Part 45 LOVE IN RAIN
novel.goshere.xyz Situs Berbagi Cerita, Baca novel online gratis beragam cerita. Temukan aneka novel romance, novel horor, dan novel adult romance. Saat ini novel.goshere.xyz Situs Berbagi Cerita Part 45 LOVE IN RAIN
"Gimana keadaan Viona sekarang Ma?." tanya Anggara yang baru memasuki kamar putrinya itu dengan pakaian yang sudah sangat rapih dan sudah siap untuk pergi ke kantor
"Kalau demamnya sih sudah turun Pa, tapi ya masih seperti ini. Belum sadarkan diri." jelas Marisa sambil terus mengelus lembut kening Viona
Perempuan itu memang sejak semalam selalu berada di samping Viona, menemani tidurnya dan mengganti kompresannya setiap waktu.
"Yaudah kalau begitu sebaiknya hari ini mama jangan ke kantor dulu ya, mama temenin Viona aja." Anggara mulai terduduk di tepi ranjang, berhadapan dengan Marisa
"Iya Pa." Marisa mengangguk singkat. "Justru mama juga berniat untuk mengatakan hal itu sama papa."
"Apa ga sebaiknya kita bawa Viona ke rumah sakit aja? Papa khawatir sama keadaannya, karena sampai sekarang aja dia belum juga sadarkan diri." Anggara menggenggam erat tangan Viona yang dipasangi selang infusan
"Mama juga mengkhawatirkan hal yang sama." Marisa kembali mengelus lembut kening putrinya
"Yaudah kalau gitu, sekarang juga kita bawa Viona ke rumah sakit." Anggara langsung bangkit dan bersiap untuk menggendong Viona
"Dion." sahut Viona tiba-tiba yang masih belum sadarkan diri
"Viona mulai sadar Pa." Marisa nampak sangat senang. "Sayang." panggilnya lembut sambil kembali mengelus kening putrinya itu
"Dion." sahut Viona lagi sebelum akhirnya kembali pada posisi awalnya, terdiam kaku dalam ketidaksadarannya
"Koq Viona diam lagi Pa?." Marisa nampak khawatir
"Biar papa hubungi dokter Alex sebentar." Anggara langsung mengeluarkan ponselnya untuk menelepon dokter keluarganya itu yang semalam memeriksa Viona
Namun belum juga teleponnya terhubung, ia langsung mematikannya kembali. Karena tiba-tiba saja Viona mulai sadarkan diri dan mulai membuka matanya secara perlahan.
"Sayang." Marisa tak mampu menyembunyikan rasa bahagianya
"Mama." lirih Viona yang masih nampak sangat lemas. "Papa." lirihnya lagi sambil menoleh ke arah Anggara yang kembali terduduk di sampingnya
"Iya sayang, papa sama mama ada disini." Anggara mengelus lembut punggung tangan putrinya itu
"Dion mana?." tanya Viona lurus
Seketika Anggara dan Marisa pun langsung saling bertatapan, lalu kembali memfokuskan pandangan ke arah putrinya.
"Udah ya sayang, kamu jangan dulu memikirkan hal yang ga penting. Lebih baik sekarang kamu memikirkan kesehatan kamu dulu." Marisa mencoba mengalihkan pikiran Viona. "Kamu makan dulu ya, biar mama suruh pelayan membawakan makanan untuk kamu sebentar."
Kemudian Marisa pun langsung menelepon pelayannya melalui telepon rumah yang berada di atas meja dekat tempat tidurnya Viona, telepon yang sengaja dipasang di tiap kamar. Dimana telepon itu sudah terhubung khusus ke bagian dapur, sehingga mereka tinggal menggunakannya ketika merasa lapar dan malas untuk keluar dari kamar.
"Sekarang kamu makan dulu ya sayang, biar mama suapin." sahut Marisa setelah makanan yang ditunggunya datang
"Ga mau." tolak Viona. "Viona ga mau makan, Viona cuma mau ketemu sama Dion. Viona ingin menjelaskan semuanya sama dia."
"Untuk apa kamu ingin menjelaskan semuanya sama Dion? Dia aja sama sekali ga mau mendengarkan penjelasannya kamu, buktinya kemarin aja dia ga datang kan untuk menemui kamu?." tanya Anggara lurus
"Ya mungkin karena kemarin Dion memang lagi sibuk Pa, makanya dia ga bisa datang untuk menemui Viona." jelas Viona dengan posisi yang masih tetap terbaring lemas
"Kalau memang dia ga bisa datang, seharusnya dia menghubungi kamu. Bukannya malah membiarkan kamu menunggu tanpa kepastian sampai hujan-hujanan dan sakit seperti ini." tegas Anggara
"Udah Pa, Viona baru sadar. Jangan dulu membahas hal ini." sahut Marisa
"Ngga bisa Ma, papa harus membahasnya sekarang juga." tegas Anggara lagi. "Sekarang papa tanya sama kamu, apa sebelumnya Dion pernah membiarkan kamu menunggu tanpa kepastian seperti kemarin? Apa Dion pernah mengabaikan kamu karena kesibukannya? Dan apa Dion pernah tidak mementingkan kamu seperti ini?."
Seketika Viona diam tak berkutik, karena jawabannya adalah TIDAK. Dion tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya, Dion selalu memprioritaskan Viona sebanyak apapun kesibukannya. Bahkan saat disibukkan dengan persiapan tender kemarin pun, Dion selalu berusaha menyempatkan waktunya untuk Viona. Dion tidak pernah mengabaikan Viona sedikitpun.
"Pasti jawabannya tidak pernah kan? Tapi sekarang apa? Dia melakukan semua itu sama kamu, dan itu artinya dia memang sudah tidak peduli lagi sama kamu. Jadi untuk apa kamu masih memikirkan dia?." tanya Anggara dengan penuh penegasan
Viona tak bisa berkata apa-apa lagi, dadanya terasa sangat sesak. Tubuhnya pun terasa semakin lemas. Semua yang dikatakan oleh papanya itu memang bisa saja benar, tapi ia tak sanggup jika semuanya harus benar-benar terjadi.
"Papa seperti ini karena papa sayang sama kamu, papa ga mau kamu sampai menyiksa diri kamu sendiri hanya demi orang yang sudah tidak peduli lagi sama kamu. Jadi sekarang kamu makan ya, biar kamu bisa cepat sembuh." Anggara mencoba memberi pengertian
"Iya sayang, kamu makan dulu ya." Marisa mulai memberikan suapan pertamanya pada Viona
Namun tanpa disangka, Viona langsung menepis suapan darinya hingga piring berisi makanan yang ia pegang terjatuh ke lantai. Semuanya berantakan dan pecahan piringnya berserakan dimana-mana.
"Viona." Anggara menatap tak percaya
"Viona udah bilang kalau Viona ga mau makan, jadi kalian jangan terus memaksa." Viona nampak terlihat kesal
"Tapi sayang, kamu harus makan. Kondisi kamu benar-benar lemah, kamu perlu asupan untuk tubuh kamu." Marisa mencoba memenangkan
"Ngga, sekali Viona bilang ngga ya ngga." sahut Viona dengan nada tinggi
"Ada apa ini?." tanya Dimas yang tiba-tiba datang, lalu memperhatikan ke arah lantai yang berserakan dengan makanan dan pecahan piring. "Pelayan." teriaknya memanggil salah seorang pelayan yang ia lihat tengah berada di lantai dua saat ia menuju kamar Viona tadi
"Iya Den. Ada yang perlu saya kerjakan?." Pelayan itu langsung menghampiri
"Bersihkan semuanya dan ganti dengan yang baru." Dimas menunjuk ke lantai
"Baik Den." Pelayan itu mulai melakukan perintah Dimas, lalu pergi setelah lantai kembali bersih
"Mama dan papa ini kenapa sih? Viona itu masih sakit, seharusnya kalian membuat dia tenang dulu sampai kondisinya pulih. Bukannya malah membuat pikirannya terbebani, dengan mengatakan hal yang tidak-tidak tentang Dion." Dimas menatap Marisa dan juga Anggara secara bergantian
"Permisi Den, ini makanannya." Pelayan yang tadi kembali datang dengan membawa makanan yang baru untuk Viona.
"Makasih." Dimas langsung membawa makanan itu. "Kamu bisa pergi."
Lalu ia pun mulai menghampiri Viona setelah pelayan tadi pergi. Sementara Anggara dan Marisa hanya berdiri saling bersebelahan di dekat tempat tidur putrinya itu.
"Kamu makan dulu ya, biar kamu bisa cepat sembuh. Dan nanti kalau kamu udah sembuh, kita pergi temuin Dion lagi." Dimas mencoba membujuk Viona
"Apa-apaan kamu ini, untuk apa lagi kamu mengajak Viona menemui Dion?." Anggara langsung merasa kesal
"Pa, please papa diam dulu." Dimas mencoba membuat papanya itu mengerti. "Viona kamu makan dulu ya, biar aku suapin." sahutnya kembali membujuk adiknya
"Ngga, aku ga mau makan. Aku cuma mau ketemu sama Dion dan menjelaskan semuanya sama dia." tolak Viona
"Tapi sayang." Marisa menatap lurus putrinya itu
"Yasudah sekarang juga kamu hubungi Dion, suruh dia kesini dan kasih tau ke dia bagaimana keadaan Viona sekarang." Anggara menoleh ke arah Dimas
"Oke Pa." Dimas mengangguk cepat, lalu mulai mengeluarkan ponselnya
Mencari kontak Dion dan mulai menghubungi lelaki itu, tapi hingga beberapa panggilan dilakukan, tidak ada satupun yang dijawab.
"Ga di jawab juga?." tanya Marisa lurus
"Ngga Ma, padahal nomornya aktif." Dimas mencoba kembali menghubungi Dion untuk yang kesekian kalinya
"Coba pake ponsel Viona, siapa tau kalau mengira Viona yang menelepon dia akan menjawab." suruh Anggara
Dimas pun langsung mengambil ponsel Viona yang berada di atas meja dekat tempat tidur, lalu mulai menghubungi Dion kembali. Tapi tetap saja tak ada satupun jawaban. Hingga akhirnya pada panggilan terakhir teleponnya mulai terhubung, namun terputus seketika.
"Dion mereject teleponnya." sahut Dimas dengan wajah tak bersemangat
"Apa? Dion mereject teleponnya?." Marisa nampak tercengang
"Keterlaluan." gumam Anggara. "Sekarang kamu lihat sendiri kan, Dion memang sudah tidak peduli lagi sama kamu. Dia bahkan sampai mereject telepon dari nomor kamu." sahutnya menatap lurus Viona
"Dion, apa benar kamu sudah tidak lagi memperdulikan aku? Apa secepat ini kamu berubah tanpa mau mendengarkan penjelasan aku terlebih dahulu." gumam Viona dalam hatinya yang merasa sangat sesak, lalu perlahan air matanya pun mulai menetes di wajahnya
"Viona." Marisa mencoba mendekat
"Lebih baik kalian semua pergi, tinggalkan aku sendiri." Viona langsung memalingkan wajahnya dengan tangis yang semakin menyesakkan
Marisa, Anggara dan Dimas pun langsung pergi meninggalkan Viona. Mereka paham betul dengan perarasaan Viona sekarang, sehingga mereka ingin agar Viona bisa memenangkan diri dalam kesendiriannya.
Pelangi itu sudah pergi. Sumber kebahagiaan itu sudah pergi. Kini hanya tersisa kehancuran yang ditimbulkan oleh badai, petir dan hentakkan angin hujan kemarin. Kini hanya tersisa kepahitan dan kepedihan. Semuanya sudah pergi. Orang-orang yang dulu selalu ada dan selalu menciptakan setiap detik kebahagiaan kini sudah pergi. Mereka tak memperdulikanku lagi.
Sekalipun masih ada yang tersisa, ialah mereka yang tetap ada bersamaku tapi tak pernah mengerti akan perasaanku. Mereka yang berusaha menjauhkanku dari pelangi itu. Mereka yang membuatku harus berada dalam hujan penuh luka ini.
Padahal sebelumnya aku menganggap mereka sebagai penyempurna dari kebahagiaanku, tapi ternyata sekarang mereka malah menghancurkan semua kebahagiaan yang telah aku miliki. Mereka seperti hujan yang pada awalnya dianggap sebagai berkah, menyirami kehidupan yang kering dengan penuh suka cita, namun pada akhirnya memberikan bencana yang tak terduga.
Viona tak bisa mengendalikan dirinya, ini sungguh menyakitkan dengan teramat dalam. Air matanya pun terus saja mengalir, membasahi wajahnya yang begitu sayu dan pucat. Dadanya terasa sangat sesak bahkan nafasnya pun menjadi tersendat-sendat.
***
Dion baru saja bisa merasakan waktu istirahat, setelah seharian full ini ia bergelut di dapur restoran. Mencoba melepaskan penat karena kesibukan yang semakin hari semakin membuatnya tidak lagi merasakan waktu luang yang banyak. Ya, karena saat ini ia benar-benar harus kerja sangat extra untuk melunasi hutang keluarganya yang hanya diberi waktu sampai tiga minggu ke depan oleh bank.
Sekarang Dion bukan hanya mengurusi dalam restoran, tapi ia juga mengurusi delivery restoran yang baru dikerjakannya selama beberapa hari terakhir ini. Selain itu ia juga mengurusi bisnis orderan kue, bekerja sama dengan Vina. Semuanya ia kerjakan demi untuk menyelamatkan keluarganya dari kebangkrutan.
Beruntung disaat keadaan terpuruk seperti itu, Vina selalu setia mendukung bahkan menawarkan diri untuk mengajaknya bekerja sama dengan membuka bisnis kue yang sekarang diperluas tidak hanya order ke tiap rumah, tapi juga secara online.
Vina memang sudah menganggap Dion seperti anak sendiri, bahkan ia juga telah menganggap orang tuanya Dion sebagai keluarganya sendiri. Sehingga ia akan melakukan apapun yang bisa ia lakukan untuk dapat membantu keluarganya yang tengah dihinggapi masalah seperti itu.
Hingga tiba-tiba di tengah ketenangannya menikmati waktu istirahat sambil bersandar di sofa yang berada di ruang kerjanya, Dimas datang dan langsung masuk tanpa permisi.
"Dimas? Lo ngapain tiba-tiba datang kesini?." Dion langsung berdiri dan menatap heran lelaki itu
Tanpa berbasa-basi, Dimas langsung menghampiri dan melayangkan pukulan keras hingga tepi bibir Dion berdarah.
"Lo kenapa? Ada masalah apa sampai datang-datang langsung mukul gue kaya gini?." tanya Dion sambil menghapus noda darah di tepi bibirnya
"Lo yang kenapa? Lo bilang lo sangat mencintai Viona, lo sangat menyayangi Viona. Tapi sekarang apa? Lo sama sekali ga memperdulikan dia." Dimas menatap dengan sangat kesal
"Maksud lo apa ngomong kaya gini?." Dion nampak tak mengerti
"Lo masih nanya apa maksud gue? Oke biar gue jelasin semuanya." geram Dimas. "Lo dimana saat Viona menunggu lo di jembatan waktu itu, kenapa lo ga datang dan membiarkan Viona menunggu lo sampai berjam-jam lamanya."
"Apa? Viona sampai nungguin gue berjam-jam?." Dion nampak terkejut
"Iya." Dimas mengangguk tegas. "Dan lo tau sendiri kan Viona itu paling benci dan takut sama hujan, sama petir. Tapi hanya demi lo, dia sampai rela berdiam diri di tengah hujan yang sangat deras dan sembaran petir yang begitu menakutkan. Tapi lo sama sekali ga datang, lo menghargai perjuangan dia sedikitpun." jelasnya dengan tatapan tajam
"Apa? Viona sampai rela hujan-hujanan demi menunggu aku?." gumam Dion dalam hatinya yang langsung merasa sangat bersalah
"Kenapa lo diem? Baru nyadar kalau lo salah?." tanya Dimas tajam
"Gue benar-benar ga tau kalau Viona sampai akan menunggu segitunya. Dan jujur gue baru ingat kalau Viona ngajak ketemuan di jembatan itu ketika hari sudah mulai gelap, dan disaat itu gue langsung pergi untuk nemuin Viona. Tapi saat di jalan, gue ditelepon nyokap gue, ada urusan penting yang mengharuskan gue untuk pulang saat itu juga. Akhirnya gue pulang dan gue berpikir Viona pun pasti sudah pulang ke rumahnya dari sejak siang, gue sama sekali ga mengira kalau Viona akan terus menunggu gue disana." jelas Dion panjang lebar
"Lo bener-bener keterlaluan ya. Lo sampai lupa kalau Viona ngajak lo untuk ketemuan?." Dimas semakin merasa geram. "Apa segitu ga pentingnya Viona untuk lo saat ini? Apa segitu bencinya lo sama Viona sampai lo ga mau sedikitpun mendengarkan apa yang ingin dia jelaskan?."
"Asal lo tau, hanya karena untuk nungguin lo yang ga ngasih kepastian untuk datang atau ngga nya. Viona sampai demam tinggi setelah hujan-hujanan hari itu, dan dia baru sadarkan diri besok paginya. Bahkan sampai hari ini dia belum juga mau makan, karena dia terus memikirkan lo. Orang yang sama sekali udah ga peduli lagi sama dia."
"Apa? Viona sakit?." Dion merasa begitu terkejut
"Ga usah so peduli, kalau pada kenyataannya lo emang udah ga peduli lagi sama dia." sahut Dimas dengan sangat tajam
"Gue bukan so peduli, gue emang peduli dan masih peduli sama Viona." tegas Dion
"Kalau emang lo masih peduli sama Viona, kenapa saat gue terus-terusan nelepon lo beberapa hari yang lalu, ga lo jawab sekalipun? Dan kenapa saat gue terus-terusan nelepon lo lagi dengan menggunakan ponselnya Viona, ga lo jawab juga. Hanya lo jawab sekali di akhir tapi langsung lo reject. Kenapa? Hah? Itu yang lo sebut dengan peduli?." Dimas langsung mencengkram kerah kemeja Dion dengan sangat kesal. "Padahal saat itu dia sangat membutuhkan lo, bahkan lo adalah orang yang dia cari saat dia baru sadar dari demam tingginya. Dia terus memikirkan untuk bisa menjelaskan semuanya sama lo, sampai dia ga mau memikirkan dirinya sendiri."
"Saat itu gue emang sengaja mereject teleponnya, karena gue lagi ada meeting penting di perusahaannya bokap gue. Dan lagipula apa lagi yang perlu dijelaskan? Udah jelas kan kalau Viona udah mengkhianati keluarga gue untuk membalaskan dendam orang tuanya." Dion langsung menurunkan tangan lelaki itu dari kerahnya
Dimas langsung menatap tak percaya. "Nyesel gue sampai mati-matian belain lo di depan orang tua gue." pungkasnya yang kemudian langsung beranjak pergi
"Ya ampun Viona." Dion langsung mengusap wajahnya frustasi. "Apa yang sebenarnya mau kamu jelaskan sampai kamu rela menunggu aku hingga hujan-hujanan dan sakit seperti ini."
"Apa sebaiknya aku temuin Viona aja ya. Tapi kalau nanti aku ketemu orang tuanya terus nimbulin masalah baru buat papa gimana?." pikir Dion keras-keras. "Arghh ngga ngga. Mau gimanapun juga lo harus tetep temuin Viona, Dion. Viona butuh lo saat ini, lo ga boleh bikin sakitnya semakin parah."
Dion langsung bergegas pergi meninggalkan ruangannya, namun baru juga sampai di ambang pintu, langkahnya kembali terhenti.
"Mau pergi kemana kamu?." tanya Reza yang tiba-tiba datang
"Papa koq bisa kesini? Bukannya belum waktunya pulang dari kantor ya." Dion mencoba mengalihkan pembicaraan
"Kamu belum menjawab pertanyaan papa, mau pergi kemana kamu?." Reza mengulangi pertanyaannya
"Ya aku mau ke bawah lah Pa, lanjut kerja." Dion tersenyum santai
"Bukan mau menemui Viona?." tanya Reza lurus
"Koq tiba-tiba ke Viona sih Pa?." tanya balik Dion
"Papa sudah mendengarkan semua pembicaraan kamu dengan Dimas tadi." jelas Reza
Lelaki itu memang sudah tiba di restoran tak lama setelah Dimas datang, dan ia sengaja bersembunyi di balik pintu untuk mendengarkan pembicaraan Dimas dengan Dion.
"Jadi benar kan kamu mau pergi menemui Viona?." Reza mengulangi pertanyaan yang sama lagi dan lagi
"Viona sedang sakit Pa, dan dia butuh aku sekarang." Dion mencoba memberi pengertian
"Mau dia sakit atau ngga, sudah bukan urusan kamu lagi. Lagipula orang tuanya kan mempunyai segalanya, jadi mereka bisa memanggil dokter hebat manapun baik dalam ataupun luar negeri untuk menyembuhkan Viona." tegas Reza
"Tapi Pa, sudah beberapa hari ini Viona belum makan. Aku ga mungkin membiarkan dia menyiksa dirinya sendiri seperti ini, biarkan aku kesana untuk mendengarkan semua yang ingin dia jelaskan." Dion kembali mencoba memberi pengertian
"Jadi kamu tetap mau pergi untuk menemui Viona?." tanya Reza lurus. "Yaudah silahkan kalau gitu." sahutnya sambil membiarkan ambang pintu terbuka luas untuk Dion pergi
"Tapi itu artinya kamu sudah tidak menganggap lagi papa dan mana sebagai orang tua kamu." pungkas Reza yang berhasil membuat putranya itu mengurungkan niatnya
"Oke Pa, aku ga akan pergi menemui Viona." sahut Dion dengan wajah menahan kepahitan
"Permisi."
Hingga tiba-tiba Dila mengetuk pintu ruangannya.
"Iya Dila, kenapa?." tanya Dion santai
"Ada Bu Vina ingin bertemu dengan Pak Dion." jawab Dila yang memang datang bersama Vina
"Tante." Dion yang baru menyadari kehadiran Vina langsung menyalaminya
"Eh Vina. Apa kabar?." tanya Reza yang juga langsung bersalaman dengan perempuan itu
"Saya baik. Kamu sendiri gimana?." tanya balik Vina
"Saya juga baik." jawab Reza singkat
"Sepertinya kalian sedang membicarakan hal yang penting ya?." Vina menatap lurus Reza dan juga Dion secara bergantian
"Oh ngga koq tante, cuma ngobrol biasa aja. Kebetulan papa lagi mampir ke restoran." Dion menanggapi dengan santai
"Iya, lagipula saya cuma mampir sebentar dan sudah mau pulang." Reza menyunggingkan seulas senyum di bibirnya. "Kalau begitu saya duluan ya Vina."
"Dion, pulang dari sini jangan kemana-mana dulu ya. Papa tunggu di rumah."
"Iya Pa." Dion memaksakan seulas senyum di bibirnya
"Kalau begitu saya juga permisi ke bawah lagi ya Pak Dion, Bu Vina." pamit Dila
"Iya Dila, makasih ya." Vina tersenyum singkat
"Mari masuk tante." ajak Dion sambil berjalan menuju sofa. "Ada apa nih tante? Koq tumben banget tiba-tiba datang ga ngabarin dulu." tanyanya setelah ia dan Vina sudah sama-sama terduduk
"Iya nih kebetulan tante baru bikin kue rasa terbaru yang pernah kita bicarakan waktu itu, terus pas tante abis belanja di supermarket tadi, tante keinget sama kamu. Jadi tante langsung aja kesini ga ngabarin dulu, karena tante pikir kalau jam segini kamu sudah ga terlalu sibuk." jelas Vina
"Maksudnya kue coklat dengan lapisan paplova diatasnya?." tanya Dion santai
"Iya." Vina mengangguk singkat. "Cobain deh, terus kamu kasih pendapat kurangnya dimana. Biar nanti tante perbaiki rasanya, sebelum kue ini menjadi varian baru di bisnis kue kita." sahutnya sambil memberikan paplova cake coklat itu dalam sebuah wadah
"Wah kalau ini udah ga perlu diperbaiki lagi koq tante, rasanya udah enak banget." puji Dion sambil mencicipi kuenya. "Dan Dion yakin kue ini akan menjadi salah satu kue favorit para pelanggan kita."
"Kamu bilang kaya gini karena emang kuenya enak atau karena kamu ga enak bilang yang sebenarnya tentang rasa kue itu?." tanya Vina lurus
"Ya karena kuenya emang enak lah tante. Kalau kurang enak Dion juga pasti bilang, tapi kalau ini beneran loh enak banget." Dion menghabiskan potongan kue yang ada ditangannya
"Pilihan Viona emang ga salah ya, pantes aja dulu dia pernah nyuruh tante untuk jual kue model gini." gumam Vina sambil tersenyum kecil
"Viona?." Dion mengangkat sebelah alisnya
"Hah? Ngga koq. Maksud tante itu temennya tante, Bu Dina." Vina langsung mengelak
"Dion tau koq tante, kalau tante pasti kangen kan sama Viona? Apalagi kalau ada hal yang mengingatkan tante sama dia." Dion tersenyum paham
"Entahlah Dion, hampir setiap waktu tante selalu memikirkan Viona. Bagaimana keadaan dia sekarang, dengan siapa dia sekarang, apakah dia udah makan, apakah dia baik-baik aja. Pertanyaan itu selalu memenuhi pikiran tante." Vina tersenyum sendu
"Apa sebaiknya aku kasih tau tante Vina aja ya tentang keadaan Viona sekarang, kalau tante Vina tau kan dia bisa jengukin Viona." pikir Dion dalam diamnya
"Kamu koq jadi diem gini? Kamu juga jadi keinget sama Viona ya? Maafin tante ya, tante ga bermaksud." Vina merasa bersalah
"Gapapa koq tante." Dion tersenyum santai. "Justru Dion mau ngasih tau tante tentang keadaan Viona sekarang. Tadi Dimas kesini dan dia bilang kalau Viona sedang sakit..."
"Apa? Viona sakit? Dia sakit apa? Kenapa bisa dia sakit?." sela Vina disaat Dion belum menuntaskan penjelasannya
Dion pun melanjutkan penjelasannya, ia memberitahu Vina tentang kesalahannya yang sampai membuat Viona menjadi sakit seperti sekarang.
"Ya ampun Viona." Vina nampak begitu khawatir
"Karena Dion ga bisa menemui Viona, jadi Dion mohon ya tante pergi temuin Viona. Biar Viona mau makan dan biar Viona bisa segera sembuh." pinta Dion dengan penuh harap
"Ga bisa Dion, tante sudah pernah diusir oleh orang tuanya Viona. Jadi tante ga mau kalau harus menginjakkan kaki tante ke rumah mereka lagi." tolak Vina dengan wajah kesal
"Dion tau tante, Dion mengerti bagaimana perasaan tante karena sudah diperlakukan seperti itu oleh mereka. Tapi tante mengkhawatirkan Viona kan? Tante kangen kan sama Viona? Dion ga bisa memaksa, tapi Dion sangat berharap tante mau kesana untuk menemui Viona." Dion menatap penuh arti
Vina hanya bisa terdiam, ia mencoba memikirkan kata-katanya Dion. Ia memang tidak mau jika harus berurusan lagi dengan Anggara dan juga Marisa, tapi ia juga tidak bisa membiarkan Viona dalam keadaan seperti ini sekarang.