikap lo selalu sinis gitu tiap ketemu sama dia." Dila mencoba membuat temannya itu mengerti
"Baik apanya, ngeselin kaya gitu juga." ketus Viona. "Udah ah gue ga mau ngebahas hal yang ga penting kaya gitu lagi, kita balik kerja aja."
"Eh iya lupa, niat gue tadi kesini kan buat ngajak lo ke depan. Malah jadi kelamaan ngobrol." Dila tersenyum polos
"Yeh dasar lo, udah yu ah nanti dimarahin lagi kelamaan disini." ajak Viona sambil mulai beranjak pergi.
***
Selama ini yang aku tau hanya tentang meminta dan menerima. Tanpa tau bagaimana itu mencari untuk dapat memberi. Tapi sekarang aku tau bagaimana sulitnya mencari. Aku tau bagaimana lelahnya berjuang demi untuk sesuap nasi, istilah orang pada umumnya.
Kini aku bisa merasakan apa yang dirasakan oleh mamaku selama ini. Kerja keras dan banting tulang demi untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Kini aku sadar seharusnya akulah yang menjadi tulang punggung itu, bukan mama. Di mulai dari sekarang, bukan nanti setelah aku sukses.
"Viona." panggil Vina untuk kesekian kalinya
"Eh mama." Viona terlihat sangat terkejut. "Mama lagi ngapain disini?."
"Kamu sendiri ngapain masih di luar malam-malam? bukannya langsung masuk." Vina menatap dengan heran. "Terus pake ngelamun lagi, sampai ga sadar kalau mama udah manggil kamu berkali-kali dari tadi."
"He, ngga ngelamun koq Ma. Viona cuma lagi istirahat dulu sambil nyari angin." Viona menyunggingkan seulas senyum di bibirnya
"Kamu pasti cape ya, baru pulang ngampus jam segini. Yaudah masuk yu, mama udah nyiapin makan malam buat kamu." ajak Vina sambil merangkul bahu anaknya itu
"Maafin Viona Ma, Viona belum bisa jujur tentang yang sebenarnya sama mama." gumam Viona dalam hatinya dengan rasa bersalah
"Duduk sayang, biar mama siapin ya makanannya." suruh Vina pada anak pertamanya itu
"Ga usah Ma, biar Viona aja." tolak Viona dengan lembut
"Gapapa sayang, biar mama aja." Vina tersenyum hangat, lalu mulai duduk setelah memberikan makanan yang telah disiapkannya pada Viona
"Mama koq ga makan?." Viona mengerutkan kening heran
"Mama sama Feby udah makan duluan tadi, abisan nunggu kamu kelamaan." Vina menyunggingkan seulas senyum di bibirnya
"Mama makan lagi ya, Viona ga enak makan sendirian kaya gini." bujuk Viona
"Mama masih kenyang, kamu makan aja. Biar mama temenin kamu disini." tolak Vina dengan sangat lembut
Viona pun mulai makan sambil terus ditemani oleh Vina. Sesekali ia mencoba menyuapi mamanya itu, meskipun terus ditolak, dan malah dirinya sendiri yang disuapi.
"Oh iya sayang, kuliah kamu emang segitu sibuknya ya? sampai selama 3 minggu lebih ini kamu selalu pulang malam." Vina menatap dengan penuh penasaran
"I-iya Ma, kan seperti yang Viona bilang. Sekarang lagi banyak-banyaknya tugas." jelas Viona dengan sedikit gugup. "Kenapa mama tiba-tiba nanyain itu, apa Feby udah ngasih tau kalau aku sekarang kerja sambil kuliah." pikir Viona dalam kegelisahannya
"Emang ga bisa dikerjain di rumah ya tugasnya?." Vina menatap lurus anaknya itu
"Kalau ngeliat sikap mama sekarang, sepertinya Feby emang belum ngadu apa-apa. Syukurlah." gumam Viona dalam hatinya. "Bi-bisa sih Ma, cuma kan kalau ngerjain bareng temen-temen lebih cepet. Soalnya tugasnya banyak banget." sahutnya mencoba untuk terlihat tenang
"Kenapa ga kamu ajak aja teman-teman kamu untuk ngerjain disini? mama khawatir kalau kamu harus pulang malam terus tiap hari." Vina terlihat begitu perhatian
"Ga bisa Ma, karena..." Viona merasa tidak tahu harus berbohong apa lagi
"Karena apa?." Vina menatap dengan penuh penasaran
"Karena..."
"Karena sebenarnya dia itu bohong sama mama." sahut Feby yang tiba-tiba datang
Dan seketika Viona pun langsung memutar kepala ke arah adiknya itu.
"Bohong? apa maksud kamu?." Vina langsung berdiri dan menatap anak keduanya itu dengan heran
"Ya bohong, karena selama ini dia pulang malam itu bukan karena tugas kuliah. Tapi karena..."
Saat itu Viona langsung menatap Feby seolah meminta adiknya itu untuk tidak melanjutkan penjelasannya.
"Karena apa?." Vina terlihat sangat penasaran dan langsung berjalan mendekati Feby
"Karena..."
Viona kembali menghentikan penjelasan Feby dengan menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada sebagai tanda permohonannya agar adiknya itu benar-benar tidak melanjutkan apa yang ingin dijelaskannya.
"Viona, kenapa kamu mengangkat tangan seperti itu?." tanya Vina yang langsung memutar kepala ke arah Viona yang berdiri di belakangnya
"Ngga Ma, Viona gapapa." jawab Viona terbata-bata
"Ada apa ini sebenarnya? Kalian menyembunyikan sesuatu dari mama?." Vina menatap kedua anaknya itu secara bergantian. "Feby, apa yang mau kamu jelasin tadi?." lanjutnya sambil memfokuskan pandangan pada Feby
"Asal mama tau ya, alasan dia selalu pulang malem selama 3 minggu lebih ini tuh bukan karena tugas kuliah. Tapi karena dia kerja sebagai pelayan di restoran." jelas Feby dengan lantang
"Apa? kerja sebagai pelayan?." Vina begitu tercengang mengetahui hal itu. "Sayang, apa itu benar?." sahutnya sambil menoleh ke arah Viona
Saat ini Viona sudah tidak bisa berbohong lagi, gadis itu langsung menganggukkan kepala dengan berat. "Itu benar Ma, maafin Viona." sahutnya dengan wajah bersalah
"Jadi selama ini kamu bohong sama mama?." Vina langsung membalikkan badan dan berada tepat dihadapan Viona
"Viona terpaksa harus bohong sama mama." Viona semakin merasa bersalah
"Viona, mama kan sudah pernah bilang sama kamu kalau mama ga mengizinkan kamu untuk kerja sambil kuliah. Tapi kenapa kamu tetap melakukan hal itu?." Vina menatap dengan kecewa
"Viona tau Ma, tapi..."
"Mama ga nyangka kamu bisa berbohong seperti ini." Vina langsung beranjak pergi tanpa mendengarkan penjelasannya Viona
"Ma." panggil Viona
Bukan hanya Vina saja yang pergi, tapi Feby pun ikut pergi setelah tersenyum sinis pada Viona. Hubungan kedua kakak beradik itu memang sedang tidak hormanis, sehingga Feby sering kali berbicara kurang sopan pada kakaknya itu. Namun alasannya apa, Viona sendiri pun tidak tahu.
Dengan perasaan bersalah dan langkah ragu-ragu, Viona menyusul Vina ke kamarnya. Ia mulai mendekati mamanya yang tengah duduk di tempat tidur sambil menatap ke arah jendela.
"Ma, maafin Viona ya." Viona langsung duduk di sebelah mamanya itu
Namun tak ada sepatah katapun yang keluar dari Vina, selain hanya wajah kesal yang ditunjukkan olehnya.
"Mama marah ya sama Viona? maafin Viona Ma." Viona memeluk mamanya itu dari samping
"Mama ga marah sama kamu, mama cuma kecewa karena kamu udah bohong sama mama." sahut Vina sambil terus memfokuskan pandangannya ke arah jendela
"Viona tau, Viona salah. Tapi semua itu Viona lakukan, karena Viona sayang sama mama. Viona ga bisa ngeliat mama nyari uang sendirian, setiap hari kurang tidur karena membuat kue, nganterin orderan kesana kemari, belum lagi ngurus hal yang lainnya." lirih Viona sambil bersandar di bahu Vina
Seketika Vina pun langsung menoleh ke arah Viona, dan menatap anaknya itu dengan sendu.
"Sayang, dengerin mama ya." Vina langsung membangunkan Viona dari bahunya. "Mama kan udah pernah bilang, kamu ga perlu kerja. Dengan kamu kuliah yang benar aja itu sudah sangat cukup membantu mama." lanjutnya sambil memegang kedua lengan anaknya itu
"Itu ga cukup Ma. Semenjak papa meninggal, mama yang jadi tulang punggung untuk keluarga ini. Dan Viona ga bisa membiarkan itu. Viona ini anak tertua Ma, harusnya Viona yang jadi tulang punggung, bukan mama." jelas Viona dengan mata berkaca-kaca. "Apa Viona ga boleh berusaha untuk membahagiakan mama? apa Viona harus nunggu dulu lulus kuliah dan kerja yang layak baru boleh membahagiakan mama? ngga kan Ma?."
Mendengar pengakuan Viona, Vina pun langsung meneteskan air mata.
"Mama tau, kamu ingin membahagiakan mama dan kamu ga mau melihat mama kerja keras sendirian. Tapi sayang, kamu ga harus jadi pelayan. Mama masih mampu memenuhi semua kebutuhan kita." lirih Vina dengan suara berat
"Ma, Viona ga bilang mama ga mampu. Tapi Viona ingin berjuang bareng-bareng sama mama, Viona ingin ikut merasakan bagaimana susahnya mencari uang, karena selama ini yang Viona lakukan hanya meminta dan meminta sama mama." Viona menatap dengan sendu. "Menjadi seorang pelayan itu pekerjaan yang halal kan Ma? lagipula ini cuma sementara, karena nanti setelah Viona lulus kuliah, Viona akan dapat pekerjaan yang bagus dan Viona bisa benar-benar membahagiakan mama. Jadi mama ga perlu lagi cape-cape jualan kue."
"Maafin mama sayang." Vina langsung menarik Viona ke dalam pelukannya. "Viona saja sampai mempunyai pemikiran seperti ini, bahkan dia begitu memperdulikan aku. Sementara Feby, dia selalu acuh dan ga pernah peduli." gumamnya dalam hati
"Viona mohon ya Ma, izinin Viona untuk tetap kerja. Viona janji, pekerjaan ini ga akan mengganggu kuliahnya Viona." pinta Viona masih dalam pelukannya Vina
"Kalau itu mau kamu, mama akan izinkan. Tapi kamu harus janji, jangan pernah menyembunyikan hal apapun lagi dari mama, sekecil apapun itu." Vina mulai melepaskan pelukannya pada Viona
"Viona janji." Viona langsung menganggukkan kepalanya, lalu menghapus air mata di wajah mamanya itu
Sesuai janjinya, Viona pun menceritakan semuanya pada Vina. Agar tidak ada hal apapun lagi yang ia sembunyikan dari mamanya itu. Dari awal mula ia mulai mencari kerja selama berhari-hari, selalu ditolak dengan alasan tidak menerima kerja paruh waktu, dan sekalinya diterima banyak peraturan yang tidak disukai olehnya. Hingga akhirnya ia melamar ke sebuah restoran, dan ternyata itu adalah miliknya Dion. Disanalah keberuntungan menghampirinya, lamarannya diterima.
"Dion? Dion yang waktu itu bawa kamu ke rumah sakit.?" tanya Vina setelah Viona selesai menceritakan semuanya
"Iya, Dion yang itu." Viona langsung mengangguk. "Sebenarnya Viona terpaksa kerja sama dia, karena ga ada pilihan lain lagi."
"Kamu masih kesel sama dia?." Vina menatap lurus anaknya itu
"Ya begitulah Ma, bawaannya kalau ketemu dia itu pengen marah-marah terus. Abisan dia ngeselin juga jadi orang." jelas Viona dengan wajah tak bersemangat
"Kamu harus ubah deh sikap kamu ke dia. Karena dia itu udah banyak nolongin kamu. Kalau masalah dia yang selalu bikin kamu kesel, mungkin itu karena sikap kamunya juga." jelas Vina dengan tenang
Viona pun mencoba mengiyakan permintaan mamanya itu, meskipun ia sendiri tidak mengerti alasan apa yang mengharuskannya bersikap baik pada Dion. Karena kesannya pada lelaki itu memang sudah kurang baik sejak pertama kali bertemu.
***
Matahari sudah mulai tergelincir ke arah barat, namun sinarnya masih cukup menyengat dan menyilaukan mata. Membuat Viona yang baru saja selesai kuliah, merasa tidak tahan dengan rasa panasnya. Sambil membawa sebuah kantung plastik berisi kotak kue yang dititipkan oleh mamanya untuk diberikan kepada Dion, gadis itu melangkah dengan terburu-buru menuju gerbang. Namun baru saja sampai ke parkiran, langkahnya tiba-tiba terheti. Karena tepat berada di hadapannya, dengan jarak yang hanya beberapa langkah. Ada Dimas yang tengah berdiri di samping mobilnya sambil menghadap ke arahnya.
Dada Viona pun seketika menjadi sesak. Luka itu kembali dirasakannya. Kejadian itu kembali terngiang di dalam benak juga pikirannya. Benar-benar menyakitkan.
Kenapa aku harus kembali melihat lagi wajahnya. Setelah aku sudah mulai berhasil melupakannya. Kenapa aku harus kembali dipertemukan dengannya. Setelah aku sudah mulai bisa menerima kenyataan jika dia tidak ada lagi di dalam kehidupanku. Kenapa harus seperti ini.
Tidak. Aku tidak boleh terlihat rapuh dihadapannya. Aku harus menunjukkan jika aku baik-baik saja. Meskipun pada kenyataannya hatiku sakit saat melihatnya. Tapi aku harus terlihat biasa saja, seolah tidak ada masalah apapun dengannya. Anggap saja aku tidak pernah mengenalnya. Anggap saja dia adalah orang asing bagiku.
"Iya Viona, lo ga boleh sedih. Anggap aja lo ga pernah kenal sama dia." gumam Viona menguatkan dirinya
Setelah menahan nafas berat sejenak, gadis itu mulai melangkahkan kakinya kembali. Melewati Dimas, dan segera pergi menaiki taxi.
Sementara Dimas masih berdiri kaku di posisi awalnya, terlihat rasa penyesalan di tatapan matanya saat melihat Viona tadi. Namun tak sepatah katapun yang keluar, saat gadis itu berjalan melewatinya. Bibirnya hanya membisu dan terasa sulit untuk berbicara.
"Hai sayang." sapaan itu menghentikan sikap diam Dimas
"Hai, udah selesai?." Dimas menatap lurus Feby, yang sekarang menjadi kekasihnya
"Udah, maaf ya nunggu lama." Feby tersenyum manja
"Gapapa koq, yaudah sekarang kita mau kemana?." Dimas menatap Feby dengan lembut
"Kita ke mall yu." pinta Feby dengan penuh harap
"Kamu mau shopping lagi?." tanya Dimas santai
Feby hanya tersenyum menahan malu. "Kalau kamu ga keberatan." sahutnya manja
"Ya ngga lah sayang, apapun yang kamu mau pasti akan aku berikan." Dimas menyunggingkan seulas senyum di bibirnya
"Makasih sayang, kamu emang paling baik." puji Feby sambil menggandeng lengan kekasihnya itu
"Yaudah kita berangkat sekarang yu, biar pulangnya ga kemaleman." ajak Dimas santai
Feby pun langsung naik ke mobilnya Dimas, setelah lelaki itu membukakan pintu untuknya.
"Oh iya sayang, kamu kapan mau main ke rumah?." tanya Feby saat di perjalanan
"Ke rumah?." Dimas mengerutkan kening heran
"Iya ke rumah, ketemu sama mama aku. Emang mau sampai kapan kamu mau menyembunyikan hubungan kita ini?." Feby menatap lurus kekasihnya itu
"Ya, nanti kalau udah waktunya aku juga pasti akan bilang koq sama mama kamu tentang hubungan kita ini." sahut Dimas dengan santai sambil tetap fokus menyetir mobil
"Ya tapi kapan? kamu selalu bilang nanti dan nanti, tapi sampai sekarang pun kamu belum juga mau untuk nemuin mama aku." kesal Feby
"Ya karena aku baru putus dari Viona itu beberapa minggu yang lalu, jadi ga mungkin aku ngasih tau mama kamu tentang hubungan kita dalam waktu dekat ini." jelas Dimas yang juga terlihat kesal
"Ngapain sih kamu masih mikirin Viona? ini tentang hubungan kita, ga ada kaitannya sama dia." Feby semakin merasa kesal
"Jelas ada, karena Viona itu adalah kakak kamu dan dia juga mantan aku. Dia pasti akan semakin terluka, kalau tau orang yang membuat aku mutusin dia itu adalah kamu, adiknya sendiri." tegas Dimas
"Ya mau kamu ngasih tau sekarang ataupun nanti juga sama aja, Viona tetap bakal tau kalau aku yang membuat kamu mutusin dia." Feby terus memaksa agar Dimas mau menuruti keinginannya
"Ya tapi ga dalam waktu secepat ini juga. Luka yang dia rasakan karena aku memutuskannya tiba-tiba aja belum hilang, masa harus ditambah lagi dengan ini. Aku ga bisa nyakiti dia lagi." Dimas tetap pada pendiriannya
"Oh, jadi intinya kamu masih cinta sama dia? karena itu kamu terus menyembunyikan hubungan kita?" Feby menatap dengan emosi
"Bukan itu, kamu ngertiin posisi aku dikit kenapa. Lagian Viona itu kakak kamu sendiri, seharusnya kamu punya rasa peduli sama dia." sinis Dimas
"Koq kamu jadi marah-marah gini sih? udah pokoknya kalau emang kamu sayang aku, besok lusa kamu harus datang ke rumah dan bilang yang sebenarnya sama mama aku." pungkas Feby dengan sangat kesal. "Bagaimanapun caranya hubungan aku sama Dimas harus segera diketahui oleh Viona. Karena aku ingin dia merasakan apa yang aku rasakan, yaitu kehilangan orang yang dicintainya." gumamnya dalam hati
"Yaudahlah terserah kamu." acuh Dimas tanpa melirik Feby sedikitpun
***
Melihat fotonya saja sudah sangat membuatku bahagia, terlebih saat melihat wajahnya langsung. Dan melihat senyuman indah di wajahnya. Tapi, entah kapan senyuman itu akan aku dapatkan darinya.
Senyuman di wajah Dion terus saja mengembang saat menatap layar ponselnya, melihat satu persatu foto Viona yang ia potret sendiri dari sejak pertama gadis itu bekerja di restorannya. Setelah ia selesai meng-copy semua foto itu ke dalam laptopnya.
Mungkin gadis itu tidak pernah menyadarinya, jika Dion sering sekali mencuri waktu untuk memotretnya. Mencuri waktu untuk melihat wajah cantiknya. Dan mencuri waktu untuk bisa melihat senyuman indahnya, meskipun senyuman itu bukan untuk dirinya.
"Dion." panggil Viona untuk kesekian kalinya dengan kesal
Seketika Dion langsung mengerjapkan matanya, lalu mulai mengangkat wajah dan terlihat begitu terkejut saat melihat ada Viona di hadapannya.
"Viona." sahut Dion dengan gugup. "Sejak kapan lo disini?." tanyanya dengan tingkah tak karuan dan langsung menutup layar laptopnya yang berada di atas meja
"Ya ampun nih orang. Asal lo tau ya, dari tadi gue itu ngetuk-ngetuk pintu ruangan lo, tapi karena ga ada yang nyaut jadi gue masuk dan manggil-manggil nama lo berulang kali, eh lo nya malah asyik ngelamun dan senyum-senyum sendiri kaya orang gila." jelas Viona dengan sangat kesal
"Apa? lo manggil-manggil nama gue?." Dion langsung berdiri dan berjalan mendekati Viona
"Iya. Entah berapa kali gue manggil nama lo, Dion, Dion. Tapi lo malah diem mulu kaya patung." kesal Viona lagi
Tanpa berkomentar sedikitpun, Dion hanya tersenyum menatap gadis itu.
"Ngapain lo senyum-senyum sambil ngeliatin gue kaya gitu?." Viona menatap dengan sinis
"Lo tau? ini pertama kalinya lo manggil gue dengan sebutan 'Dion'. Setelah selama ini lo ga pernah manggil gue dengan menyebut nama, paling hanya menyebut 'Pa Dion' dan itupun karena terpaksa." Dion menatap lurus Viona
"Terus lo bangga gitu dipanggil dengan sebutan 'Dion' sama gue?." Viona kembali menatap dengan sinis
"Percuma juga, karena dia ga akan mengerti." gumam Dion dalam hatinya. "Yaudahlah ga usah di bahas lagi, mau ngapain lo kesini?." tanyanya dengan ketus
Viona langsung tersenyum sinis. "Dasar aneh lo jadi orang." ketusnya. "Nih gue mau kasih titipan dari nyokap gue buat lo." lanjutnya sambil memberikan kotak berisi kue yang di bawanya
"Ini apa?." Dion mengerutkan kening heran setelah menerima kotak itu
"Kue bikinan nyokap gue." sahut Viona sedikit santai
"Buat gue? nyokap lo sengaja bikin ini?." Dion masih mengerutkan kening heran
"Kepedean banget sih lo. Ya ngga lah, nyokap gue emang jualan kue. Dan dia sengaja nyisain satu kotak kue itu buat lo." ketus Viona
"Dalam rangka apa?." Dion masih belum mengerti
"Dalam rangka ucapan terimakasih dari nyokap gue karena lo udah banyak nolongin gue, terutama karena lo udah bersedia nerima gue kerja disini." jelas Viona dengan santai
"Nyokap lo udah tau kalau lo kerja disini?." Dion menatap lurus gadis itu
Viona langsung menganggukkan kepalanya. "Makanya, dia ngasih itu buat lo." sahutnya datar
"Berarti dia ga marah?." tanya Dion dengan santai
"Awalnya sih dia marah, tapi setelah gue jelasin. Akhirnya dia mau juga mengerti dan sekarang dia ngizinin untuk gue tetap kerja disini." jelas Viona dengan sangat tenang
"Bagus deh. Gue ikut seneng dengernya." Dion menyunggingkan seulas senyum di bibirnya. "Dan tolong sampaikan ucapan terimakasih gue buat dia ya, karena udah ngasih gue kue ini." lanjutnya sambil mengangkatkan kotak yang dipegangnya
"Oke. Kalau gitu, gue balik kerja lagi." sahut Viona sambil beranjak pergi
"Eh tunggu." panggil Dion
"Kenapa?." Viona langsung memutarkan kepalanya ke arah lelaki itu
"Tadi lo bilang nyokap lo kasih kue ini karena gue udah banyak nolongin lo, emang pertolongan apa aja yang udah gue berikan sama lo?." Dion menatap lurus gadis itu
"Setau gue ya lo nolongin gue itu cuma pas gue masuk rumah sakit, terus ngebayarin dulu belanjaan gue di supermarket, dan nerima gue kerja disini. Tapi ga tau kenapa nyokap gue bilangnya lo udah banyak nolongin gue, padahal cuma itu doang." jelas Viona
"Oh jadi bagi lo pertolongan gue itu kurang banyak ya?." Dion semakin mendekat ke arah gadis itu
"Ya emang ga banyak, jadi kesannya kaya terlalu berlebihan aja gitu kalau nyokap gue sampai segitu berterimakasihnya sama lo." Viona tersenyum kecil
"Itu semua karena nyokap lo tau caranya menghargai niat baik orang. Nah lo sendiri, ga mau berterimakasih juga gitu sama gue?." Dion mengangkat kedua alisnya
"Ngapain gue berterimakasih sama lo?." ketus Viona
"Ya itu terserah lo sih, gue ga maksa juga. Kan gue cuma nanya." Dion menyunggingkan seulas senyum di bibirnya
"Yaudah. Gue berterimakasih banget untuk semua pertolongan yang pernah lo berikan. Terutama saat gue pingsan di tengah hujan malam itu, karena kalau ga ada lo entah apa yang akan terjadi sama gue." Viona memaksakan seulas senyum dibibirnya. "Makasih banyak Dion."
"Sama-sama Viona." Dion menyunggingkan seulas senyum di bibirnya
Viona kembali tersenyum sinis, dan langsung beranjak pergi untuk melanjutkan pekerjaannya.