Part 23 LOVE IN RAIN
novel.goshere.xyz Situs Berbagi Cerita, Baca novel online gratis beragam cerita. Temukan aneka novel romance, novel horor, dan novel adult romance. Saat ini novel.goshere.xyz Situs Berbagi Cerita Part 23 LOVE IN RAIN
Sarah dan Reza baru saja tiba di rumah sakit dan langsung terburu-buru menuju ruang operasi, tempat dimana Dion berada. Mereka begitu terkejut dan bersedih saat ada pihak kepolisian yang meneleponnya tadi untuk memberitahu jika anaknya itu ditemukan di jalanan, dalam keadaan tak sadarkan diri dengan luka yang sangat parah.
Sarah bahkan tak henti-hentinya menangis, terlebih saat sudah berada di depan ruang operasi, duduk bersama suaminya. Perempuan itu begitu kalut karena anaknya harus berjuang untuk hidup di dalam sana.
"Kamu harus kuat Ma, Dion pasti akan baik-baik aja." Reza mencoba menenangkan sambil merangkul dan terus mengelus lembut lengan istrinya itu
"Tapi Pa, sekarang Dion tengah berjuang untuk hidupnya. Mama takut kalau..."
"Jangan berpikir yang aneh-aneh. Lebih baik kita berdoa agar operasinya berjalan lancar, jadi kamu harus tenang. Dion itu anak yang kuat, dia pasti bisa melewati semua ini." sela Reza dengan sedikit tegas, agar istrinya itu bisa lebih kuat
Hingga tiba-tiba dua orang polisi datang, dan mereka pun langsung bangkit dari tempat duduknya.
"Permisi, apakah bapak dan ibu ini orang tua dari saudara Dion Abimana Prasetya?." tanya salah seorang dari polisi itu
"Benar pa, kami orang tuanya." jawab Reza singkat
"Ini ponsel dan dompet milik saudara Dion yang kami temukan di dalam saku celananya, sehingga kami bisa memberitahu bapak dan ibu tentang keadaannya." polisi itu memberikan ponsel dan dompet milik Dion kepada Reza
"Dan untuk mobil saudara Dion sendiri sudah dibawa ke kantor polisi untuk dilakukan penyelidikan." sahut polisi yang satunya
"Baik pak terimakasih." balas Reza ramah. "Tapi, apa yang sebenarnya terjadi? Sampai anak saya terluka separah itu, dia dirampok atau?." tanyanya penasaran
"Jika dirampok sepertinya tidak pak, karena tidak ada satupun barang yang hilang. Untuk dugaan sementara, ini kasus pengeroyokkan. Karena tak hanya saudara Dion yang terluka, tapi gadis yang bersamanya pun juga ditemukan dalam keadaan terluka dan sama-sama tak sadarkan diri."
"Apa? Gadis?." Reza mengerutkan kening heran
"Jangan-jangan itu Viona Pa." lirih Sarah dalam sisa tangisnya
"Iya benar Bu, nama gadis itu adalah Viona. Dan dia juga berada disini."
"Dia dirawat disini juga? Terus gimana keadaannya Pak?." tanya Sarah yang merasa sangat khawatir
"Ibu tenang saja, luka gadis itu tidak parah. Setelah diperiksa oleh dokter, hanya perutnya saja yang terluka karena terkena tendangan yang cukup keras..."
"Sebentar Pak, terkena tendangan? Maksudnya orang-orang yang mengeroyok Dion juga menendang Viona? Jadi gara-gara itu Viona sampai tak sadarkan diri?." sela Reza yang mulai terbawa emosi
"Benar Pak, dan..."
"Keterluan, berani-beraninya mereka melukai fisik seorang perempuan. Pokoknya saya ga mau tau, kalian harus cari orang-orang biadab itu sampai ketemu. Saya ga terima anak saya jadi masuk ruang operasi seperti ini." Reza semakin terlihat emosi
"Bapak tenang saja, kami akan terus berusaha mencari mereka sampai ketemu."
"Kalau begitu kami permisi dulu, agar kami bisa segera mengurus kasus ini."
Setelah kedua polisi itu pergi, Reza dan Sarah kembali duduk sambil menunggu para tim medis yang belum juga keluar dari ruang operasi. Padahal sudah dua jam berlalu.
Sementara itu di ruangan yang lain, Vina dan Feby juga masih menunggu Viona yang belum sadarkan diri. Padahal sudah hampir tiga jam berlalu sejak mereka tiba di rumah sakit.
"Ma, mending mama makan dulu yukk. Mama kan belum makan dari tadi siang." ajak Feby di tengah suasana yang begitu hening, sambil memegang bahu Vina yang terduduk di kursi samping ranjangnya Viona
Memang seharian ini Vina begitu sibuk dengan orderan kue, sehingga tak sempat untuk mengisi perutnya. Dan ketika baru saja bisa beristirahat, ia mendapat kabar tentang keadaan Viona. Jelas saja perempuan itu tidak lagi memikirkan dirinya, ia langsung terfokus pada anaknya.
Karena bagaimana mungkin seorang ibu bisa tetap tenang dan sempat memikirkan dirinya, ketika anak yang begitu disayanginya mengalami suatu musibah seperti ini.
"Mama ga akan beranjak sebelum kakak kamu sadar. Jadi kalau kamu mau makan, kamu makan aja duluan." tolak Vina dengan wajah sendu
"Tapi Ma..." Feby mencoba membujuk kembali, namun ia mengerti bagaimana perasaan Vina saat ini. "Yaudah kalau gitu aku aja yang beli makanannya ya, mama tetap disini." lanjutnya tanpa mendapat respon dari mamanya itu
Beberapa saat setelah Feby pergi. Viona mulai membuka matanya secara perlahan, dan langsung disambut dengan senyuman bahagia oleh Vina.
"Sayang." sahutnya yang langsung berdiri dan mendongakkan tubuhnya pada anak pertamanya itu
"Mama." lirih Viona
"Iya sayang, ini mama." Vina terus mengelus lembut pipi Viona
"Dion mana Ma? Gimana keadaannya sekarang?." tanya Viona yang masih sangat lemah
"Dion..." Vina nampak tak tega mengatakannya, bahkan ia pun merasa sangat bersedih ketika tadi pihak kepolisian mengatakan bahwa lelaki itu terluka sangat parah
"Dion baik-baik aja kan Ma? Dia ga kenapa-napa kan? Iya kan Ma?." tanya Viona lagi dengan kekhawatiran mendalam yang tersirat jelas pada wajahnya
"Kamu tenang dulu ya sayang. Tadi pihak kepolisian bilang, lukanya Dion sangat parah. Tapi mama belum tau keadaannya sekarang..."
"Viona ingin tau keadaan Dion, Viona ingin ketemu sama Dion Ma." Viona langsung bangkit dan mencoba pergi, namun tiba-tiba luka diperutnya mulai terasa yang membuatnya merintih kesakitan
"Sayang, kamu kenapa? Perut kamu masih sakit? Yaudah kalau gitu kamu istirahat dulu ya, jangan dulu banyak bergerak." Vina langsung menidurkan Viona kembali
"Ngga Ma, Viona harus ketemu sama Dion. Viona harus tau keadaan Dion sekarang." Viona malah kembali bangkit tanpa memperdulikan sakit yang dirasakannya
"Iya sayang iya, nanti kita temuin Dion. Tapi sekarang kamu istirahat dulu ya, tunggu sampai perut kamu baikan." Vina mencoba membuat anaknya itu mengerti
"Ngga bisa Ma, Viona harus nemuin Dion sekarang juga." Viona tetap berusaha untuk pergi sambil menahan rasa sakit pada perutnya
"Ada apa ini? Kenapa mba Viona mau pergi, bukannya istirahat. Luka di perutnya kan masih butuh perawatan yang intensif." sahut suster yang tiba-tiba datang untuk memeriksa keadaan Viona
"Ayo Ma kita pergi, Viona mau ketemu sama Dion sekarang juga." pinta Viona sambil terus berusaha pergi meski selalu ditahan oleh Vina, tanpa menghiraukan suster yang berada di dekatnya
"Dion? Maksudnya lelaki yang dibawa kesini bersama Mba oleh polisi tadi?." tanya suster itu, yang sepertinya memang mengetahui jika pihak kepolisian tadi membawa 2 orang korban yang ditemukannya di jalanan
"Iya sus benar. Bagaimana keadaan dia sekarang?." tanya Vina yang merasa sangat penasaran
"Pasien masih berada di ruang operasi. Padahal sudah tiga jam lebih, tapi masih belum selesai juga." jelas suster itu dengan tenang
"Operasi? Dion di operasi?." Viona nampak menahan rasa sakit sekaligus sesak
"Iya Mba, karena dia mengalami luka yang sangat parah di bagian kepala..."
"Dion." lirih Viona dengan air mata yang semakin mengalir di wajahnya. "Viona mau lihat keadaan Dion Ma, Viona harus kesana sekarang." lanjutnya yang kembali berusaha pergi
"Iya sayang iya, kita kesana sekarang. Tapi pelan-pelan ya." Vina mulai membantu anaknya itu untuk turun dari ranjang
Dengan sigap, suster tadi pun langsung mengambilkan kursi roda yang berada di sudut ruangan. Lalu ikut membantu Vina untuk mendudukkan Viona pada kursi tersebut.
"Biar saya antar Bu." sahutnya menawarkan diri
"Ga usah sus, biar saya sendiri saja yang mengantar Viona." tolak Vina dengan ramah, lalu mulai mendorong kursi rodanya meninggalkan ruangan
Sambil menahan sakit di perutnya, Viona tak henti-hentinya menangis. Ia begitu sesak ketika mengetahui jika Dion tengah berjuang untuk hidup di ruang operasi.
"Sayang kamu tenang ya, Dion pasti akan baik-baik aja koq." sahut Vina mencoba menenangkan saat mereka sudah cukup jauh meninggalkan ruang rawat tadi
Hingga mereka tiba di persimpangan jalan menuju ruang operasi, dan langsung menghampiri orang tuanya Dion yang tengah duduk di depan ruangan.
"Tante, om." lirih Viona, masih menahan rasa sakit diperutnya
Seketika Reza yang awalnya menunduk lemas, dan Sarah yang juga menunduk lemas sambil bersandar pada bahu suaminya itu pun langsung mengalihkan pandangan.
"Viona." Sarah langsung berdiri untuk menghampiri Viona, diikuti oleh suaminya. "Gimana keadaan kamu?." tanyanya dengan sangat khawatir
"Viona baik-baik aja tante. Dion gimana? Dia juga baik-baik aja kan tante?." tanya balik Viona tak kalah khawatir
"Dion masih di dalam." Reza mengarahkan pandangannya sejenak ke ruang operasi. "Kita berdoa sama-sama ya, semoga operasinya berhasil." sahutnya sambil menahan kesedihan
30 menit berlalu, dan itu artinya sudah 3 jam setengah operasi dilangsungkan. Namun belum juga ada tanda-tanda bahwa operasi itu sudah selesai. Kekhawatiran pun semakin memuncak dirasakan oleh mereka semua. Hingga perlahan pintu ruang operasi mulai terbuka, semua tim medis keluar dengan wajah penuh kelelahan bercampur sedih.
"Dokter, bagaimana keadaan anak saya? Operasinya berhasil kan? Dia baik-baik aja kan?." Reza langsung menghampiri ketua dari tim medis itu, setelah para anggotanya pergi
"Iya dokter. Dion baik-baik aja kan?." tambah Viona yang ikut menyusul bersama Vina dan juga Sarah
"Operasinya berjalan lancar. Tapi..."
"Tapi? Tapi apa dokter? Ga terjadi sesuatu yang buruk kan dengan anak saya?." sela Sarah
"Anak Bapak dan Ibu mengalami koma. Karena darah yang keluar dari kepalanya sangat banyak, sehingga membuatnya sangat lemah saat menjalani operasi tadi, sekalipun sudah ditransfusi darah belasan labu." jelas dokter itu
"Apa? Koma?." Sarah langsung lemah tak berdaya bahkan hampir terjatuh, namun tertahankan oleh rangkulan sigap dari suaminya
"Dion." Viona pun tak kuasa menyembunyikan kesedihannya yang amat mendalam. "Ma, Dion Ma." lirihnya dengan begitu menyakitkan
"Tenang sayang, tenang." Vina langsung memeluk anaknya itu dari belakang dengan air mata yang mulai mengalir
"Lalu kapan dia akan sadar dokter?." tanya Reza ditengah rasa sedih yang juga dirasakannya
"Saya belum bisa memastikan, tapi kita berdoa saja semoga Dion bisa segera sadar." pungkas dokter itu, sebelum akhirnya pamit pergi
***
Reza dan Sarah baru saja keluar dari ruang ICU, tempat dimana Dion berada setelah dipindahkan dari ruang operasi tadi. Mereka nampak begitu kalut.
"Viona, giliran kamu yang masuk ke dalam." Sarah mempersilahkan sambil tersenyum menahan kepahitan
"Ayo sayang." ajak Vina yang dibalas dengan anggukan, lalu ia mulai mendorong kembali kursi roda Viona memasuki ruang ICU
Hati Viona seakan teriris melihat keadaan Dion sekarang. Kekasihnya itu benar-benar lemah tak berdaya. Mata yang terpejam rapat, tubuh yang terkujur kaku dengan setengah badan yang ditutupi selimut, kepala yang dibaluti perban, wajah yang penuh lebam, dan kedua tangan yang penuh goresan luka. Ditambah dengan selang infusan yang terdapat pada beberapa bagian tubuhnya, alat bantu oksigen yang menempel pada sekitar mulut dan hidungnya, serta alat bantu lainnya yang terdapat disekitarnya.
"Dion." lirih Viona saat ia benar-benar tepat berada disamping ranjang kekasihnya
Gadis itu mencoba untuk kuat, meski air matanya semakin deras mengalir. Tangannya terus saja mengelus lembut wajah Dion dengan penuh kepahitan. Lalu pikirannya tiba-tiba dipenuhi oleh bayangan kejadian beberapa jam yang lalu. Kejadian saat brandalan-brandalan itu menghajar kekasihnya tanpa ampun.
"Seandainya tadi kita pulang setelah hujan reda, mungkin ga akan seperti ini jadinya." gumam Viona dengan rasa sesal yang teramat dalam
"Berhenti menyalahkan hujan atas setiap masalah yang terjadi dalam hidup kamu, sayang." sahut Vina sambil memegang lembut bahu anaknya itu
"Tapi Ma, memang pada kenyataannya setiap kali Viona berada di tengah-tengah hujan, pasti selalu ada masalah yang datang." Viona langsung memutar kepalanya ke arah Vina. "Apa mama ingat beberapa kejadian buruk yang Viona alami belakangan ini? Semua itu terjadi setelah Viona terkena hujan. Tapi dulu, saat Viona ga pernah sekalipun hujan-hujanan, hidup Viona selalu baik-baik aja."
"Sayang, dengerin mama. Hujan sama sekali tak ada kaitannya dengan masalah yang kamu alami. Semua masalah itu datang karena kamu sudah semakin dewasa, agar kamu menjadi orang yang kuat. Kalau kamu sudah terbiasa mengalami masalah, kamu ga akan pernah gentar mau diterpa masalah sebesar apapun atau seberat apapun itu." Vina mencoba memberi pengertian
Viona hanya terdiam, lalu kembali menoleh ke arah Dion. Air matanya pun kembali menetes lagi, hatinya benar-benar terluka melihat kekasih yang begitu disayanginya terkapar lemah seperti itu. Terlebih ia merasa bersalah karena tidak bisa berbuat apa-apa saat Dion terus-terusan dihajar oleh brandalan-brandalan itu.
***
5 hari sudah berlalu. Namun Dion masih terbaring koma, bahkan belum juga ada tanda-tanda yang menunjukkan kapan lelaki itu akan siuman. Beda halnya dengan Viona yang hanya terluka di bagian perut, sehingga sudah kembali ke rumah sejak kemarin lusa. Dan hari ini ia mulai kembali beraktivitas seperti biasanya, pergi ke kampus untuk bimbingan skripsi terakhirnya. Karena ia memang telah menyelesaikan skripsinya sebelum insiden itu terjadi, jadi sekarang tinggal finishingnya saja.
"Selamat ya Viona akhirnya kamu bisa menyelesaikan skripsi sebelum waktunya seperti yang kamu inginkan." sahut dosen pembimbing Viona
"Seharusnya saya yang berterimakasih sama Bapak, karena atas bimbingan dari Bapak saya bisa secepatnya menyelesaikan skripsi ini." balas Viona sambil tersenyum manis
"Tapi kalau kamu ga terus giat berusaha, bimbingan dari saya ga akan ada gunanya." dosen pembimbing Viona balas tersenyum. "Oh iya Viona, bagaimana keadaan Dion sekarang?." tanyanya yang langsung membuat gadis berubah jadi murung
"Masih koma Pak, dan dokter belum bisa memastikan kapan dia akan sadar." jelas Viona dengan tak bersemangat
"Kamu yang sabar ya, Bapak doakan semoga Dion segera sadar dari komanya dan dia bisa sehat seperti semula biar dia bisa nemenin kamu saat sidang skripsi minggu depan."
Dosen itu memang mengetahui insiden yang terjadi pada Viona dan juga Dion, karena sebagai mahasiswa bimbingannya Viona tentu saja memberitahu alasan kenapa beberapa hari ke belakang ia tidak bisa mengikuti bimbingan. Karena memang seharusnya jadwal bimbingan terakhirnya bukanlah hari ini, melainkan sehari setelah insiden itu terjadi.
Setelah menembus kemacetan, akhirnya Viona sampai ke rumah sakit di tengah hari yang mulai gelap. Ia memang sengaja datang untuk menemui Dion yang tepat dihari ini berulang tahun yang ke 22. Ya, ini adalah hari sabtu. Hari dimana sebenarnya lelaki itu ingin mengajak orang tuanya, Viona, Vina dan juga Feby untuk pergi ke puncak. Menghabiskan akhir pekan disana.
Namun benar ternyata manusia hanya bisa berencana, tapi Tuhan yang menentukan. Karena kenyataannya sekarang rencana hanya tinggal rencana, dan yang berencana justru malah terbaring tak berdaya. Bahkan tengah berjuang untuk bisa kembali hidup normal.
Sangat menyakitkan memang, tapi Viona berusaha untuk tetap kuat. Ia tetap pada tujuan awal, ingin memberikan kejutan ulang tahun untuk kekasihnya itu. Dan semuanya sudah disiapkan dengan bantuan Feby, Dila dan juga para chef nya Duo . Tinggal kedatangannya saja yang saat ini tengah dinantikan.
Sambil melangkah cepat, gadis itu terus menunjukkan wajah berseri-seri. Karena baginya tidak boleh ada kesedihan yang ditunjukkan di hari istimewa kekasihnya ini. Hingga ia sampai di depan pintu ruang ICU, tempat dimana Dion berada. Dan ia pun langsung membuka pintunya dengan sangat ceria.
Namun keceriaannya hilang seketika saat melihat situasi di dalam. Sarah yang berada dalam keadaan pingsan di sofa, dengan ditemani oleh Vina dan juga Reza yang berurai air mata beserta seorang suster yang tengah berusaha menyadarkannya. Ditambah para chef, Feby dan Dila yang juga ikut berurai air mata sambil berdiri mengelilingi ranjang Dion.
Hingga tatapannya tertuju tepat ke arah Dion yang sudah tidak lagi memakai alat bantu sedikitpun, lalu menoleh ke arah dokter dan seorang suster lagi yang tengah membereskan semua alat bantu yang selama ini dipakai oleh kekasihnya itu.
"Dokter kenapa semua alat bantunya Dion dicopot? Dan kenapa kalian semua menangis? Dan kenapa juga tante Sarah tak sadarkan diri?." Viona langsung berlalu dari ambang pintu tempatnya berdiri tadi, dan membuat semua orang disana terkejut akan kedatangannya
"Kak Viona." Feby langsung menghampiri dan memeluknya sangat erat
"Kamu yang sabar ya." Dila pun ikut memeluk
"Kalian kenapa sih? Sabar? Sabar kenapa?." Viona melepas pelukan dari kedua gadis itu
"Sayang." Vina pun langsung menghampiri dan giliran ia yang memeluk Viona dengan sangat erat
"Yang kuat ya Viona." kali ini chef Maya yang ikut memeluk
"Kalian juga kenapa?." Viona kembali melepaskan pelukan sambil mengerutkan kening heran. "Dokter, dokter belum jawab pertanyaan saya. Kenapa alat bantunya Dion dicopot?." tanyanya yang langsung menoleh ke arah dokter itu yang hanya terdiam sejak tadi
"Alat bantu ini dicopot karena memang sudah tidak berfungsi lagi pada tubuh pasien." jelas dokter itu singkat
"Tidak berfungsi? Dokter tau kan alat bantu ini yang membantu Dion untuk tetap bisa bertahan, lalu kenapa dicopot?." tanya Viona dengan nada sedikit tinggi
"Memang benar, tapi sekarang pasien sudah tidak membutuhkannya lagi. Karena dia sudah pergi meninggalkan kita semua." jelas dokter dengan tak enak hati mengatakannya
"Pergi? Apa maksud dokter? Dion masih disini, dia ga pergi kemana-mana." Viona nampak tak mengerti
"Mohon maaf Mba, dengan berat hati harus saya katakan bahwa Dion sudah pergi untuk selama-lamanya. Dia sudah meninggal dunia."
Deggggggggggg. Jantung Viona seakan copot saat itu juga, tubuhnya yang tadi berdiri kuat langsung roboh seketika. Seperti pohon yang berdiri kokoh lalu tiba-tiba diruntuhkan oleh hujan deras dan diikuti dengan terpaan angin yang sangat besar. Air mata pun mulai mengalir, dadanya begitu sesak dan dalam tubuhnya benar-benar tak tersisa lagi kekuatan sedikitpun.
Vina dan Feby yang saat tadi langsung menahan tubuh Viona yang hampir terjatuh pun terus berusaha untuk menenangkan dan juga menguatkan. Tapi gadis itu seakan kehilangan kesadaran, ia hanya menangis dengan amat menyakitkan tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Ia masih berusaha mencerna apa yang dikatakan oleh dokter tadi.
"Dion sudah pergi untuk selama-lamanya. Dia sudah meninggal dunia."
Hingga dua kalimat itu terngiang dengan sangat jelas di telinganya.
"Ngga, ga mungkin." tiba-tiba ia dapat kembali berdiri dengan tegak. "Dion ga mungkin meninggal, dia masih hidup." yakinnya yang langsung menghampiri kekasihnya itu sambil memegang lembut pipinya
"Sayang." Vina kembali menghampiri untuk memberi pengertian sambil tersendu-sendu
"Ngga Ma, Dion belum meninggal. Dia masih hidup." tegas Viona. "Mama lihat dekorasi itu, dan kue yang ada di meja itu. Semuanya disiapkan untuk Dion yang hari ini ulang tahun, jadi ga mungkin dia meninggal." lanjutnya sambil menunjuk dekorasi ulang tahun yang memang sudah disiapkan sebelumnya dan juga kue ulang tahun yang berada di atas meja samping ranjangnya Dion dan memang sengaja ia buat sendiri semalam
"Kamu harus ikhlas sayang, Dion memang sudah meninggalkan kita semua." Vina kembali mencoba membuat anaknya itu mengerti
"Ngga Ma, Dion ga mungkin meninggal. Hari ini dia mau ngajak kita pergi ke puncak, jadi ga mungkin, ga mungkin dia meninggal." lirih Viona dengan air mata yang terus mengalir. "Ayo sayang bangun, tunjukkin ke mereka semua. Kalau kamu masih hidup. Kamu belum meninggal, kamu ga mungkin pergi. Karena kamu sudah janji untuk selalu bersama aku dalam keadaan apapun. Jadi kamu ga boleh pergi ninggalin aku. Ayo Dion bangun." lanjutnya sambil menggerak-gerakkan tubuh kekasihnya
"Sayang, sayang udah. Ikhlasin Dion." Vina semakin tak tega melihat kondisi anaknya seperti itu
"Dion bangun." Viona memeluk erat kekasihnya dengan tangisan yang amat menyakitkan. "Hari ini kamu ulang tahun, aku udah nyiapin kejutan buat kamu. Atau kamu mau kita ke puncak sekarang? Ayo, kita pergi sekarang juga. Yang penting kamu bangun, sayang."
"Ayo bangun, aku mau ngasih tau kamu kalau skripsi aku udah selesai dan minggu depan aku sidang. Kamu pasti seneng kan? Karena ini semua berkat kamu juga. Kamu bangun ya, biar kamu bisa temenin aku sidang. Kamu kan udah janji kamu bakal nemenin aku."
"Ayo bangun Dion, kamu ga boleh pergi. Kamu harus terus berada disamping aku."
"Bangun sayang, aku ga mau hidup tanpa kamu."
Viona terus berbicara sendiri seperti orang yang kehilangan akal. Gadis itu memang sangat kalut, karena ia begitu terpukul. Ia tak bisa menerima kenyataan pahit ini.
"Maaf mba, pasien harus kami bawa sekarang. Agar jenazahnya bisa segera diurus." suster yang tadi ikut membereskan alat bantunya Dion menghampiri Viona
"Ngga, suster ga boleh bawa Dion pergi. Hari ini dia ulang tahun, jadi dia harus tetep disini." Viona memeluk erat Dion dan menjauhkan suster itu
"Sayang, sayang udah. Kamu ga boleh kaya gini, biarkan Dion pergi dengan tenang." Vina mencoba menjauhkan Viona dari Dion
"Ngga Ma, mereka ga boleh bawa Dion pergi. Dion belum meninggal, Dion masih hidup Ma." Viona menatap Vina dengan air mata kepahitan yang mendalam
"Kamu harus kuat sayang, ikhlaskan Dion." Vina memegang lembut kedua pipi anaknya itu sambil terus berurai air mata
"Maaf mba." suster tadi menutup seluruh tubuh Dion dengan selimut dan bersiap membawa jenazah lelaki itu keluar dari ICU
"Ngga suster, saya bilang ngga ya ngga." Viona langsung membuka selimut itu hingga wajah kekasihnya kembali terlihat
"Viona udah sayang. Sus, bawa Dion sekarang." Sarah yang baru sadar langsung menghampiri Viona sambil memegang lembut kedua lengan gadis itu dari belakang
"Ngga tante, mereka ga boleh bawa Dion pergi." lirih Viona sambil menatap nanar kedua suster yang mulai membawa Dion pergi seusai menutup kembali seluruh tubuh kekasihnya itu dengan selimut
Gadis itu terus berusaha memberontak untuk mencegah kedua suster yang ingin membawa Dion pergi, namun orang-orang di sekitarnya terus menahan dan menghalangi pergerakannya.
Makasih untuk yang selalu setia membaca cerita ini, tapi usahakan jangan hanya membaca ya tapi vote juga. Belajar menghargai😊 Biar saya juga semakin semangat untuk melanjutkannya...