Part 46 LOVE IN RAIN
novel.goshere.xyz Situs Berbagi Cerita, Baca novel online gratis beragam cerita. Temukan aneka novel romance, novel horor, dan novel adult romance. Saat ini novel.goshere.xyz Situs Berbagi Cerita Part 46 LOVE IN RAIN
"Mohon maaf Bu. Tapi sesuai perintah Tuan Anggara, ibu tidak boleh masuk ke rumah ini." sahut satpam yang tengah berjaga
"Tapi saya hanya ingin menjenguk Viona sebentar, saya mohon Pak izinkan saya masuk. Cuma sebentar, saya janji ga akan lama." bujuk Vina untuk kesekian kalinya
"Saya tau ibu mengkhawatirkan keadaan non Viona, tapi maaf Bu. Saya hanya menjalankan perintah, Tuan Anggara tidak mengizinkan ibu masuk ke dalam rumah ini." tegas satpam itu
"Saya mohon Pak, sebentar saja." Vina mencoba kembali membujuk
"Tetap tidak bisa Bu, jadi sebaiknya ibu pergi dari sini."
Hingga tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di depan gerbang, tak jauh dari posisi Vina berdiri sekarang. Dan tak terlalu lama pemilik mobil itu pun keluar yang ternyata adalah Dimas.
"Tante Vina ngapain disini?." tanya Dimas lurus
"Tante mau jengukin Viona, Dion bilang katanya Viona lagi sakit ya? Tante pengen lihat keadaan dia, tapi dari tadi satpam ini ga mengizinkan tante untuk masuk." jelas Vina
"Dion ngapain malah nyuruh tante Vina untuk jengukin Viona, bukannya dia sendiri kek yang datang. Yang Viona butuhkan sekarang kan dia." gerutu Dimas dalam hatinya
"Maaf Den, saya tidak mengizinkan Bu Vina masuk karena memang atas perintah dari Tuan Anggara." jelas satpam tadi
"Udah gapapa, ayo tante kita masuk." ajak Dimas yang langsung membukakan pintu depan mobilnya
"Tapi Den, nanti Tuan Anggara bisa marah."
"Masalah papa biar jadi urusan saya, jadi kamu tenang aja."
Dimas pun langsung masuk kembali ke dalam mobilnya setelah Vina naik, lalu mulai mengemudikan mobilnya memasuki gerbang dan berhenti tepat di depan rumah.
"Memangnya tante masih peduli ya sama Viona sampai jengukin dia kaya gini?." tanya Dimas saat mereka tengah berjalan menuju kamar Viona
"Maksud pertanyaan kamu ini apa ya? Ya jelas tante peduli sama Viona karena tante sangat menyayangi dia." Vina nampak tak mengerti
"Mohon maaf ya tante sebelumnya, kalau memang tante sangat menyayangi Viona kenapa tante malah percaya kalau Viona telah mengkhianati Dion dan keluarganya?." Dimas langsung menghentikan langkahnya. "Padahal seharusnya tante tau betul dong bagaimana Viona, dia ga mungkin melakukan hal itu terlebih kepada Dion, orang yang begitu dia cintai dan sayangi."
"Jangan kamu pikir tante percaya sepenuhnya sama hal itu, ngga Dimas. Dalam hati kecil tante, tante sangat yakin kalau Viona memang tidak mungkin melakukan semua itu. Tapi kenyataannya Viona memang bersalah." jelas Vina
"Jadi tante masih menganggap bahwa Viona bersalah?." Dimas tak habis pikir
"Ya memang semua fakta yang ada menunjukkan bahwa dia bersalah."
"Yasudahlah kalau memang itu yang tante yakini." acuh Dimas sambil kembali melanjutkan langkahnya. "Ini kamar Viona, tante masuk aja." sahutnya setelah membukakan pintu kamar adiknya
Vina pun mulai memasuki kamar itu setelah Dimas pergi meninggalkannya, berjalan melewati sebuah ruangan cukup besar yang terdapat sofa, TV, dan meja kerja di dalamnya. Hingga akhirnya ia tiba di kamar Viona sebenarnya. Kamar yang begitu membuatnya takjub, karena memang sangat mewah dan benar-benar besar.
"Beda jauh sekali sama kamar Viona yang sebelumnya." gumam Vina sambil memperhatikan semua sudut kamar itu
Lalu pandangannya mulai tertuju ke tempat tidur, ada Viona disana. Tengah terbaring tak berdaya, dengan selang infusan di tangannya.
"Sayang." Vina langsung mempercepat langkahnya hingga ia terduduk di samping anak angkatnya itu
"Mama." lirih Viona dengan begitu lemas dan pelan, bahkan nyaris tak terdengar
"Sayang, kamu kenapa?." Vina mengelus lembut wajah Viona yang begitu sayu dan pucat
"Untuk apa mama kesini?."
Pertanyaan Viona membuat Vina kaget tak percaya, ia tak mengerti kenapa Viona mengeluarkan pertanyaan sepeti itu.
"Mama kesini jelas karena mama peduli sama kamu, mama khawatir sama keadaan kamu." jelas Vina. "Katanya beberapa hari ini kamu ga mau makan ya? Kenapa sayang? Sekarang kamu makan ya, biar mama suapin kamu." bujuknya sambil mengambil sebuah piring berisi makanan yang entah sejak kapan berada di atas meja samping tempat tidur
"Lebih baik mama pulang aja, dukung keluarga Dion yang lagi hancur. Ga usah peduliin Viona." acuh Viona yang langsung memalingkan wajahnya
"Maksud kamu apa?." Vina mengerutkan kening heran
"Kamu masih nanya maksud Viona apa? Baik, biar saya yang jelaskan." sahut Marisa yang tiba-tiba datang bersama suaminya. "Bukankah kamu berada dipihak Dion dan keluarganya? Sampai kamu tega menampar Viona demi untuk membela mereka semua. Padahal kamu sudah merawat dan menjaga Viona selama 20 tahun lamanya, tapi kamu sampai tega menyakiti dia hanya demi orang yang baru kamu kenal sebentar."
"Dan sekarang untuk apa kamu merasa khawatir dengan keadaannya Viona? Kepercayaan kamu sama Viona pun sudah tidak ada lagi kan, jadi kamu ga perlu lagi bersikap seolah-olah masih peduli sama Viona seperti ini."
"Kepercayaan sama Viona? Maksud kamu apa?." Vina langsung berdiri dengan wajah tak mengerti, setelah menyimpan kembali piring yang tadi dipegangnya ke atas meja
"Kamu masih belum mengerti juga? Ya ampun Vina." geram Marisa. "Kamu pikir yang mencuri file presentasi milik Dion itu benar-benar Viona? Bukan Vina. Yang mencuri file itu adalah orang suruhan kami dan memang dia mengambil tak lama setelah Viona bilang kepada Dion ingin melihat isi dari file itu, sehingga menjadi Viona yang dianggap bersalah. Padahal Viona ga tau apa-apa dan dia pun ga tau bahwa yang di presentasikannya waktu itu adalah file presentasinya Dion, karena memang dia tidak jadi melihat isi file presentasinya Dion."
"Apa? Jadi maksudnya semua itu adalah rencana kalian dan kalian memanfaatkan Viona untuk melancarkan rencana kalian itu?." Vina langsung menatap Marisa dan Anggara dengan sangat kesal
"Cerdas juga kamu." Anggara tersenyum culas. "Kami memang sengaja menggunakan Viona untuk melancarkan rencana itu agar Dion dan keluarganya membenci Viona, sehingga kami tidak perlu susah payah menjauhkan Viona dari mereka. Bukan kami tidak memikirkan perasaannya Viona, tapi kami tidak ingin jika Viona masih berurusan dengan keluarga si pengkhianat itu. Karena kami tidak sudi jika harus mempunyai hubungan lagi dengan mereka." jelasnya dengan nada penuh kebencian
"Dan jika saja sejak awal kamu lebih mempercayai perkataan Viona dibandingkan perkataannya Reza, sampai kapanpun kita masih bisa berhubungan baik dan kamu tetap bisa bertemu dengan Viona kapanpun kamu mau. Tapi sayangnya kamu malah lebih mempercayai si pengkhianat itu dan fakta-fakta yang ada, jadi jangan salahkan kami kalau kami tidak akan pernah mengizinkan kamu untuk menemui Viona lagi. Jadi sebaiknya sekarang juga kamu pergi, dan jangan pernah menginjakkan kaki di rumah ini lagi. Karena pintu rumah ini tertutup rapat untuk para pengkhianat dan juga pembelanya." tegas Marisa dengan sangat tajam
"Tapi saya sangat mengkhawatirkan keadaaanya Viona, apalagi dia sampai tidak mau makan selama berhari-hari. Biarkan saya membujuknya dulu agar dia mau makan." sahut Vina
"Viona tidak butuh bujukan dari kamu, karena apa? Dia menjadi seperti itu karena kamu dan juga Dion. Dia tertekan karena orang-orang yang begitu disayanginya malah terus menyalahkannya dan tidak mau sedikitpun mempercayai apa yang dia katakan." tegas Marisa lagi
"Jadi sekarang kami pergi dari sini." Anggara langsung menarik lengan Vina
"Tapi Viona membutuhkan saya."
"Viona sama sekali tidak membutuhkan kamu, karena kami sebagai orang tuanya ada bersama dia. Jadi sekarang juga kamu pergi sebelum saya berbuat kasar sama kamu."
Vina terus berusaha menahan dirinya agar tetap berada disana untuk Viona, namun Anggara memanggil para penjaga rumahnya yang membuat ia tak bisa menahan diri lagi dan akhirnya terusir dengan tidak hormat.
Sementara Viona yang menyaksikan semua itu hanya terdiam tanpa melakukan pembelaan apapun. Sebenarnya ia tak terima dengan perlakuan orang tuanya terhadap Vina, tapi ia masih merasa kecewa dan kesal karena Vina terus saja menyalahkannya dan menganggapnya telah mengkhianati keluarganya Dion. Padahal ia berharap Vina bisa mempercayainya meskipun belum mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. Karena selama ini perempuan itu adalah orang yang selalu mendukung dan berada disampingnya dalam setiap masalah yang telah ia lewati, bukan seperti sekarang.
Hingga tiba-tiba kepala Viona terasa sangat berat dan perutnya terasa sangat sakit. Sebenarnya selama mogok makan beberapa hari ini, ia sering merasakan kedua rasa sakit itu. Tapi untuk kali ini jauh lebih sakit dan membuatnya tak bisa menahannya lagi.
"Awww." teriak Viona sambil memegang kepala dan perutnya, serta menangis kesakitan
"Viona." Anggara dan Marisa yang berada cukup jauh dari posisi Viona pun langsung menghampiri
"Kamu kenapa sayang?." Marisa nampak sangat khawatir
"Perut Viona sakit Ma dan kepala Viona terasa berat sekali." rintih Viona yang semakin merasa kesakitan
"Yaudah kita pergi ke rumah sakit sekarang ya." Anggara langsung bersiap untuk menggendong putrinya itu
"Viona ga kuat pergi jauh-jauh Pa." rintih Viona kembali
"Viona kenapa?." tanya Dimas yang baru datang. "Dan tante Vina mana?."
"Kamu ga perlu urusin Vina, lebih baik sekarang juga kamu telepon dokter Alex, kalau perlu jemput dia, bawa dia kesini. Viona meringis kesakitan." suruh Marisa yang semakin khawatir. "Kamu tahan ya sayang, sebentar lagi dokter Alex kesini." sahutnya sambil mengelus lembut perut Viona untuk sedikit menghilangkan rasa sakitnya
"Sakit Ma." Viona nampak benar-benar kesakitan
"Tahan dulu ya sayang, kamu harus kuat." Anggara langsung memijit kepalanya Viona. "Dimas cepetan, hubungi dokter Alex." suruhnya kepada Dimas dengan sedikit emosi
"Udah Pa, kebetulan dia sedang berada di dekat sini jadi sebentar lagi juga nyampe."
Hingga tak terlalu lama dokter Alex pun datang dan langsung memeriksa Viona. Meski awalnya Viona masih merintih kesakitan, namun perlahan setelah disuntik Viona pun mulai tenang dan sakit yang dirasakannya mulai menghilang.
"Sepertinya tidak ada asupan yang masuk ya ke dalam tubuh Viona selama beberapa hari ini?." tanya dokter Alex setelah melakukan tugasnya
"Memang benar Dok, karena setelah sadar dari demamnya waktu itu Viona langsung mogok makan. Meski kami paksa berulang kali pun dia tetap tidak mau makan." jawab Marisa
"Sebaiknya bagaimanapun caranya kalian harus bisa membujuk Viona agar mau makan, karena saat ini kondisinya sangat lemah bahkan lambungnya sudah kena. Saya takut jika terus-menerus dibiarkan, keadaannya bisa semakin parah." jelas dokter Alex
"Baik Dok, kami akan berusaha membujuknya agar dia mau makan." pungkas Marisa sebelum akhirnya dokter Alex pamit pergi usai memberikan beberapa obat untuk Viona
"Tuh kamu denger kata dokter Alex tadi, keadaan kamu bisa semakin parah kalau kamu terus mogok makan." Anggara langsung terduduk kembali di samping Viona. "Jadi sekarang kamu makan ya, udah cukup kamu menyiksa diri kamu seperti ini. Papa, mama dan Dimas sayang sama kamu. Jadi kamu harus sembuh untuk kami." bujuknya dengan sangat lembut
"Lagipula meskipun kamu sampai mogok makan dan terbaring lemah seperti ini, Dion juga tidak datang menemui kamu kan? Jadi untuk apa kamu menyiksa diri kamu hanya untuk orang yang sudah tidak peduli lagi sama kamu." sahut Dimas dengan penuh penegasan
"Iya sayang, jadi sekarang kamu makan ya. Kami semua sedih kalau kamu terus seperti ini." sambung Marisa
"Mereka semua benar, untuk apa aku menyiksa diri hanya untuk orang yang sudah tidak peduli lagi sama aku." gumam Viona dalam hatinya. "Aku harus sembuh. Iya, aku harus sembuh untuk mereka. Keluarga sesungguhnya yang sudah jelas begitu memperdulikanku."
"Kamu makan ya, biar papa yang suapin kamu." Anggara langsung mengambil piring berisi makanan yang berada di atas meja
"Iya." Viona langsung menganggukkan kepalanya
Seketika Anggara, Marisa dan Dimas pun merasa sangat senang karena akhirnya gadis itu mau makan.
Lalu Anggara mulai menyuapi Viona dengan penuh kelembutan dan perhatian, hingga piring yang dipegangnya menjadi bersih tanpa ada sisa makanan yang tersisa sedikitpun. Sedangkan Marisa membantu putrinya itu untuk minum dengan memegangi gelasnya.
Semua perhatian itu membuat hati Viona begitu terenyuh, terlebih perhatian yang diberikan oleh Anggara. Akhirnya setelah sekian lama ia bisa merasakan lagi kasih sayang dari seorang papa. Ini sungguh membuat hatinya begitu bahagia.
***
Viona baru saja terbangun dari tidurnya, namun ia langsung sibuk sendiri menjelajahi semua sudut kamarnya. Keadaannya memang sudah membaik sejak tiga hari yang lalu, bahkan hari ini ia sudah merasa benar-benar sehat kembali.
Dan sekarang ia tengah kehilangan sesuatu yang sangat penting, yaitu cincin serta kalung pemberian dari Dion. Bahkan jam tangan pemberian dari Feby pun juga ikut hilang. Padahal selama sakit kemarin semua barang itu masih menempel di tubuhnya, tapi saat ia bangun pagi ini semuanya menghilang. Entah kemana hilangnya, ia sendiri pun tidak tau.
"Kamu lagi nyari apa sayang?." tanya Marisa yang tiba-tiba datang sambil membawakan sarapan untuk Viona
"Viona lagi nyari itu Ma, kalung, cincin dan jam tangan yang selalu Viona pakai. Mama lihat ga?." Viona kembali melanjutkan pencariannya ke beberapa laci yang ada di kamarnya
"Oh kamu nyari barang-barang itu." sahut Marisa dengan santai sambil menyimpan makanan yang dibawanya di atas meja samping tempat tidur seperti biasanya
"Iya. Mama lihat ga? Atau mungkin terlepas terus mama simpan." Viona menatap lurus mamanya itu
"Semua barang-barang itu sudah mama bakar, termasuk jaket pemberian dari Dion, sweater pemberian dari Vina, dan semua barang yang ada kaitannya dengan Dion, serta foto-foto kenangan kalian." jelas Marisa kembali bersikap dengan santai
"Apa? Dibakar?." Viona nampak tercengang
"Iya." Marisa mengangguk cepat. "Biar kamu ga terus-menerus mengingat mereka."
"Tapi Ma, mama ga berhak melakukannya. Semua barang-barang itu milik Viona." sahut Viona yang langsung meneteskan air mata
"Mama tau, tapi mama ingin kamu benar-benar menjauh dan melupakan mereka semua. Kalau barang-barang itu masih ada, bagaimana bisa kamu menjauh dan melupakan mereka?." Marisa menatap dengan tegas
"Tapi tetap aja mama ga berhak melakukannya." Viona semakin berurai air mata
"Mama ini mama kamu, mama hanya ingin yang terbaik untuk kamu. Mama ga mau melihat kamu sedih hanya karena terus mengingat mereka yang sama sekali sudah tidak peduli lagi sama kamu." Marisa mencoba memberi pengertian
"Dimana mama membakar barang-barang itu?." Viona mengalihkan pembicaraan
"Di taman belakang rumah..."
Belum juga Marisa menuntaskan perkataannya, Viona langsung berlari keluar dari kamarnya.
"Sayang, kamu mau kemana?." tanya Marisa
Namun Viona sama sekali tak menghiraukan, ia terus berlari menuju lift hingga tiba di lantai paling bawah rumahnya. Lalu ia kembali berlari menuju belakang rumah, hingga tiba di sebuah taman. Dan ia menemukan sebuah ember kaleng besar di tengah taman itu dengan asap yang keluar dari dalamnya.
Perlahan Viona berjalan mendekati embel kaleng besar itu, namun ia terlambat. Semua barang-barang kenangannya sudah menjadi abu. Tak ada lagi yang tersisa. Dadanya seketika menjadi sangat sesak, air matanya semakin deras mengalir, tubuhnya pun kembali melemah hingga tersungkur di atas rerumputan taman. Ia membayangkan moment dimana Dion, Vina dan juga Feby memberikan barang-barang itu dengan penuh cinta dan kebahagiaan. Ia merasa kesal karena tidak bisa menjaga semuanya dengan baik.
"Viona."
Tiba-tiba terdengar suara orang memanggilnya dari belakang. Dengan cepat Viona memutar kepalanya dan langsung berdiri, lalu memeluk erat orang yang memanggilnya itu.
"Kamu kenapa?." Dimas yang memang langsung menyusul ketika melihat Viona berlari tadi mencoba menenangkan dengan pelukan hangatnya
"Mama membakar semua barang-barang kenangan aku." lirih Viona dalam pelukan kakaknya itu. "Sekarang sudah ga ada lagi yang tersisa, mereka udah pergi dan barang-barang pemberian dari mereka pun juga ikut pergi."
"Siapa bilang ga ada yang tersisa?." Dimas mengurai pelukannya. "Masih ada koq, yaitu cinta kamu untuk mereka dan cinta mereka untuk kamu. Itu adalah hal yang paling berharga dari segalanya. Dan aku yakin suatu hari nanti cinta itu akan menyatukan kalian lagi."
"Jangan pernah memberi harapan jika kamu sendiri pun tidak meyakini apakah hal itu akan benar-benar terjadi atau malah tidak akan pernah terjadi." sahut Marisa yang juga menyusul Viona
"Ma." Dimas langsung memberi tatapan seolah meminta mamanya itu mengiyakan perkataannya
"Kita berbicara berdasarkan kenyataan aja Dimas, jangan memberi Viona harapan semu." jelas Marisa
"Tapi Ma." Dimas mencoba memberi pengertian
Tanpa memberikan respon apa-apa Viona langsung beranjak pergi meninggalkan mama dan kakaknya itu.
"Tuh kan." Dimas nampak geram. "Viona itu lagi sedih, seharusnya mama berusaha membuat dia senang lagi bukannya malah membuat dia semakin down."
"Justru Viona akan semakin down kalau terus dikasih harapan tentang hal yang jelas-jelas sudah tidak mungkin lagi untuk terjadi." pungkas Marisa sebelum akhirnya beranjak pergi
"Apa yang dikatakan mama ada benarnya, tapi gimanapun caranya aku harus membuat Viona tidak lagi berlarut-larut dalam kesedihannya." gumam Dimas sambil berpikir keras
***
Hari berganti hari, namun kesedihan Viona masih juga belum mereda. Gadis itu begitu merasa kalut dan sering kali menghabiskan waktu dengan menangis. Ia merasa sangat hancur dengan kenyataan yang tengah dihadapinya. Ia tak menyangka jika Dion benar-benar sudah tidak lagi memperdulikannya, bahkan sampai detik ini pun lelaki itu tidak pernah menemuinya.
Melihat keadaan adiknya demikian, Dimas merasa ikut bersedih. Ia selalu berusaha mencari cara untuk mengembalikan keceriaan di wajah Viona, sayangnya selalu tidak berhasil. Namun untuk kali ini, ia meyakini bahwa caranya akan berhasil.
Dengan tanpa keraguan sedikitpun, ia berjalan menghampiri Viona yang tengah berdiam diri di balkon kamarnya. Menikmati mentari pagi.
"Viona." panggil Dimas yang membuat adiknya itu langsung menoleh ke arahnya
"Iya, kenapa?." tanya Viona dengan wajah datar setelah menghapus air mata yang membasahi wajahnya dengan cepat
"Kita olahraga bareng yukk." ajak Dimas santai
"Olahraga bareng?." Viona menatap lurus Dimas
"Iya." Dimas mengangguk singkat. "Kita lari-lari kecil, mumpung cuacanya lagi bagus. Udah lama juga kan kita pernah olahraga bareng lagi?."
"Ngga ah, males." tolak Viona dengan wajah murung
"Ayolah, biar kamu ga terus-terusan kusut kaya gini. Kita cari udara segar." bujuk Dimas
"Enak aja kusut, emangnya aku apaan." sebal Viona
"Ya emang kusut kan? wajah kamu tiap hari kaya gini terus. Selalu sedih lah, murung lah. Ga enak banget dilihatnya." ledek Dimas jail
"Yaudah ga usah dilihat, gitu aja koq repot." acuh Viona
"Aduh, susah banget sih bujukin Viona." gerutu Dimas dalam hatinya. "Ayolah. Emangnya mau sampai kapan kamu kaya gini terus? Mau sampai tua? Sampai jadi nenek-nenek yang keriput? Kamu mau menghabiskan seumur hidup kamu hanya untuk kaya gini? Ga guna banget." sahutnya sambil tersenyum meledek
"Ga lucu." ketus Viona yang langsung memalingkan wajahnya
"Loh emangnya siapa yang lagi ngelucu? Orang aku ga lagi ngelucu juga. Aku ini ngomong serius, mau sampai kapan kamu kaya gini? Waktu kamu itu terlalu berharga jika hanya untuk dihabiskan dengan hal ga penting kaya gini. Dion aja mungkin sekarang sedang menikmati hidupnya sampai bisa melupakan kamu, kenapa kamu sendiri ga bisa seperti itu?."
Perkataan Dimas seakan langsung menampar Viona. Gadis itu tersadar jika waktunya belakangan ini memang dihabiskan untuk hal yang sama sekali tidak penting. Ia pun tak mengerti kenapa ia bisa sebodoh ini, menyia-nyiakan waktunya hanya untuk orang yang benar-benar sudah tidak memperdulikannya lagi.
"Kenapa? Masih belum sadar juga kalau kamu sudah menyia-nyiakan hidup kamu seperti ini? Come on Viona hidup itu terus berjalan." Dimas kembali menatap Viona dengan penuh penegasan
Come on Viona hidup itu terus berjalan. Kalimat tersebut mengingatkan Viona pada apa yang dikatakan Dion dulu saat dirinya begitu hancur karena Dimas. Dan seketika ia langsung berpikir mungkin sekarang saatnya untuk ia kembali melanjutkan hidupnya, meski tanpa kehadiran Dion. Memang sangat berat, tapi ia meyakini bahwa dirinya pasti bisa melakukannya.
Jika dulu saja aku bisa melanjutkan hidupku setelah hancur karena Dimas, pasti sekarang pun aku bisa melanjutkan hidupku setelah hancur karena Dion. Yakinnya dalam hati.