Part 24 LOVE IN RAIN
novel.goshere.xyz Situs Berbagi Cerita, Baca novel online gratis beragam cerita. Temukan aneka novel romance, novel horor, dan novel adult romance. Saat ini novel.goshere.xyz Situs Berbagi Cerita Part 24 LOVE IN RAIN
Viona nampak semakin tak berdaya melihat Dion yang perlahan demi perlahan dibawa pergi dari ruang ICU dalam keadaan sudah tak bernyawa. Tubuhnya benar-benar lemah, tanpa ada sedikitpun energi yang tersisa. Begitupula dengan kakinya yang tak mampu lagi menopang tubuhnya, gadis itu mulai terjatuh dan terduduk lemas di lantai. Dengan air mata yang terus saja mengalir membasahi wajahnya.
"Sabar sayang, ikhlaskan Dion." Vina berulang kali menguatkan anaknya itu sambil memeluknya dari samping
Sedangkan di samping lainnya, Viona dipeluk oleh Sarah yang juga nampak tak berdaya dan terus berurai air mata. Namun di tengah kesedihannya yang amat mendalam, perempuan itu tetap mencoba menguatkan Viona.
Sementara di lain tempat, kedua suster yang membawa jenazahnya Dion tiba-tiba menghentikan langkahnya ketika melihat tangan lelaki itu keluar dari selimut dan mengayun pelan.
Salah satu suster pun mencoba meletakkan kembali tangan Dion ke atas dadanya. Namun suster itu merasakan keanehan saat memegang pergelangan tangannya Dion, seperti ada sesuatu yang berdenyut namun sangat sangat lemah. Tanpa berpikir panjang lagi, ia pun langsung membuka selimut yang sejak tadi menutupi Dion.
"Kenapa dibuka?." tanya suster yang satunya
"Dia masih hidup." sahut suster itu dengan sangat mantap setelah memeriksa bahwa ternyata sesuatu yang berdenyut tadi adalah nadinya Dion
"Bagaimana bisa? tadi kan kita sudah memeriksanya sama-sama dan nadinya sudah tidak berdenyut lagi."
"Tapi sekarang berdenyut, dan hidungnya juga masih bernafas." yakin suster itu sambil meletakkan jarinya di depan lubang hidungnya Dion
Setelah membuktikan kebenarannya, mereka pun langsung membawa Dion kembali ke ruang ICU. Dan sontak saja hal itu membuat semua orang yang masih berada disana terheran-heran, kecuali Viona yang masih terduduk dan menunduk lemas, seperti kehilangan kesadaran.
"Kenapa Dion dibawa lagi kesini?." Reza langsung menghampiri mereka yang masih berada di ambang pintu
"Nadinya kembali berdenyut Pak, mas Dion masih hidup." jelas suster yang tadi pertama kali memeriksa denyut nadinya Dion
"Apa? Dion masih hidup?." lirih Sarah dalam sisa tangisnya
"Iya Bu."
Tangis kesedihan yang tadi membanjiri ruangan itu pun berubah menjadi tangis kebahagiaan penuh haru. Namun tidak dengan Viona, gadis itu masih larut dalam kesedihan mendalamnya. Ia belum kembali ke alam sadarnya.
"Viona, sayang." Vina memanggil untuk kesekian kalinya
"Dion masih hidup, Viona." bisik lembut Sarah dengan suara serak
"Dion." Viona mulai mengangkat kepala lalu tatapannya langsung tertuju pada ranjang dorong yang berada di ambang pintu. "Dion." sahutnya langsung berdiri dan mendekati ranjang itu
"Iya sayang ini Dion, dia masih hidup." Vina ikut berdiri lalu merangkulnya
Viona pun langsung menghampiri Dion dan terus berada di samping lelaki itu ketika tim medis memasangkan kembali semua alat bantunya dan melakukan pemeriksaan.
"Bagaimana keadaan anak saya dok?." tanya Sarah seusai mereka selesai memeriksa anaknya
"Iya dok, gimana keadaannya Dion?." tambah Reza
"Anak bapak dan ibu baik-baik saja, nafasnya pun sudah kembali normal. Tinggal kita tunggu semoga dia bisa segera sadar." jelas dokter dengan sangat tenang
"Baik-baik saja? Lalu kenapa dokter yang tadi mengatakan bahwa anak saya sudah meninggal?." Reza mengerutkan kening heran
"Maksud bapak dokter yang selama dua hari ini menggantikan tugas saya?." tanya lurus dokter itu. "Oh iya saya lupa bilang kalau dia adalah dokter baru disini, dan dia belum mempunyai banyak pengalaman. Jadi sepertinya dia salah periksa tadi."
"Maksud dokter dia salah memeriksa sampai mengatakan bahwa Dion sudah meninggal, padahal sebenarnya anak saya ini belum meninggal?." Reza nampak mulai kesal
"Benar Pak, tapi hal itu terjadi mungkin karena saat tadi kondisinya pasien benar-benar lemah dan nadinya nyaris tidak berdenyut lagi. Makanya dia sampai berani mengatakan bahwa pasien sudah meninggal." jelas dokter dengan rasa bersalahnya
"Ini kan rumah sakit bagus, rumah sakit mahal, kenapa dokter seperti itu bisa diterima kerja disini? Kalau sampai tadi anak saya benar-benar meninggal karena semua alat bantu yang dibutuhkannya dicabut gimana? Kalian mau tanggung jawab?." Reza semakin merasa kesal
"Atas nama rumah sakit kami mohon Pak, kesalahan seperti ini tidak akan kami ulangi lagi." Dokter itu semakin merasa bersalah
"Udah pa tenang, yang penting kan sekarang Dion udah baik-baik aja." Sarah mencoba menenangkan Reza
"Gimana papa bisa tenang? Anak kita hampir aja meninggal karena kecerobohan mereka semua." Reza benar-benar sangat emosi. "Yaudah sekarang mending kita bawa Dion ke rumah sakit lain, papa ga mau dia dirawat di rumah sakit yang kualitasnya buruk seperti ini." lanjutnya yang hampir membawa anaknya itu keluar dari ruangan, tapi langsung ditahan oleh para tim medis yang ada
"Sekali lagi kami mohon Pak, kami janji kami akan memperbaiki semuanya. Pasien sangat lemah, jadi sebaiknya dia tetap berada disini. Karena jika dia dibawa pergi, justru keadaannya akan semakin memburuk." Dokter itu mencoba memberi pengertian
"Kalau begitu, bawa saya bertemu dengan pemilik rumah sakit ini sekarang juga." tegas Reza yang masih emosi
"Papa mau ngapain nemuin pemilik rumah sakit ini segala?." Sarah mengerutkan kening heran
"Udah, mending mama jagain Dion aja disini. Papa pergi dulu sebentar." Reza langsung pergi bersama seorang suster yang mengantarnya
"Mohon maaf, sebaiknya yang menjaga pasien cukup 2 orang saja. Karena kondisinya masih sangat lemah, jadi untuk yang lainnya bisa menunggu di luar." sahut suster yang satunya
Semua orang yang berada disana pun pergi meninggalkan ruangan kecuali Viona dan juga Sarah yang masih tetap berdiri di samping ranjangnya Dion, menemani lelaki itu.
"Rasa cinta kamu sama Dion begitu besar ya sampai kamu bisa merasakan kalau Dion itu masih hidup, disaat semua orang percaya kalau Dion sudah meninggal." Sarah langsung memeluk Viona dari samping sambil sama-sama menatap ke arah Dion yang masih terbaring tak berdaya
"Tante juga pasti merasakannya koq, hanya saja karena semua orang tadi mempercayai kalau Dion sudah meninggal jadi mau ga mau tante pun ikut percaya." Viona menatap lembut ibu dari kekasihnya itu
Sarah hanya tersenyum lalu semakin mempererat pelukannya dan menenggelamkan wajahnya pada bahu Viona.
Sementara Viona membalasnya dengan mengelus lembut tangan Sarah, lalu menempelkan kepalanya pada kepala perempuan itu. Dengan mata yang terus menatap ke arah Dion tanpa henti.
"Kamu yang kuat ya sayang, cepet sembuh, cepet sadar dari komanya. Aku ga bisa membayangkan gimana jadinya hidup aku tanpa kamu." gumam Viona dalam hatinya sambil meneteskan air mata
Tanpa sadar tetesannya itu jatuh ke punggung tangan Dion yang dipasangi selang infusan, karena memang ia dan Sarah berada sangat dekat dengan lelaki itu. Hingga beberapa saat kemudian, Viona melihat jari jemari kekasihnya itu sedikit demi sedikit mulai bergerak.
"Tante." sahut Viona saat pergerakan jari Dion semakin jelas terlihat
"Kenapa Viona?." Sarah langsung mengangkat kepalanya
"Jarinya Dion tante, jarinya Dion bergerak." Viona terus memfokuskan pandangannya ke arah jari jemari kekasihnya itu
"Benar Viona, jarinya Dion bergerak." Sarah pun ikut memfokuskan pandangannya ke arah jari jemari Dion sambil meneteskan air mata haru
"Kalau gitu, Viona panggilin dokter dulu ya tante. Biar Dion bisa langsung diperiksa." Viona mulai beranjak pergi
"Viona, Dion mulai membuka matanya." sahut Sarah yang membuat Viona tak melanjutkan langkahnya dan langsung membalikkan badannya
"Dion." Viona kembali menghampiri kekasihnya
Perlahan mata Dion pun benar-benar terbuka, lalu langsung tertuju tepat ke arah Sarah dan Viona yang berdiri di sampingnya.
"Ma-ma." lirih Dion dengan sangat lemas dan suara samar-samar. "Vi-o-na."
"Iya sayang, mama dan Viona disini." Sarah langsung mengelus lembut wajah anaknya itu
"Tante, Viona panggilin dulu dokter sebentar ya." Viona kembali mulai beranjak pergi
Namun tiba-tiba ada sesuatu yang menahannya, sentuhan Dion. Ya, lelaki itu menggenggam erat tangannya.
"Kamu disini aja, biar tante yang manggil dokternya." Sarah yang mengerti situasinya pun langsung beranjak pergi
Sementara Viona langsung semakin mendekati Dion, dan balik menggenggam erat tangan kekasihnya itu.
"Akhirnya kamu sadar juga." Viona kembali meneteskan air mata sambil mendongakkan tubuhnya sehingga wajahnya tepat berada di atas wajahnya Dion
"Ka-mu ba-ik ba..."
"Aku baik-baik aja sayang, kamu ga perlu khawatir. Justru yang harus dikhawatirkan itu kamu, aku takut kalau..."
Dion langsung mempererat genggamannya, seolah ingin menjelaskan bahwa Viona tidak perlu takut akan hal yang dimaksudnya itu.
Sebenarnya Dion ingin sekali menjelaskannya dengan ucapan, tapi keadannya belum cukup kuat untuk berbicara. Hanya ingin mengeluarkan sepatah katapun sudah membuatnya berat dan merasa sakit.
"Ini dok lihat, Dion udah sadar." sahut Sarah sambil membawa dokter yang tadi kembali ke ruang ICU tempat anaknya berada sekarang
"Biar saya periksa dulu." Dokter itu langsung menjalankan tugasnya dengan sangat profesional. "Keadaannya sudah semakin membaik, tinggal terus kita dampingi hingga benar-benar pulih." lanjutnya setelah pemeriksaannya selesai
"Sudah saya duga, anak saya ini memang anak yang kuat. Jadi dia pasti bisa melewati masa sesulit apapun itu." Reza tiba-tiba masuk ke dalam ruangan
"Anda benar Pak, dan sepertinya kekuatan cinta menjadi faktor utama dari kekuatan dirinya." Dokter itu menyunggingkan seulas senyum di bibirnya sambil menatap ke arah genggaman tangan Dion dan Viona sekilas
Jelas saja Viona pun menjadi salah tingkah dan terus berusaha menghindari tatapan orang-orang sekitarnya, tapi tidak melepaskan genggaman itu.
"Oh iya sebelumnya perlu saya beritahukan, untuk sementara waktu pasien jangan dulu diajak berbicara karena kondisinya masih sangat lemah." pungkas dokter itu sebelum akhirnya pergi
Dion hanya bisa pasrah dengan keadaannya sekarang, padahal banyak sekali yang ingin ia ungkapkan. Matanya mulai menatap satu-persatu orang yang berada di sekelilingnya, lalu tertuju ke langit-langit ruangan itu. Melihat balon berwarna-warni yang menggantung, kertas hias yang menempel pada setiap dinding, dan beberapa dekorasi lainnya. Sederhana namun begitu menyentuh dan membuat Dion terkesan.
"Dekorasi ini disiapkan oleh pada chef dan salah seorang karyawan restoran kamu beserta Feby, atas arahan dari Viona." sahut Reza dengan lembut sambil mendongakkan badannya dengan posisi saling berhadapan dengan Viona dan juga Sarah
"Jadi intinya semua ini disiapkan oleh Viona khusus untuk kamu." tambah Sarah sambil merangkul Viona
"Sebentar ya." Viona tiba-tiba melepaskan genggamannya Dion, lalu mengambil sesuatu dari meja yang berada di samping ranjang kekasihnya itu. "Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday, happy birthday..."
"Happy birthday Dion." Sarah dan Reza ikut bernyanyi ketika gadis itu sudah kembali berada di dekat mereka sambil membawa kue ulang tahun
"Happy birthday sayang, di hari lahir kamu yang ke 22 tahun ini hanya kesembuhan kamu yang mama harapkan. You're my everything my son, jadi cepatlah sehat kembali agar bisa selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi kami semua." Sarah mengelus lembut wajah Dion sambil sesekali mengecup hangat kening anaknya itu
"Iya bener kata mama, kamu adalah sumber kebahagiaan bagi kami semua. Maka dari itu papa selalu ingin hal yang terbaik untuk kamu, meski papa sering memaksakan kehendak, tapi itu semua karena papa sayang sama kamu. Cepat sembuh, papa kangen ribut-ribut kecil sama kamu." Reza menatap lembut anaknya itu dan diakhiri dengan tawa kecil
Viona begitu terenyuh melihat kehangatan keluarga mereka, bahkan air matanya pun kembali menetes saat sepasang suami istri itu memeluk Dion dari kedua sisi yang berbeda. Dalam hati kecilnya, ada kerinduan mendalam yang ia rasakan pada sosok seorang papa.
Namun dengan cepat ia langsung menghapus air matanya, lalu mulai tersenyum karena ikut merasa bahagia atas kebahagiaan yang dirasakan oleh kekasihnya. Ya, meski belum bisa berbicara. Tapi wajah Dion menyiratkan kebahagiaan yang mendalam.
"Viona, sekarang giliran kamu yang mengungkapkan harapan untuk Dion." Sarah langsung berganti posisi dengan kekasih dari anaknya itu
Viona pun langsung melangkahkan kakinya hingga tepat berdiri di samping tubuh bagian atasnya Dion. "Selamat ulang tahun sayang, harapanku sama seperti orang tua kamu. Cepat sehat kembali agar kamu bisa selalu menjadi pencipta senyum kebahagiaan pada wajah kami." Viona menatap kekasihnya itu dengan sangat lembut. "Kamu harus kuat, kamu harus tetap berada disini. Jangan pernah pergi, karena kamu segalanya buat aku. Kamu bukan sekedar pacar, tapi kamu juga adalah sahabat yang selalu setia mendengarkan keluh kesahku, dan bahkan kamu juga menjadi sosok pengganti papa buat aku. Yang selalu menjaga dan melindungi aku, juga selalu menenangkan dan menguatkan aku dalam keadaan serapuh apapun. Jadi jangan pernah pergi, karena kamu adalah lelaki satu-satunya yang aku miliki di dunia ini. I love you more Dion." lanjutnya sambil berurai air mata yang langsung dirangkul penuh haru oleh Sarah
"Viona, kamu boleh koq menganggap om sebagai papa kamu. Biar kamu mempunyai dua sosok pelindung, yaitu om dan juga Dion." sahut Reza dengan sangat tulus
"Tapi om..."
Sarah langsung menepuk lembut bahu Viona sambil menganggukkan kepalanya dan tersenyum manis. "Yaudah sekarang giliran Dion yang mengungkapkan harapan di hari ulang tahunnya ini, ayo sayang." sahutnya sambil menatap ke arah Dion
"Tuhan, kuatkanlah aku. Sehatkan aku seperti sedia kala lagi. Agar aku bisa mewujudkan harapan mereka semua, dan jadikanlah gadis yang sangat aku sayangi ini menjadi milikku selamanya. Jangan pernah ambil dia dariku, karena dia adalah hidupku." harap Dion di dalam hatinya sambil meneteskan air mata
"Sebagai perwakilan, biar kita bertiga yang meniupkan lilin ini untuk Dion." sahut Reza yang langsung disetujui oleh Viona dan juga Sarah
Ketiganya pun langsung meniupkan lilin itu, lalu saling menyuapi kuenya. Membuat senyum kebahagiaan mengembang pada wajah Dion.
***
"Selamat pagi sayang." sapa Viona dengan sangat ceria saat memasuki ruang rawat Dion
Ya, karena sekarang lelaki itu sudah dipindahkan dari ruang ICU ke ruang rawat biasa.
"Selamat pagi kembali sayang." sapa balik Dion yang masih nampak lemas
"Dion? Kamu? Kamu udah bisa bicara lagi?." Viona tersenyum bahagia sambil menghampiri kekasihnya yang kini sudah tidak lagi menggunakan alat bantu oksigen yang menutupi setengah wajahnya, tapi hanya menggunakan infusan biasa
"Sedikit demi sedikit, aku masih belajar." jelas Dion dengan suara berat
"Kalau kamu belum kuat, jangan dipaksain dulu ya. Aku ga mau kondisi kamu makin memburuk karena terlalu maksain buat bicara." sahut Viona saat sudah terduduk di kursi yang berada di samping ranjang kekasihnya itu
"Iya, kamu ga usah khawatir." lirih Dion sambil menyunggingkan seulas senyum di bibirnya
"Oh iya ini aku bikinin bubur spesial buat kamu, di makan ya. Dari kemarin-kemarin kan kamu susah makan." Viona menunjukkan wadah makanan berisi bubur ayam yang dibawanya
"Abisan makanan disini ga ada yang enak." Dion memajukan sedikit bibirnya
"Makanya aku masakin buat kamu, biar kamu mau makan." Viona mulai membuka tutup wadahnya
"Emang masakan kamu enak?." jail Dion
"Ya enak dong, kan sekarang aku udah jago masak." Viona tersenyum dengan begitu percaya dirinya
"Yakin? Ga ketuker sama gula kan bumbunya?." jail Dion lagi
"Ya ngga lah, iya kali bikin bubur ayam pake gula." balas Viona
"Ya siapa tau, bikin kopi aja kan kamu mah pake garam." Dion terkekeh kecil
"Ih Dion, masih inget aja." Viona nampak gemas. "Tenang aja, sekarang aku udah bisa bedain koq yang mana gula yang mana garam." lanjutnya santai
"Bagus deh kalau gitu." Dion menyunggingkan seulas senyum di bibirnya
"Udah jangan banyak bicara lagi, sekarang mending kamu makan dulu." Viona mulai menyuapi kekasihnya itu
Memperlakukan Dion layaknya anak kecil dengan menganggap setiap suapan seperti pesawat, dan juga menjaili dengan memberikan suapan yang ditujukan untuk lelaki itu kepada dirinya sendiri. Keduanya nampak sangat bahagia dan tertawa ceria.
Hingga tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka, seorang suster beserta dua orang polisi masuk dan langsung menghampiri mereka berdua.
"Selamat pagi mba Viona, mas Dion." sapa suster itu
"Pagi sus." sapa balik Viona dan Dion secara bersamaan
"Maaf mas, mba. Kedua polisi ini ingin bertemu dengan kalian, terutama dengan mas Dion." jelas suster itu
"Oh iya sus." balas Viona singkat
"Kalau begitu saya permisi dulu Pak." pamit suster pada kedua polisi yang berada di sampingnya
"Selamat pagi. Bagaimana keadaan kalian sekarang?." sapa salah seorang polisi yang berada disana
"Pagi Pak, keadaan kami sudah sangat baik. Hanya saja Dion masih berada dalam masa pemulihannya." balas Viona dengan ramah
"Syukurlah." sahut polisi yang satunya. "Jadi begini, kedatangan kami kesini adalah untuk meminta kesaksian terhadap insiden yang terjadi kepada kalian beberapa waktu yang lalu."
"Berhubung kami sudah meminta kesaksian dari saudari Viona, sekarang giliran dari saudara Dion yang berdasarkan kabar yang kami dapatkan keadaannya sudah semakin membaik." sambung rekan sesama polisinya
"Tapi Pak, Dion baru aja bisa berbicara kembali dan kondisinya masih lemah. Saya takut kalau..."
"Udah gapapa, aku kuat koq." sela Dion saat Viona menunjukkan kekhawatirannya
"Baiklah kalau begitu, lagipula kami hanya akan memberikan beberapa pertanyaan saja koq."
Kedua polisi itu mulai melakukan tugasnya, memberikan pertanyaan demi pertanyaan kepada Dion sebagai bahan penyelidikannya.
Hingga saat penyelidikan masih berlangsung, Sarah dan Reza yang baru kembali dari rumahnya datang. Viona pun langsung menyalami kedua orang tua dari kekasihnya itu.
"Viona udah disini?." tanya Sarah setelah cipika cipiki
"Iya tante. Tadi pas udah teleponan sama tante, Viona langsung kesini." jawab Viona sambil menyunggingkan seulas senyum di bibirnya
"Maaf ya kelamaan, tadi tante bikin puding dulu setelah ngambil baju ganti." Sarah tersenyum tak enak hati
"Gapapa koq tante, lagipula Viona juga belum lama disini." Viona tersenyum santai
"Jadi Anda benar-benar tidak mengenali para brandalan itu?." polisi yang tengah meminta kesaksian Dion mengulangi pertanyaannya
"Tidak Pak." jawab Dion mantap
"Bagaimana Pak? Apa sudah ada jalan terang mengenai kasus ini?." Reza mulai ikut berbicara
"Belum Pak, karena kedua korban sendiri sama sekali tidak mengenali pelaku. Terlebih di tempat kejadian tidak ada kamera CCTV yang terpasang ataupun saksi mata yang melihat, sehingga kami cukup kesulitan untuk mencari mereka." jelas salah seorang polisi
Reza menarik nafas berat sejenak. "Tapi masih ada cara lain kan untuk bisa menemukan mereka?." tanyanya lurus
"Ada satu cara." jelas polisi yang satunya. "Apa saudara Dion pernah ada masalah atau pernah bertengkar dengan seseorang? Karena ini bisa kami selidiki, siapa tau dia adalah pelakunya."
"Dimas." sahut Viona tiba-tiba
"Dimas?." semua mata langsung tertuju padanya
"Siapa Dimas?." tanya salah seorang polisi
"Dimas adalah mantannya Viona dan masih mengejar Viona sampai sekarang, dia pernah dipukuli oleh anak saya ketika dia nyaris saja menodai Viona di apartementnya." jelas Reza
"Bisa kami minta alamat apartemennya?."
"Tapi Pak, pelakunya kan belum tentu Dimas. Ya meskipun dia pernah terlibat pertengkaran dengan Dion, tapi yang saya tau dia bukan kriminal." sahut Viona
"Memang belum tentu dia, tapi tetap perlu diselidiki. Karena orang sebaik apapun bisa saja berubah jika sudah berurusan dengan masalah cinta dan sakit hati."
"Kalau begitu kami permisi dulu."
Kedua polisi itu pun langsung pergi setelah mendapatkan alamat apartementnya Dimas. Sementara Viona masih dilanda keraguan. Gadis itu merasa ragu jika mantan kekasihnya itulah yang menjadi penyebab atas insiden yang terjadi kepada kekasihnya dan juga dirinya.
Next part? Vote dulu yaaa!