Part 47 , Part 48 LOVE IN RAIN
novel.goshere.xyz Situs Berbagi Cerita, Baca novel online gratis beragam cerita. Temukan aneka novel romance, novel horor, dan novel adult romance. Saat ini novel.goshere.xyz Situs Berbagi Cerita Part 47 , Part 48 LOVE IN RAIN
Setelah dibujuk berulang kali, akhirnya Viona pun menerima ajakan Dimas untuk berolahraga bareng. Namun tak hanya berdua, tapi berempat bersama Anggara dan juga Marisa. Sekaligus memperbaiki hubungan diantara ia dengan orang tuanya itu yang beberapa hari ini sempat merenggang, karena ia belum bisa menerima barang-barang kenangannya dibakar begitu saja.
Tapi setelah merenungi semuanya, ia sadar bahwa yang dilakukan oleh mereka adalah untuk kebaikannya sendiri. Agar ia tidak terus berlarut-larut dalam kesedihannya.
"Masih kuat ga?." tanya Dimas kepada Viona saat mereka masih berlari mengelilingi taman belakang rumah yang berukuran cukup luas, setelah mengelilingi taman itu berkali-kali
"Kuat koq." jawab Viona yang sebenarnya sudah merasa lelah
"Yakin?." Dimas nampak meragukan
"Yakin." Viona mengangguk mantap
"Beneran kuat atau pura-pura kuat." ledek Marisa jail
"Beneran kuat koq Ma." yakin Viona
"Tapi koq keliatannya kaya udah cape banget gitu, sampai ngos-ngosan lagi." sahut Anggara
Seketika Viona terdiam, karena sebenarnya ia memang sudah tidak kuat lagi. Maklum saja ia jarang berolahraga, sehingga mudah lelah meskipun baru lari beberapa putaran.
"Udah ga kuat kan?." tanya Dimas lurus
"Ngga sih sebenarnya." Viona tersenyum polos
"Terus ngapain tadi pake so so kuat segala." Dimas langsung mencubit gemas pipi adiknya itu
"Aww sakit." Viona memegang pipinya yang menjadi sedikit memerah karena cubitan Dimas
"Yaudah kalau kamu cape, aku gendong aja yukkk." Dimas langsung membungkukkan badannya di depan Viona
"Apaan sih di gendong segala, aku masih kuat koq. Asal jalan biasa, ga lari." Viona terkekeh kecil
"Udah mending di gendong aja. Sekalian kita balapan, papa gendong mama dan Dimas gendong kamu." Anggara langsung membungkukkan badannya di depan Marisa
"Papa apaan sih malah ikut-ikutan." Marisa tertawa geli
"Ya gapapa, sekalian flashback ke zaman kita masih pacaran dulu. Udah ayo naik." Anggara menarik kedua tangan Marisa hingga melingkari lehernya, lalu mengangkatnya dengan kuat
"Cara papa memperlakukan mama koq sama kaya cara Dion memperlakukan aku waktu itu ya." Viona langsung membayangi moment manis ketika Dion pernah menggendongnya saat liburan di puncak, ketika mereka pergi ke taman bunga
"Ayo kamu juga naik." Dimas melakukan hal yang sama seperti Anggara, hingga membuat Viona begitu terkejut
Lalu Dimas dan Anggara mulai berlari sambil sama-sama menggendong wanita cantik. Membuat Canda tawa sempat tercipta diantara mereka, sebelum akhirnya Viona malah terlarut dalam lamunannya.
Ia kembali membayangi moment kebersamaannya bersama Dion, ketika lelaki itu menggendongnya, menelusuri jalanan yang cukup jauh, sambil sesekali berlari dan bercanda ria.
"Kita menang yeyyy." teriak Anggara kegirangan saat ia dan Marisa pertama kali sampai ke sebuah kursi meja payung yang ada di taman itu
"Kamu gimana sih Dimas, masih muda masa kalah sama papa." ledek Marisa setelah turun dari gendongan suaminya
"Wajah aja lah kalah, orang Viona gendut. Jadi kan berat ngegendongnya." Dimas terkekeh kecil sambil menurunkan Viona dari gendongannya
"Dih pake ngeles segala, sportif dong kalau emang kalah akui aja." sahut Anggara dengan candaan
"Loh bukannya ngeles, tapi emang Viona gendut. Iya ga?." balas Dimas sambil melirik adiknya dengan kekehan kecil
Tapi Viona hanya terdiam, ia masih terlarut dalam lamunannya. Bahkan ia tak sadar akan candaan yang tengah ditujukkan kepadanya itu.
"Viona." panggil Marisa mencoba membuyarkan lamunan Viona
"Viona." tambah Dimas sambil mengipaskan tangannya di depan wajah adiknya itu
"Hah? Iya?." Viona langsung terperanjat dan mengerjapkan matanya
"Kamu ngelamun?." tanya Dimas lurus
"Ngga koq, aku cuma ngerasa cape aja." elak Viona
"Oh Viona cape? Yaudah kita duduk yukkk sayang." ajak Marisa sambil merangkul putrinya itu menuju salah satu kursi
Hingga mereka semua pun terduduk di meja payung tadi, lalu mulai menikmati minuman dingin dan beberapa makanan yang telah disediakan oleh pelayan saat mereka masih berlari tadi.
"Oh iya sayang, abis ini kita shopping yukkk. Kan udah lama juga kamu ga keluar rumah, karena belakangan ini kamu terus menyendiri dan mengurung diri di kamar. Biar pikiran kamu juga jadi fresh lagi." sahut Marisa di tengah waktu makan
"Iya Ma, boleh." Viona menanggapi dengan wajah datar
"Tapi sebelum pergi shopping, papa mau mempertemukan kamu dulu dengan seseorang." Anggara menatap lurus putrinya itu
"Seseorang siapa?." tanya Viona lurus
"Nanti juga kamu tau sendiri, yang jelas kamu sudah mengenal orang ini. Bentar lagi juga orangnya kesini." Anggara tersenyum santai
"Siapa sebenarnya yang papa maksud? Apa jangan-jangan Dion." pikir Viona dalam diamnya
"Nah itu dia orangnya datang." Anggara memfokuskan pandangan ke arah belakang Viona
"Dion." Viona langsung memutar kepalanya dengan cepat. "Vano." sahutnya mengerutkan kening heran ketika mengetahui siapa sebenarnya yang dimaksud oleh papanya itu
"Oh jadi sejak tadi Viona mikirin Dion, pantes aja." pikir Dimas dalam diamnya yang memang sejak tadi merasakan keanehan dari sikap Viona
"Selamat pagi semuanya." sapa Vano sambil bersalaman dengan Marisa, Anggara dan juga Dimas. "Pagi Viona." sapanya khusus sambil mengulurkan tangan
"Kamu ngapain disini?." Viona tak menghiraukan sapaan Vano
"Aku..."
"Biarkan Vano duduk dulu." sela Anggara yang langsung mempersilahkan lelaki itu duduk bersama mereka
"Silahkan Vano langsung jelaskan aja sama Viona." Marisa mempersilahkan dengan santai
"Jadi gini Viona, aku adalah orang yang disuruh oleh orang tua kamu untuk mencuri file presentasi milik Pak Dion, aku adalah orang yang berulang kali menelepon kamu saat kamu berada di ruangannya Pak Dion waktu itu, dan aku juga adalah orang yang menghapus rekaman CCTV pada hari dimana aku mencuri file milik Pak Dion sehingga semua orang tetap menganggap kamu yang bersalah." jelas Vano mencoba setenang mungkin
"Apa? Jadi kamu?." Viona nampak sangat geram
"Maafin aku Viona, aku tau kamu pasti ga bakal nyangka kalau aku adalah orangnya. Tapi saat itu aku dalam keadaan terdesak, aku lagi benar-benar membuhkan uang dan kebetulan orang tua kamu menawarkan uang yang cukup banyak untuk melakukan hal ini, sehingga..."
"Kalau kamu memang membutuhkan uang kenapa kamu ga minjem aja ke teman-teman kantor kamu? Atau minjem ke aku kek atau bahkan ke Dion dan om Reza. Kita semua pasti ngasih koq, ga harus melakukan hal seperti ini hanya untuk mendapatkan uang." sela Viona yang semakin geram
"Aku tau Viona, aku bisa saja meminjam. Tapi uang yang aku butuhkan itu cukup banyak, dengan gaji aku selama 2 bulan aja masih kurang. Makanya aku menerima tawaran orang tua kamu yang bisa memberikan aku uang secara cuma-cuma." Vano mencoba membuat gadis itu mengerti
"Tapi apa kamu tau yang kamu lakukan itu menghancurkan semuanya? Kamu menghancurkan hidup aku. Dan karena kamu, aku harus kehilangan Dion serta orang-orang terpenting lainnya." Viona menatap dengan tajam
"Viona, Viona kamu tenang dulu. Kita sudah pernah membicarakan hal ini sebelumnya, dan kamu pun sudah mengetahui kalau memang mereka sudah tidak peduli lagi sama kamu. Mama dan papa mempertemukan kamu dengan Vano hanya untuk menclearkan semuanya, agar kamu mengetahui semuanya tanpa ada yang masih kami tutupi lagi." Marisa mencoba menenangkan putrinya itu
"Sekali lagi aku minta maaf Viona, aku tau apa yang telah aku lakukan sudah menghancurkan hidup kamu. Tapi aku sudah berusaha menebus kesalahan aku ini dengan memberitahu yang sebenarnya kepada Pak Dion dan juga Pak Reza, beberapa hari yang lalu aku sudah mengungkapkan kebenarannya meski saat hari itu juga aku langsung dipecat." jelas Vano
"Apa? Kamu sudah mengungkap kebenarannya sejak beberapa hari yang lalu?." tanya Viona lurus
"Iya." Vano mengangguk cepat. "Aku pikir setelah hari itu hubungan kamu dengan Pak Dion dan juga keluarganya sudah kembali membaik."
"Jangankan membaik, Dion saja tidak pernah menemui Viona lagi setelah kejadian itu terjadi." Anggara tersenyum kecil
"Dion sudah mengetahui kebenarannya sejak beberapa hari yang lalu, tapi dia masih tidak juga menemui aku sampai hari ini." gumam Viona dalam hatinya yang langsung merasa sesak. "Jadi dia benar-benar tidak peduli lagi sama aku, dia benar-benar tidak menganggap aku penting lagi."
"Sayang, kamu baik-baik aja?." Marisa langsung mengelus lembut punggung tangan Viona
"Viona gapapa koq Ma." elak Viona. "Viona pergi mandi dulu ya." pamitnya yang kemudian beranjak pergi dengan wajah sendu
Sebelumnya aku memaklumi ketidakpedulianmu padaku, karena aku tau kesalahpahaman itu yang membuatmu bisa melakukannya. Tapi sekarang, semua kebenarannya sudah kamu ketahui. Kenapa kamu masih tidak memperdulikanku? Kenapa kamu masih juga tidak menemuiku?
Apa kamu benar-benar ingin pergi meninggalkanku? Tapi apa salahku? Kenapa kamu seperti ini. Bukankah kamu yang mengatakan bahwa kamu akan selalu bersamaku apapun yang terjadi, tapi sekarang apa? Kenapa kamu berubah? Kenapa?
Viona tak mampu menahan lagi rasa sesaknya, air matanya pun turun mengalir membasahi wajahnya. Ini sangat menyakitkan.
***
Viona kembali terlarut dalam kesedihannya. Ia kembali mengurung dirinya di kamar. Meski tak ada lagi barang kenangan yang tersisa, bahkan kartu ponselnya pun sudah diganti sehingga tidak ada lagi kontak Dion dan semua orang-orang terdekatnya dulu. Tapi tetap saja pikirannya selalu tertuju kepada mereka semua.
Sulit memang, bahkan sangat sulit untuk ia bisa melupakan semua tentang mereka. Terutama Dion dan Vina. Orang-orang yang selalu menjadi sumber kebahagiaan dan selalu ada bersamanya dalam keadaan apapun.
Terlebih lagi Dion, orang yang begitu ia cintai dan sayangi. Lelaki terhebat yang pernah ia miliki. Lelaki yang selalu menciptakan senyuman di wajahnya, melukiskan pelangi di dalam kehidupannya, serta selalu menjaga dan melindunginya.
Lelaki yang pernah mengatakan bahwa kisah mereka akan berakhir dengan hujan kebahagiaan, namun kenyataaanya justru berakhir dengan hujan kepahitan. Lelaki yang selalu berusaha menghilangkan ketakutan dan kebenciannya pada hujan, namun sekarang justru menjadi alasannya untuk semakin takut dan membenci hujan.
Karena sekarang setiap kali hujan turun, bukan lagi ketakutan pada masalah yang akan terjadi yang ia rasakan. Tapi rasa sakit karena mengingat penantian sia-sia yang pernah dilakukannya di tengah hujan deras hari itu, hanya untuk Dion.
"Aku benci semua ini." teriak Viona yang langsung menjatuhkan semua barang di atas meja riasnya, tempat ia berdiam diri sejak tadi sambil menatap ke arah cermin dengan penuh kekesalan. "Kenapa Dion? Kenapa kamu berubah seperti ini? Apa salah aku?." teriaknya lagi dalam isak tangis menyakitkan
"Viona, kamu baik-baik aja?." tanya Dimas setelah mendengar suara pecahan barang di kamar adiknya itu
Ia memang sengaja tidak pergi ke kantor hari ini, ia dipinta Marisa dan Anggara untuk menjaga Viona di rumah. Karena orang tuanya itu harus pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Mengingat keadaan Viona yang semakin hari semakin tidak baik, salah seorang dari mereka memang harus berada di rumah untuk mengawasi agar Viona tidak berbuat nekat karena tengah merasa hancur.
Karena tak mendapatkan respon dari Viona, Dimas pun langsung memasuki kamar adiknya itu menggunakan kunci cadangan. Ia berlari dengan penuh kekhawatiran ketika tak ada suara sedikitpun di kamar itu, hingga ia menemukan Viona tengah terduduk lemas di depan meja riasnya dengan barang-barang yang dijatuhkannya tadi berserakan di lantai.
"Viona, kamu baik-baik aja?." Dimas mulai menghampiri Viona
"Baik-baik aja? Kamu masih nanya aku baik-baik aja, setelah semua yang telah terjadi?." Viona langsung berdiri dengan emosi
"Aku tau keadaan hati kamu sekarang sedang tidak baik, bahkan sangat tidak baik. Tapi Viona, aku ingatkan sekali lagi. Kamu ga perlu menyiksa diri kamu hanya untuk orang yang sudah tidak peduli lagi sama kamu." Dimas menatap lurus Viona
"Kalau cuma sekedar ngomong emang gampang, tapi kamu ga bakal ngerti apa yang aku rasakan meskipun kamu ngomongin hal yang sama beribu-ribu kali. Karena kamu ga ada di posisi aku." sahut Viona dengan tajam
"Aku tau Viona, aku sangat tau ini sulit untuk kamu. Tapi..."
"Udah, udah cukup. Mendingan sekarang kamu keluar dari kamar aku, tinggalkan aku sendiri." sela Viona sambil mengarahkan tangannya ke ambang pintu
"Tapi Viona."
"Pergi Dimas." Viona langsung mendorong kakaknya itu menuju pintu
"Aku ga mungkin ninggalin kamu sendirian disaat keadaan kamu sedang seperti ini." Dimas berusaha menahan dirinya agar tidak terdorong
"Aku bilang pergi ya pergi, karena aku sama sekali tidak membutuhkan kamu ada disini." Viona kembali mendorong Dimas dengan sekuat tenaganya
"Kenapa? Karena kamu lebih membutuhkan Dion dibandingkan aku? Iya?." Dimas membuat Viona menurunkan tangannya
"Jangan sebut nama dia lagi di depan aku." sahut Viona yang kembali berurai air mata
"Bukankah yang selalu kamu pikirkan dan membuat kamu sampai seperti ini itu adalah Dion, lalu kenapa aku tidak boleh menyebut namanya?." tanya Dimas lurus
"Aku bilang jangan sebut nama dia di depan aku." Viona mengulangi perkataannya dengan tegas
"Tapi kenapa? Karena kamu membencinya? Kalau memang benci, kenapa cuma dia dan dia yang kamu pikirkan? Sampai kamu tidak memikirkan diri kamu sendiri." Dimas menatap penuh penegasan. "Daripada kamu hanya berdiam diri sambil terus memikirkan dia, lebih baik kamu ikut aku. Kita pergi temuin dia." ajaknya yang langsung menarik tangan Viona
"Ngga, aku ga mau." Viona langsung melepaskan tangannya dari pegangan kakaknya itu
"Kenapa ngga? Terus kamu mau selamanya seperti ini tanpa mengetahui alasan kenapa Dion tidak memperdulikan kamu lagi. Iya?." Dimas kembali menatap dengan penuh penegasan
"Iya." tegas Viona. "Aku ga mau tau apa alasan dia seperti ini, sama seperti dia yang ga pernah mau tau bagaimana keadaan aku sekarang."
"Jangan naif Viona, aku tau sekarang pikiran kamu sedang dipenuhi dengan banyak pertanyaan. Kenapa Dion tidak memperdulikan kamu lagi, kenapa Dion tidak pernah menemui kamu lagi, kenapa Dion berubah, apa salah kamu sampai dia menjadi seperti ini, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya." jelas Dimas yang langsung membuat adiknya itu terdiam
"Aku ga mau nemuin dia. Karena aku ga mau berurusan lagi dengan orang yang sudah tidak ingin lagi berurusan dengan aku, dan aku ga mau memperdulikan lagi orang yang sudah tidak memperdulikanku lagi." sahut Viona setelah cukup lama diam
"Kalau memang seperti itu, kamu juga jangan lagi memikirkan orang yang sudah tidak memikirkan kamu lagi." Dimas langsung memegang kedua lengan Viona sambil menatapnya dengan sangat lembut. "Dan kamu juga jangan lagi menangisi orang yang sudah tidak lagi mementingkan kamu."
"Tenangin diri kamu, bebaskan pikiran kamu. Jangan terus-menerus menyiksa diri kamu seperti ini."
Viona pun langsung menarik nafas berat, menahannya sebentar, lalu menghembuskannya secara perlahan. Ia menganggap bahwa setiap nafas berat yang ia hembuskan itu adalah semua beban pikirannya saat ini. Ia lakukan berulang kali hingga mulai merasa tenang.
"Gimana? Udah lebih tenang?." tanya Dimas lurus
"Udah." Viona mengangguk singkat
"Yaudah kalau gitu, kamu duduk dulu." Dimas memapah Viona hingga keduanya terduduk di sofa
Lalu ia memanggil pelayan untuk membawakan makanan dan minuman untuk Viona, serta untuk membereskan semua barang yang berserakan di lantai tadi.
"Kamu makan dulu ya, dari pagi kan belum makan." suruh Dimas dengan sangat lembut ketika pesanannya sudah tangan
"Oke." sahut Viona setelah menarik nafas berat sejenak
Kini Viona sudah menyadari bahwa dengan mengurung diri di kamar dan mogok makan, tidak akan mengubah apa yang sudah terjadi dalam hidupnya. Karena yang sudah terjadi akan tetap terjadi.
Ia berusaha meyakinkan dirinya untuk benar-benar melanjutkan hidupnya tanpa mengingat lagi semua kepahitan yang telah terjadi, ia berusaha menganggap Dion dan yang lainnya hanyalah masa lalu. Sekarang ia bertekad untuk memulai hidupnya yang baru, tanpa ada kesedihan lagi.
***
Marisa dan Anggara yang baru saja tiba di rumah setelah menempuh perjalanan dari Bandung sore tadi langsung bergegas menuju kamar Viona. Mereka memang mempercepat kepulangannya yang seharusnya esok hari itu, karena merasa sangat khawatir akan keadaan putrinya. Terlebih tadi siang mereka mendapat kabar dari salah seorang pelayan, bahwa Viona mengamuk di kamarnya hingga menjatuhkan semua barang yang ada di meja riasnya.
"Viona, sayang." panggil Marisa saat ia dan suaminya mulai memasuki kamar putrinya itu
"Sayang, kamu baik-baik aja?." tanya Anggara saat mereka sudah terduduk di samping Viona yang tengah terduduk santai di atas tempat tidurnya
"Viona baik-baik aja koq. Papa dan mama koq udah pulang? Bukannya kalian di Bandung sampai besok ya?." Viona menanggapi dengan santai
"Mama dan papa memang sengaja pulang lebih awal karena kami khawatir sama keadaan kamu, apalagi kami mendapat kabar katanya tadi siang kamu ngamuk-ngamuk sampai menjatuhkan semua barang yang ada di meja rias kamu. Benar itu sayang?." Marisa mengelus lembut pipi Viona
"Maafin Viona ya, karena udah membuat mama dan papa jadi khawatir." Viona nampak merasa bersalah
"Ga perlu minta maaf sayang, justru papa dan mama yang minta maaf karena kami malah pergi ke luar kota disaat keadaan kamu sedang tidak baik." Anggara menggenggam erat kedua tangan putrinya itu. "Maafin kami ya, karena tidak selalu ada disamping kamu."
"Gapapa koq Pa, Viona ngerti." Viona tersenyum lembut. "Viona minta maaf karena semakin kesini Viona semakin membebankan kalian, dengan sikap Viona yang suka tak terduga dan membuat kalian khawatir. Tapi mulai sekarang, Viona janji Viona akan melupakan semuanya. Viona ga akan membuat kalian khawatir dan bersedih lagi."
"Kamu benar-benar akan melanjutkan hidup kamu? Bukan sekedar bicara lagi?." tanya Marisa lurus
"Iya Ma. Kali ini Viona janji, Viona benar-benar akan move on untuk hidup Viona yang baru." Viona tersenyum meyakinkan
"Mama bahagia sekali kalau kamu seperti ini." Marisa langsung memeluk erat putrinya itu, yang dibalas dengan pelukan tak kalah erat
"Iya Viona, kali ini kamu harus benar-benar move on. Lupakan semuanya, lanjutkan hidup yang baru. Jangan lagi kamu membuat mereka bersedih." yakin Viona dalam hatinya ketika Anggara juga ikut memeluknya
"Karena kamu juga udah kembali ceria lagi, gimana kalau kita pergi liburan?." sahut Anggara setelah pelukan mereka saling terlepas
"Liburan kemana?." tanya Marisa lurus
"Ke luar negeri. Kan udah lama juga kita ga pernah liburan ke luar negeri, jadi sekarang kita buat moment baru bersama Viona." Anggara menyunggingkan seulas senyum di bibirnya
"Setuju." Marisa nampak sangat antusias. "Kamu gimana sayang?." tanyanya sambil melirik ke arah Viona
"Setuju dong, biar Viona juga bisa merasakan bagaimana rasanya naik pesawat dan pergi ke luar negeri." Viona tersenyum polos
"Syukurlah kalau kamu setuju, biar kamu juga bisa merefreshkan pikiran kamu disana." Marisa kembali mengelus lembut pipi putrinya itu
"Hmm ada yang mau liburan ke luar negeri nih kayanya. Ga bakal ada yang ngajak aku gitu?." sahut Dimas yang tiba-tiba datang
"Koq kamu bisa tau? Jangan-jangan dari tadi nguping ya?." jail Marisa
"Emang iya." Dimas menanggapi dengan santai. "Aku seneng kalau kamu sudah kembali lagi menjadi sosok Viona yang seharusnya, yang selalu ceria dan selalu bisa menciptakan senyuman pada wajah orang-orang disekitarnya." lanjutnya sambil menatap lembut adiknya
"Terus seperti ini ya, jangan sedih-sedih lagi. Ingat, move on. Karena hidup itu terus berjalan."
"Siap." Viona mengangguk mantap
Lalu mereka semua langsung berpelukan, mencurahkan kasih sayang dengan senyum kebahagiaan yang terus mengembang pada wajah masing-masing.
"Jadi kamu masih belum nemuin Viona sampai sekarang?." tanya Vina lurus yang memang sudah bersama dengan Dion sejak lima belas menit lalu di ruangan kerja kekasih dari anak angkatnya itu
"Belum tante." Dion menggeleng datar
"Kenapa?." Vina mengerutkan kening heran. "Bukankah kamu juga sudah tau kalau Viona tidak pernah mengkhianati keluarga kamu, lalu kenapa kamu masih juga belum menemui Viona untuk meminta maaf?."
"Sebenarnya Dion ingin sekali tante untuk menemui Viona, meskipun papa melarang tapi Dion ga peduli karena Dion ingin terus memperjuangkan cinta Dion ke Viona. Tapi untuk saat ini memang belum bisa, Dion masih harus fokus untuk membantu melunasi hutang-hutangnya papa. Apalagi deadline nya sudah semakin dekat." jelas Dion
"Tante sangat mengerti bagaimana keadaan kamu sekarang. Tapi Dion, menurut tante apa ga sebaiknya kamu mencoba temuin Viona sekali aja? Karena tante takut justru Viona akan berpikiran bahwa kamu sudah tidak peduli lagi sama dia, belum juga rasa kecewanya hilang karena waktu itu kamu tidak mau mendengarkan penjelasannya, sekarang harus ditambah dengan anggapan bahwa kamu sudah tidak mementingkannya lagi. Bisa saja dia membenci kamu, dan jujur tante ga mau itu terjadi." Vina menatap lurus Dion
"Apa yang dikatakan tante Vina ada benarnya juga." pikir Dion yang langsung tertegun beberapa saat. "Kalau begitu, Dion pergi sekarang juga untuk menemui Viona." sahutnya dengan cepat
"Yaudah, tante titip salam ya buat Viona." Vina menyunggingkan seulas senyum di bibirnya
"Loh tante ga mau sekalian ikut aja? Biar kita temuin Viona berdua." tanya Dion lurus
"Ngga Dion, kamu kan tau sendiri pintu rumah itu sudah tertutup rapat untuk tante." Vina mencoba mengingatkan lelaki itu kepada kejadian beberapa waktu lalu ketika ia diusir secara tidak hormat oleh orang tuanya Viona, yang pernah ia ceritakan sebelumnya
"Oh iya Dion mengerti." Dion mengangguk santai
Lalu ia pun langsung beranjak pergi untuk mengantarkan Vina pulang, sebelum akhirnya ia pergi untuk menemui Viona.
"Permisi Pak." sapa Dion setelah turun dari mobilnya kepada seorang satpam yang tengah berjaga di depan gerbang rumah Viona
"Den Dion ngapain kesini?." tanya lurus satpam itu yang memang sudah sangat mengenal kekasih dari anak majikannya meskipun baru beberapa kali kesana
"Saya mau bertemu dengan Viona, dia ada di rumah kan?." Dion tersenyum santai
"Non Viona dan keluarganya sedang liburan ke luar negeri, jadi sebaiknya Den Dion pulang saja. Karena di rumah hanya ada para pelayan." jelas satpam itu
"Ke luar negeri? Bapak pasti bohong kan?." Dion tersenyum tak percaya. "Viona sebenarnya ada di rumah, tapi karena om Anggara tidak mengizinkan saya untuk masuk jadi Bapak mengarang cerita seperti ini."
"Saya tidak mengarang cerita, Non Viona memang sedang liburan ke luar negeri bersama keluarganya." tegas satpam itu
"Kalau begitu, kemana mereka pergi liburan?." tanya Dion lurus
"Saya tidak tau tepatnya kemana, karena tuan Anggara hanya mengatakan bahwa mereka akan liburan ke luar negeri selama satu minggu."
"Satu minggu?." tanya Dion lagi
"Iya Den, jadi sebaiknya sekarang Den Dion pulang saja. Karena meskipun tidak berada disini, tapi tuan Anggara selalu memantau keadaan rumahnya. Dan dia bisa marah kalau sampai tau saya menerima Den Dion di rumah ini."
Karena tak bisa berbuat apa-apa lagi, Dion pun akhirnya pergi meninggalkan rumah itu. Terlebih ia bisa melihat bahwa satpam tadi memang berkata jujur, tanpa ada kebohongan sedikitpun.
"Tenang Dion, lo masih bisa ketemu Viona minggu depan. Sekarang dia memang membutuhkan liburan agar pikirannya menjadi lebih tenang." gumam Dion sambil tetap fokus mengemudikan mobilnya
***
Seminggu sudah berlalu. Dan sekarang Dion kembali mencoba untuk menemui Viona, ia terus mencoba memaksa masuk meski satpam yang tengah berjaga di depan gerbang rumah kekasihnya itu sudah mengusirnya berulang kali. Ia tak percaya pada satpam itu yang mengatakan bahwa Viona belum kembali dari luar negeri.
"Ada apa ini?." tanya Dimas yang baru mengeluarkan mobil ketika melihat keributan di depan gerbang rumahnya. "Dion? Lo ngapain kesini?." sinisnya saat mengetahui bahwa lelaki itulah yang menimbulkan keributan
"Gue mau ketemu sama Viona, dia ada di rumah kan?." tanya Dion lurus
"Ga ada, Viona ga ada di rumah. Dia masih di luar negeri." jelas Dimas
"Bagaimana mungkin? Lo aja udah balik, kenapa dia masih disana?." Dion mengerutkan kening heran
"Itu bukan urusan lo." sinis Dimas lagi. "Jadi sebaiknya lo pergi dari sini, karena sekalipun Viona ada, dia ga akan mau nemuin lo."
"Jelas ini urusan gue, karena Viona itu masih jadi pacar gue." tegas Dion
"Pacar lo bilang? Pacar seperti apa yang lo maksud? Pacar yang tidak mempercayai pacarnya sendiri, dan pacar yang tidak ada ketika sedang sangat dibutuhkan oleh pacarnya. Iya? Pacar seperti itu yang lo maksud?." tanya Dimas dengan tajam
"Lo ga tau apa-apa, jadi lo ga berhat ngomong kaya gitu." balas Dion tak kalah tajam
"Siapa bilang gue ga tau apa-apa? Gue tau semuanya. Gue tau bagaimana Viona berusaha untuk membuat lo percaya bahwa dia ga bersalah tapi selalu lo abaikan, gue tau bagaimana Viona sampai rela menunggu berjam-jam dan kehujanan hanya demi lo yang sama sekali ga ada niatan buat datang. Gue tau bagaimana tersiksanya Viona sampai harus jatuh sakit, mogok makan dan selalu terpuruk hanya karena lo yang sudah jelas-jelas tidak memperdulikannya lagi. Dan gue tau bagaimana hancurnya Viona ketika mengetahui bahwa lo udah tau semua kebenarannya tapi tetap juga tidak menemuinya." Dimas menatap penuh penegasan
"Semua yang lo katakan ini salah. Gue ga pernah menemui Viona lagi bukan karena gue udah ga peduli lagi sama dia, bukan karena dia udah ga penting lagi buat gue, dan gue sama sekali ga bermaksud untuk mengabaikan penjelasan yang ingin dia berikan. Karena di dalam hati kecil gue, gue sangat percaya bahwa saat itu Viona memang tidak bersalah. Tapi gue ga bisa menanggapinya, gue ga bisa datang untuk menemuinya, padahal sebenarnya gue pengen banget untuk selalu ada disampingnya Viona." jelas Dion
"Terus lo pikir gue percaya?." Dimas tersenyum sinis
"Gue ga nyuruh lo buat percaya, gue cuma mau sekarang juga lo biarin gue masuk karena gue harus ketemu sama Viona." Dion langsung mencoba menerobos
"Udah gue bilang, Viona ga ada disini." tegas Dimas sambil menghalangi jalan Dion. "Dan dia ga akan pernah kembali lagi kesini."
"Apa maksud lo?." tanya Dion lurus
"Ya Viona ga akan kembali lagi kesini, dia akan tinggal selamanya di luar negeri. Karena dia akan menata hidupnya yang baru dan dia akan melupakan semua kenangannya bersama orang-orang yang sudah menganggapnya bersalah atas apa yang tidak pernah dia lakukan, dia akan melupakan semua tentang orang-orang yang pernah meragukannya. Terlebih lo, orang yang katanya sangat menyayangi Viona tapi malah membuat Viona kecewa karena lo juga ikut meragukan dan tidak mempercayainya." jelas Dimas
"Ngga, lo pasti bohong." Dion menggeleng tak percaya
"Gue ga nyuruh lo buat percaya, gue cuma memberitahukan fakta yang ada." pungkas Dimas yang langsung beranjak memasuki mobilnya kembali
"Tunggu dulu, lo kasih tau ke gue. Viona sekarang ada dimana? Ada di negara mana?." Dion langsung menghalangi jalan lelaki itu
"Kenapa? Lo mau nyusulin dia?." tanya Dimas sinis. "Tapi sayangnya gue ga akan pernah ngasih tau lo dimana keberadaan Viona sekarang." tegasnya yang langsung masuk ke dalam mobil tanpa bisa ditahan lagi
"Ngga, ga mungkin Viona pergi. Ga mungkin dia meninggalkan aku seperti ini." Dion terus saja menggelengkan kepalanya karena merasa sangat tidak percaya dengan apa yang telah didengarnya barusan
"Sabar aja ya Den, penyesalan memang selalu datang belakangan." sahut satpam tadi yang seolah langsung memberikan tamparan keras pada Dion
"Iya Pak. Kalau begitu saya permisi dulu." balas Dion dengan sendu yang kemudian langsung menaiki mobilnya dan meninggalkan rumah itu
"Bodoh."
Satu kata itu yang terus diucapkan oleh Dion sambil mengemudikan mobilnya.
"Kalau aja lo nemuin Viona sejak awal, pasti dia ga akan pergi seperti ini." geram Dion. "Lo emang bener-bener bodoh, Dion." lanjutnya sambil memukul-mukuli setir yang tengah dikemudikannya
Hingga kefokusannya mulai kabur dan nyaris saja tabrakan dengan sebuah truk yang melintas di depan mobilnya, beruntung ia masih bisa menjaga keseimbangan dan langsung membanting setir hingga mobilnya terhenti dalam keadaan baik-baik saja di pinggir jalan.
"Viona." Dion menyandarkan tubuhnya pada jok mobil sambil mengusap wajah begitu frustasi. "Maafin aku, harusnya aku bisa mencegah kamu pergi." lanjutnya sambil meneteskan air mata
"Arghhhhhhh." teriak Dion semakin merasa frustasi
Ini benar-benar menyakitkan. Bukan hanya karena kepergian Viona, tapi juga karena penyesalannya yang telah menorehkan luka pada hati kekasihnya itu hingga akhirnya pergi jauh meninggalkannya.
Padahal ia pernah berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu menciptakan kebahagiaan pada hidup Viona, dan tidak akan pernah menyakiti gadis cantiknya itu sedikitpun. Tapi sekarang, apa yang telah dilakukannya sungguh mengecewakan. Ia melanggar janjinya sendiri.
Air matanya pun terus saja menetes, menemani kekalutannya di tengah senyap dan sepinya jalanan. Entah sudah berapa lama ia terus berdiam diri di dalam mobil seperti itu. Yang jelas saat ini hari sudah begitu terik dan panas matahari pun begitu menyengat, hingga menembus kaca mobilnya.
Setelah merasa cukup tenang, Dion akhirnya mulai mengemudikan mobilnya. Meski masih dengan tatapan kosong. Keadaannya sedang tidak memungkinkan untuk ia pergi ke restoran, bekerja seperti biasanya. Sehingga ia memutuskan untuk lebih memilih pulang ke rumah, mengistirahatkan pikiran dan juga tubuhnya yang mendadak lemah tak berenergi.
"Dion." sahut Sarah ketika anaknya itu baru saja memasuki rumah melewati ruang tamu tempat ia dan Reza berada sekarang
"Dari mana aja kamu? Di telepon dari pagi baru pulang sekarang?." tanya Reza yang nampak kesal
"Aku abis dari restoran." jawab Dion datar
"Jangan bohong, tadi papa sudah menelepon salah seorang karyawan kamu dan katanya kamu ga pergi ke restoran hari ini. Jadi dari mana kamu sebenarnya? Menemui Viona? Iya?." Reza nampak semakin kesal
"Udah ya Pa, aku cape. Aku pengen istirahat." Dion kembali menunjukkan wajah datar sambil beranjak pergi
Ia memang mendengar ponselnya terus berdering saat tengah menenangkan diri tadi, hanya saja ia tak menghiraukannya sedikitpun karena ia benar-benar merasa kalut dan tidak ingin diganggu oleh siapapun juga.
"Dimana pikiran dia? Kita hampir aja terusir dari rumah kita sendiri, sedangkan dia malah pergi menemui Viona dan tidak menjawab telepon dari kita sekalipun. Lalu sekarang dengan santainya dia malah bilang ingin istirahat." Reza sampai pada puncak kekesalannya
"Papa tenang dulu, kan belum tentu juga tadi Dion pergi menemui Viona. Bisa saja memang dia sedang ada urusan penting sehingga tidak bisa menjawab telepon dari kita." Sarah mencoba menenangkan suaminya itu
"Urusan apa lagi yang lebih penting dari masalah yang tengah kita hadapi? Kalaupun memang ada yang lebih penting, bagi dia itu ya cuma Viona. Dan papa sangat yakin tadi dia pergi untuk menemui Viona, dia benar-benar lebih mementingkan gadis itu daripada orang tuanya sendiri."
"Kalau memang tadi Dion pergi untuk menemui Viona, kenapa dia pulang dengan keadaan kalut seperti itu. Seharusnya dia bahagia, karena kalau mereka sudah bertemu berarti kesalahpahaman yang pernah terjadi sudah selesai dan hubungan mereka kembali membaik." pikir Sarah keras-keras yang memang bisa mengetahui keadaan anaknya tanpa perlu diungkapkan melalui kata
Sementara Dion, ia langsung memasuki kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Lelaki itu berdiam diri di depan wastafel sambil terus menatap kosong pada sebuah cermin yang berukuran cukup besar. Air matanya kembali menetes, tapi tak ada kata yang terucap.
Dion tengah menahan rasa sesak yang begitu menyiksa pada dadanya, lalu tiba-tiba semua kenangan bersama Viona memenuhi semua pikirannya. Dari mulai pertama kali mereka bertemu, selalu ribut setiap kali bersama, kemudian saling mencintai dan melewati suka duka bersama dengan penuh cinta, lalu mulai terpecah ketika kesalahpahaman itu terjadi dan bodohnya ia sempat mempercayai bahwa kekasihnya itu memang bersalah, hingga akhirnya hari ini ia harus menerima kenyataan pahit bahwa Viona telah pergi jauh meninggalkannya karena merasa sangat kecewa terhadap apa yang telah dilakukannya.
"Arghhhhhh." geram Dion yang langsung memukul keras cermin yang berada dihadapannya, sampai jari jemarinya bercucuran darah
"Dion." Sarah yang memang pergi menyusul Dion setelah anaknya itu pergi begitu ketika saja ketika tengah mengobrol tadi, langsung menghampiri dengan begitu khawatir. "Kamu kenapa?." tanyanya sambil menurunkan tangan Dion dari cermin itu
"Semuanya udah hancur Ma, semuanya udah hancur dan itu semua karena kebodohan Dion." geram Dion yang kembali memukul cermin yang ada dihadapannya dengan tangannya yang lain
"Dion, udah." Sarah nampak histeris melihat kedua tangan anaknya kini bercucuran darah. "Apapun yang terjadi, kamu ga boleh menyiksa diri kamu seperti ini." sahutnya sambil menatap nanar Dion
"Tapi Dion memang bodoh Ma, bahkan sangat bodoh. Gara-gara Dion sekarang Viona pergi dan dia ga mau kembali lagi kesini." jelas Dion sambil berurai air mata
"Viona pergi? Memangnya dia pergi kemana?." tanya Sarah lurus
"Seminggu yang lalu Dion pergi ke rumah Viona, tapi kata satpamnya Viona sedang liburan ke luar negeri bersama keluarganya selama satu minggu. Tapi tadi saat Dion kesana lagi, ternyata Viona belum kembali dan Dimas bilang Viona ga akan kembali karena dia akan tinggal selamanya disana. Dia ga mau kembali lagi kesini, karena dia ingin melupakan semua kenangan masa lalunya. Dan Dion ga tau Viona berada di negara mana sekarang, karena Dimas pun ga mau ngasih tau Dion." Dion semakin berurai air mata. "Kalau saja Dion menemui Viona sejak awal, pasti dia ga akan pergi seperti ini."
"Kamu tenang dulu ya, sayang. Sekarang biar mama obatin dulu tangan kamu, kalau terlalu lama dibiarkan nanti bisa infeksi." Sarah membawa anaknya itu hingga mereka terduduk di sofa yang ada di dalam kamar
Dengan penuh kelembutan, ia mengeluarkan beberapa pecahan kaca yang menusuk jari-jemari Dion. Lalu membersihkan semua darahnya, memberikannya obat antiseptik, obat merah hingga memakaikan perban dan plester pada kedua tangan anaknya itu.
Luka di tangan tersebut pasti terasa sangat sakit, namun Dion sama sekali tak merasakannya. Karena ia tengah merasakan luka lain yang jauh lebih sakit, yaitu luka pada hatinya. Itu ribuan kali jauh lebih sakit dibandingkan hanya luka pada tangannya.
"Sebaiknya kamu tenangin diri kamu dulu, jangan sampai kamu melakukan hal kaya tadi lagi." Sarah memegang lembut bahu Dion setelah ia membereskan alat P3K yang tadi digunakannya
"Kenapa Ma? Kenapa selalu saja ada hal yang membuat Dion dan Viona harus terpisah? Kalau sebelumnya masih bisa Dion terima, karena perpisahannya itu hanya terjadi dengan singkat. Tapi sekarang? Kami benar-benar terpisah, Viona pergi jauh meninggalkan Dion. Padahal kami sudah berjanji untuk selalu bersama apapun yang terjadi. Dion ga bisa Ma, Dion ga bisa menerima semua ini. Dion ga bisa melanjutkan hidup tanpa Viona." Dion begitu terisak dalam tangis menyakitkannya
Melihat hal itu, Sarah pun tak mampu menahan air matanya. Ia juga ikut terluka melihat Dion seperti ini. Karena untuk pertama kalinya, ia melihat anaknya sampai menangis bahkan sampai terisak begitu menyakitkan. Sebelumnya Dion adalah anak yang sangat kuat, tidak pernah sehancur ini.
"Mama tau semua ini berat untuk kamu, tapi kamu harus kuat. Ini adalah ujian untuk cinta kalian, mama yakin kalian akan dipersatukan lagi. Jadi kamu harus bisa melewatinya." Sarah mencoba menyemangati
Dion hanya terdiam dan langsung menunduk, ia mencoba menahan rasa sesaknya yang semakin menyiksa.
"Sebaiknya aku tidak dulu menceritakan apa yang terjadi tadi pagi kepada Dion, aku ga mau membuat pikirannya semakin terbebani. Lagipula sekarang semuanya sudah baik-baik aja." gumam Sarah dalam hatinya
***
"Ayo dong sayang, kamu makan dulu. Sudah beberapa hari ini kamu ga makan, tuh lihat wajah kamu aja sampai pucat gitu. Nanti kalau kamu sakit gimana?." bujuk Sarah untuk kesekian kalinya kepada Dion yang sekarang tengah berdiam diri di balkon kamarnya
"Tapi Dion ga mau makan Ma, biarin aja Dion sakit. Lagipula sehat juga untuk apa." acuh Dion
"Kamu koq ngomongnya kaya gitu sih, kamu ga mikirin mama dan papa?." tanya Sarah lurus
"Mama dan papa aja ga mikirin Dion kan? Kalian malah selalu melarang setiap kali Dion ingin menemui Viona, sampai akhirnya Viona pergi. Dan sekarang Dion harus memikirkan kalian? Setelah Dion hancur karena keegoisan kalian." Dion menatap penuh penegasan
"Dion, mama dan papa sama sekali ga bermaksud membuat kamu hancur..."
"Tapi kenyataannya sekarang, Dion memang hancur Ma." sela Dion dengan nada tinggi
"Berani kamu menaikkan nada bicara kamu sama mama kamu sendiri hanya karena gadis itu." sahut Reza yang tiba-tiba datang
"Lalu aku harus gimana Pa? Aku harus biasa-biasa aja setelah apa yang terjadi? Aku tau, kalian adalah orang tua aku yang harus aku hormati dan turuti keinginannya. Tapi setidaknya kalian coba memikirkan perasaan aku, ga seharusnya kalian mengorbankan kebahagiaan anak kalian sendiri hanya karena permusuhan kalian dengan orang tuanya Viona." Dion nampak sangat kesal. "Selama ini aku selalu menuruti kemauan kalian, hingga akhirnya aku menentukan pilihan aku sendiri dengan lebih memilih Viona dibandingkan dijodohkan dengan Putri. Dan kalian pun sudah menyetujuinya karena kalian tau Viona memang yang terbaik buat aku, tapi kenapa sekarang kalian malah kembali mengekang aku dan memaksakan kehendak kalian sama aku?."
"Kami ga bermaksud mengekang kamu, tapi sekarang hubungan kamu sama Viona itu sudah tidak mungkin untuk dilanjutkan lagi." Sarah mencoba memberi pengertian
"Tidak mungkin gimana lagi sih Ma? Sudah jelas-jelas Viona tidak pernah mengkhianati kita semua, dia ga ada kaitannya sama balas dendam orang tuanya." Dion nampak semakin jelas
"Memang tidak ada kaitannya, tapi Anggara dan Marisa sudah pasti akan menentang hubungan kalian. Jadi daripada kamu merendahkan diri kamu dengan mengemis restu dari mereka, lebih baik kamu akhiri semuanya." tegas Reza
"Kenapa harus Dion dan Viona yang mengalah? Kenapa ga papa aja yang mengalah dengan berdamai bersama mereka? Papa akui saja kesalahan papa di masa lalu, terus papa minta maaf sama mereka. Beres kan semuanya? Ga ada lagi yang perlu dikorbankan." balas Dion tak kalah tegas
"Kamu." Reza nyaris melayangkan sebuah tamparan pada anaknya itu, tapi ia mencoba menahannya sekuat mungkin lalu menurunkan tangannya kembali
"Kenapa? Papa mau nampar aku? Tampar aja Pa, ga usah ragu. Nih tampar." Dion mengarahkan pipi kanannya pada Reza
"Dion, udah. Kenapa kamu jadi kurang ajar seperti ini?." Sarah menatap tak percaya
"Arghhhh." Dion langsung membalikkan badannya ke arah balkon sambil memulkan kedua tangannya pada pembatas besi balkon itu
"Udah Ma, biarkan aja dia sendiri. Kalau emang ga mau makan, ga usah dipaksa. Kita pergi aja." ajak Reza pada istrinya
"Tapi Pa." Sarah mencoba menolak
"Udah ayo." ajak Reza lagi sambil menarik tangan Sarah
"Tunggu Pa." Sarah tiba-tiba memfokuskan pandangannya ke arah tangan Dion. "Tangan kamu berdarah lagi." sahutnya yang langsung memeriksa tangan anaknya itu
"Biarkan aja Ma." acuh Dion sambil melepaskan kedua tangannya dari pegangan Sarah
"Ga bisa dong sayang, luka kamu bisa infeksi." Sarah kembali memeriksa tangan Dion. "Ikut mama, biar mama obati dan ganti perban kamu." ajaknya yang langsung membawa anaknya itu ke dalam kamar
"Papa panggilkan dokter keluarga aja ya, biar tangan kamu dirawat lebih intensif." Reza mencoba menawarkan
"Ga usah." acuh Dion yang tengah diobati oleh Sarah
Namun Reza tak menghiraukan, ia langsung menelepon dokter keluarganya. Karena sekeras apapun sikapnya, ia tetap peduli dan merasa khawatir ketika anaknya terluka.