Part 14 LOVE IN RAIN
novel.goshere.xyz Situs Berbagi Cerita, Baca novel online gratis beragam cerita. Temukan aneka novel romance, novel horor, dan novel adult romance. Saat ini novel.goshere.xyz Situs Berbagi Cerita Part 14 LOVE IN RAIN
Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Viona dan Dion semakin bertambah dekat, bahkan kedekatan mereka sudah menjadi rahasia umum bagi para karyawan restoran. Namun disisi lain, Viona juga mulai berhubungan baik kembali dengan Dimas. Bahkan sekarang ia lebih sering diantar pulang sehabis kerja oleh Dimas dibandingkan oleh Dion.
Sama halnya seperti sekarang, gadis itu tengah menunggu Dimas yang akan menjemputnya, sambil duduk di salah satu kursi di dalam restoran. Karena kebetulan Dion belum menutup restorannya.
Sesekali ia mengecek ponselnya, untuk melihat apakah ada pesan masuk dari Dimas atau tidak. Namun rupanya tak ada satu pesan pun yang masuk, padahal sudah cukup lama ia menunggu lelaki itu yang tak kunjung datang juga.
"Koq lo belum pulang?." tanya Dion yang baru keluar dari dapur restoran
"Belum, gue lagi nungguin..."
"Oh lo di jemput sama Dimas lagi." sela Dion dengan wajah datar
"Koq lo selalu terlihat ga seneng gitu sih setiap kali gue nyebut nama Dimas?." tanya lurus Viona yang langsung berdiri mendekati lelaki itu
"Perasaan lo aja kali, gue biasa aja koq." Dion berusaha menghindar dari tatapan Viona
"Tapi nada bicara lo ga biasa." sahut Viona dengan wajah tak mengerti
"Gue biasa aja koq, gue seneng-seneng aja kalau lo dijemput sama Dimas." Dion langsung menatap lurus gadis itu sambil menyunggingkan seulas senyum di bibirnya
"Nah kalau kaya gini, baru gue percaya." Viona balas tersenyum
"Eh tapi emang si Dimas itu mau tiap hari ya jemput lo pulang kerja kaya gini?." tanya lurus Dion
"Emangnya kenapa?." tanya balik Viona
"Ya gapapa, gue cuma nanya doang. Emangnya ga boleh?." Dion kembali balik bertanya
"Ya boleh-boleh aja sih. Tapi alasan lo nanya hal yang tadi itu apa? lo keberatan ya kalau Dimas ngejemput gue ke restoran lo ini?." Viona menatap lurus lelaki itu
"Ngga, gue ga keberatan koq. Cuma gue ngerasa heran aja, bukannya lo sendiri pernah bilang kalau lo udah ga mau ada urusan apa-apa lagi sama si Dimas. Terus kenapa sekarang lo malah deket lagi sama dia?." jelas Dion dengan cukup tenang
"Ya gue emang pernah bilang kaya gitu. Tapi kedekatan gue sama Dimas sekarang kan hanya sebatas teman, sama seperti kedekatan gue sama lo. Emang salah ya kalau gue ingin tetap menjalin hubungan yang baik sama dia?." Viona menatap lurus lelaki itu. "Lagipula bukannya lo yang bilang kalau hidup itu terus berjalan, dan gue harus bersikap biasa aja sama orang yang gue benci biar gue ga terus mengingat orang itu lagi."
"Ya tapi sikap lo ini ga biasa, lo malah seolah ngasih kesempatan besar untuk dia yang jelas-jelas masih mengharapkan dan mencintai lo." sahut Dion dengan nada sedikit tinggi
"Tunggu deh, koq lo jadi nyolot gini sih. Emangnya kenapa kalau misalkan gue ngasih kesempatan lagi buat Dimas? toh semua orang juga pasti bisa berubah kan setelah melakukan suatu kesalahan." Viona mulai terlihat sedikit kesal
"Semua orang memang pasti bisa berubah. Tapi sebagai teman, gue ga mau kalau sampai ada orang yang menyakiti hati lo lagi. Karena gue ga yakin kalau dia bisa benar-benar berubah." Dion menatap dengan tegas
"Teman lo bilang? cara bicara lo ini kaya bukan nasehat dari seorang teman tau ga. Sebenarnya maksud lo apa sih?." Viona nampak sangat tak mengerti
Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Dion malah menarik nafas berat sambil menahan rasa kesal. "Udah lah, ga usah di bahas lagi. Lo juga ga bakal ngerti." sahutnya mulai beranjak pergi namun Viona langsung menarik tangannya
"Makanya itu lo jelasin apa maksud lo yang sebenarnya, biar gue bisa ngerti." Viona menatap lurus lelaki itu. "Kenapa? apa lo ga suka kalau gue deket lagi sama Dimas?."
"Iya, gue emang ga suka kalau lo deket lagi sama Dimas. Gue ga suka kalau lo deket sama cowo manapun. Dan gue ga suka kalau kedekatan lo sama mereka melebihi kedekatan lo sama gue." jelas Dion dengan sangat lantang
"Apa? lo ga suka gue deket cowo manapun?." Viona nampak tercengang. "Tapi kenapa?."
"Semua itu ya karena..." Dion nampak begitu berat menjelaskannya. "Udahlah, ga usah dibahas lagi." lanjutnya yang mulai beranjak pergi kembali
"Tunggu dulu." Viona mempererat pegangannya pada tangan kanan lelaki itu. "Lo ga boleh pergi sebelum lo menuntaskan apa yang ingin lo katakan tadi." lanjutnya dengan tatapan lurus
Namun Dion malah terdiam dan kembali menahan nafas berat lalu menghembuskannya secara perlahan sambil terus menghindari tatapan gadis itu.
"Kenapa? karena apa?." tanya Viona dengan tegas
"Semua itu karena..." Dion langsung menunduk dan semakin merasa berat untuk mengatakannya. "Apa mungkin ini waktu yang tepat, tapi jika di nanti-nanti pun belum tentu aku bisa mengatakannya. Apalagi sekarang Dimas semakin berusaha mendekatinya." pikirnya keras-keras
"Dion ayo ngomong, lo kenapa sih? jangan bikin gue kebingungan kaya gini." sahut Viona kembali tegas
Namun lagi lagi Dion kembali menunduk, menahan nafas semakin berat, menghembuskannya secara perlahan, memejamkan matanya sejenak. Lalu mulai mengangkat wajahnya, dan menatap lurus gadis itu. "Oke aku akan menjelaskan semuanya. Semua itu karena aku cinta sama kamu." sahutnya dengan nada berat
"Apa?." Viona langsung melepaskan pegangannya pada lelaki itu dengan lemas
Sejenak Dion menatap ke arah tangan Viona yang terlepas dari tangannya, lalu kembali menatap lurus gadis itu.
"Iya. Aku cinta sama kamu dan aku sayang sama kamu Viona. Bahkan aku telah jatuh cinta sama kamu dari sejak pertama kali kita bertemu di tengah hujan deras malam itu." sahut Dion dengan sangat lantang. "Mungkin memang selama ini sikap aku selalu membuat kamu kesal, tapi itu adalah cara aku agar bisa dekat sama kamu. Agar aku bisa mengenal apa adanya diri kamu. Tanpa ada kepura-puraan ataupun rekayasa." lanjutnya yang mulai merendahkan suara
Seketika Viona menjadi sangat lemas, bahkan kakinya berjalan mundur mencari sesuatu yang bisa menopang tubuhnya. Menubruk meja lalu bersandar dengan kedua telapak tangan menempel kuat di atasnya.
Mencoba mengendalikan nafasnya yang mulai tertatih-tatih, mencoba mengatur detak jantungnya yang nyaris berhenti berdetak, mencoba mencairkan darahnya yang nyaris membeku, dan mencoba menguatkan tubuhnya yang nyaris tak berdaya sama sekali.
Reaksinya lebih hebat dibandingkan saat pertama kali Dion memeluknya. Dunianya seakan terhenti saat itu juga, dan hidupnya seakan berakhir detik itu juga. Benar-benar lemas dan terasa sangat kaku.
Sebuah kata yang terasa mustahil baginya jika diungkapkan oleh lelaki itu. Sebuah kata yang selalu ia pungkiri jika akan terucap dari lelaki itu. Sebuah kata yang benar-benar tak mungkin namun sekarang menjadi sebuah kepastian.
"Mungkin kamu kaget atau bahkan ga percaya sama sekali dengan pengakuan aku ini, tapi inilah kenyataannya. Inilah aku yang sejak malam itu selalu mencintai kamu, inilah aku yang sejak kamu bekerja disini selalu memperhatikan sekecil apapun yang kamu lakukan, dan inilah aku yang selalu berusaha membuat kamu tersenyum bahagia dengan cara aku sendiri." Dion menatap dalam-dalam gadis itu yang sekarang tengah menunduk lemas. "Aku tau Viona, dan aku sadar sekalipun aku mencintai kamu, aku sama sekali ga berhak melarang siapapun untuk mendekati kamu, termasuk Dimas. Dan aku pun tidak akan memaksa kamu untuk membalas cinta aku, karena aku ingin kamu mendapatkan orang terbaik sesuai pilihan hati kamu."
Viona masih belum memberi respon, meskipun saat ini ia sudah bisa berdiri dengan tegak. Namun gadis itu belum berani mengangkat wajahnya dan menatap ke arahnya Dion.
"Maaf jika selama ini aku terlalu ikut campur sama urusan kamu, aku terlalu mengatur dengan mengatakan jika aku tidak suka melihat kamu dekat sama Dimas seperti tadi. Itu semua bukan karena aku ingin menjadi satu-satunya orang yang dekat dengan kamu, tapi karena aku tidak ingin jika ada orang yang menyakiti hati kamu lagi." Dion mulai berjalan mendekati Viona. "Aku memang mencintai kamu, tapi aku tidak keberatan jika kamu mencintai orang lain, selama orang itu tidak akan menyakiti kamu. Sekalipun orangnya itu adalah Dimas. Jika kamu memang merasa dia sudah benar-benar berubah, aku tidak akan melarang kamu untuk kembali sama dia."
"Gue sama sekali ga ada niatan untuk kembali sama Dimas, gue cuma berusaha untuk tetap menjalin hubungan yang baik sama dia. Sebatas teman, ga lebih." Viona mulai bersuara meskipun dengan nada berat
"Itu hanya pemisalan. Karena aku ga mau dengan ungkapan perasaan aku ini, membuat kamu merasa terganggu dan mengubah keputusan kamu untuk menerima seseorang yang mungkin saat ini sudah kamu yakini menjadi yang terbaik." Dion menatap dengan lembut
"Gue ga tau mesti bicara apa, tapi yang jelas untuk saat ini gue ga ada niatan buat nerima siapapun dalam hidup gue. Terutama Dimas, karena meskipun sekarang gue berteman baik sama dia, itu bukan berarti rasa sakit hati dan kebencian gue sama dia hilang begitu aja." Viona menatap lurus lelaki itu
"Maaf jika aku berbicara seolah aku lebih tau segalanya dibandingkan orang yang merasakannya. Aku hanya..."
"Gapapa, gue bisa ngerti koq bagaimana perasaan lo. Tapi gue belum bisa memberikan respon apa-apa tentang apa yang lo ungkapkan tadi." sela Viona dengan lembut
"Aku juga ga mengharapkan respon apa-apa, aku cuma ingin mengungkapkan apa yang aku rasakan selama ini. Seperti yang tadi aku bilang kalau aku ga akan memaksa kamu untuk membalas cinta aku ini, karena cinta memang tidak untuk dipaksakan." Dion menatap dalam-dalam gadis itu
"Yaudah kalau gitu, gue pulang duluan ya. Sepertinya Dimas udah datang buat ngejemput gue." pamit Viona setelah mendengar suara mobil berhenti di depan restoran
"Iya." Dion mengangguk singkat lalu menatap kepergian gadis itu dengan sendu
Cinta memang tidak untuk dipaksakan. Karena cinta itu untuk dirasakan. Dirasakan oleh dua insan yang memang menginginkannya. Seperti kata orang, cinta datang karena terbiasa. Jika memang dia orangnya maka cepat atau lambat cinta itu akan tumbuh. Sekalipun kita terus berusaha memungkirinya, menjauhkannya bahkan memusnahkannya. Cinta itu tidak akan pernah pergi. Begitupun sebaliknya, jika dia bukanlah orangnya, sekeras apa kita berusaha, sekuat apa kita berjuang, tidak akan ada hasilnya. Cinta itu tidak akan tumbuh sedikitpun.
***
Sejak pulang dari restoran tadi sampai jam dinding menunjukkan pukul 1 malam seperti saat ini, Viona tak henti-hentinya memikirkan tentang Dion. Setiap kata yang diungkapkan oleh lelaki itu terus terngiang di telinganya dan bahkan seolah menggema dengan kerasnya. Membuat hatinya gelisah dan memenuhi seluruh pikirannya. Segala posisi tidur sudah ia lakukan, tapi matanya tidak juga terpejam. Ia tetap terjaga dengan baiknya.
Hingga akhirnya terdengar suara ketukan pintu diikuti oleh suara orang yang memanggil namanya dengan pelan. Merasa tak asing akan suara itu, ia pun langsung segera membuka pintu kamarnya.
"Kamu belum tidur?." tanya Vina yang memang sejak tadi mengetuk pintu kamar Viona
"Belum Ma. Mama sendiri koq belum tidur?." tanya balik Viona dengan lembut
"Ga tau nih mama lagi ga bisa tidur, di kamar jenuh sendirian ga ada temen ngobrol. Ngetuk-ngetuk pintu kamarnya Feby juga ga ada respon, mungkin dia udah tidur pulas." jelas Vina dengan tenang
"Yaudah mama tidur disini aja ya, temenin Viona." ajak Viona dengan manja
"Boleh." Vina mengangguk singkat sambil tersenyum hangat lalu mulai memasuki kamar anaknya itu. "Kamu kenapa koq belum tidur?." tanyanya saat mereka sudah terduduk di atas kasur
"Viona ga bisa tidur Ma." Viona menunjukkan wajah gusarnya
"Alasannya?." tanya lurus Vina
"Viona kepikiran terus sama Dion." jawab Viona masih dengan wajah gusar
"Dion? emangnya dia kenapa?." Vina mengerutkan kening heran
"Tadi Dion mengungkapkan perasaannya sama Viona. Dan Viona ga nyangka kalau ternyata yang selama ini mama dan yang lainnya duga itu memang benar adanya." jelas Viona dengan nada sedikit berat
"Jadi sekarang kamu baru percaya?." Vina menatap dengan santai
"Iya." Viona mengangguk singkat
"Sayang, dengerin mama ya." Vina langsung menarik anaknya itu ke dalam rangkulannya. "Sebelum Dion mengungkapkan perasaannya pun, seharusnya kamu udah bisa memahami dari caranya bersikap, dari caranya memperhatikan kamu, dan juga dari caranya menatap kamu." lanjutnya dengan tatapan lembut
"Viona tau Ma, tapi..."
"Tapi kamu malah menutupi diri dan hati kamu dari hal-hal seperti itu karena merasa trauma?." sela Vina
Viona hanya menunduk tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
"Sayang, lihat mama." Vina mengangkat wajah anaknya itu sambil memegang lembut kedua pipinya. "Jangan hanya karena kamu pernah merasakan kepahitan dalam kisah cinta yang lama, kamu menutupi diri untuk kisah cinta yang baru. Justru kamu harus membuka diri kamu untuk memberi kesempatan pada orang yang memang benar-benar mencintai kamu, dan kamu juga harus memberi kesempatan pada diri kamu sendiri untuk bisa kembali bahagia."
"Tapi Ma, apa yang telah Viona alami itu ga mudah untuk Viona bisa kembali membuka kisah yang baru." Viona menatap lurus anaknya itu. "Karena rasa sakitnya akan selalu teringat sampai kapanpun."
"Mama tau sayang." Vina mengangguk singkat. "Cinta memang tidak menjamin suatu kebahagiaan, tapi tidak akan ada kebahagiaan tanpa cinta. Terluka karena cinta pun adalah hal yang wajar karena semua orang pasti pernah mengalaminya. Tapi cinta itu bukan tentang seberapa kecil luka yang akan dirasa, melainkan seberapa kuat kedua orang yang saling mencintai untuk mempertahankan cintanya sebesar apapun rintangan yang menghampiri." lanjutnya dengan tatapan penuh arti
"Tapi Ma." Viona kembali berusaha mengelak
"Mama bisa lihat ada cinta dalam setiap tatapan yang kamu berikan pada Dion. Dan sekarang, tinggal kamu tanyakan pada diri kamu sendiri, kamu tanyakan pada hati kamu, akankah cinta yang kamu rasakan itu bisa membuat kamu yakin untuk memulai kisah yang baru?." Vina kembali menatap dengan penuh arti. "Hanya kamu yang bisa menjawab pertanyaan itu. Jangan sekali-kali kamu memaksakan jika kamu memang tidak menginginkannya. Ikutilah kata hati kamu."
"Makasih Ma." Viona langsung memeluk hangat mamanya itu
Vina hanya balik memeluk dengan tak kalah hangat sambil mengecup kepala anaknya itu, tanpa mengeluarkan sepatah katapun lagi. Namun tersirat sebuah harapan yang begitu besar dari sorotan matanya.
"Yaudah kita tidur yu, udah malem nanti bangunnya kesiangan lagi." sahut Vina setelah melepas pelukannya
"Ayo." Viona pun mulai merebahkan dirinya diikuti oleh Vina
Tidur dalam pelukan sang mama membuat Viona merasa lebih dari sebuah kata bahagia, bahkan berulang kali Vina mengelus lembut kepalanya dan juga mengecup hangat keningnya. Sekali lagi ia memang sangat beruntung memiliki ibu seperti itu. Paling mengerti dalam segala keadaan dan selalu bisa menciptakan senyuman pada wajah anak-anaknya.
***
Sudah lebih dari 3 jam lamanya Viona berada bersama Dimas. Sengaja libur bekerja hanya agar bisa menghabiskan hari bersama lelaki itu. Sebenarnya ia tidak menginginkannya, hanya saja ia merasa tak bisa jika harus menolak ajakannya Dimas. Karena saat ini ia sudah berteman baik dengan mantan kekasihnya itu. Sekedar menjalin tali silaturahmi, itulah yang menjadi tujuannya sekarang.
Layaknya raga tanpa roh. Mungkin itulah perumpamaan Viona saat bersama Dimas sejak tadi. Tubuhnya mungkin sedang terduduk di kursi taman bersama lelaki itu, tapi pikiran dan hatinya entah berada dimana.
"Kamu ingat dengan tempat ini?." tanya lurus Dimas. "Tempat ini adalah saksi cinta kita berdua, di tempat ini aku mengutarakan isi hati aku untuk yang pertama kalinya, di tempat ini juga kita sering menghabiskan waktu bersama." lanjutnya sambil tersenyum simpul
"Dan di tempat ini juga kisah kita berakhir." sahut Viona dengan tatapan lurus ke depan
"Aku tau, mungkin itu sangat menyakitkan. Tapi di tempat ini juga aku akan memperbaiki semuanya." Dimas menatap dalam-dalam gadis itu dari samping
Namun Viona tak menghiraukannya, gadis itu malah terlarut dalam lamunannya sendiri. Ia mengingat kebersamaannya dengan Dion di tempat ini. Saat lelaki itu berusaha meyakinkannya untuk mau berada di tempat ini setelah cukup lama ia membencinya, saat lelaki itu mengajaknya bermain bola bersama anak-anak, saat lelaki itu menciptakan senyuman dan tawa di wajahnya, dan saat lelaki itu memberi makna baru di tempat yang menjadi saksi kepahitan dari kisah cintanya ini. Semuanya terasa indah baginya.
Namun tiba-tiba hatinya terasa sakit ketika ia juga mengingat bahwa saat ini Dion menjauh darinya, bukan karena keinginan lelaki itu, tapi karena dirinya sendiri. Karena ia sendiri yang berusaha menjaga jarak dari lelaki itu. Karena ia merasa tidak tau harus bersikap seperti apa setelah malam itu, malam dimana Dion mengutaran isi hatinya yang sesungguhnya.
"Viona." panggil Dimas untuk kesekian kalinya
"Hah iya?." Viona nampak terperanjat
"Kamu kenapa? kamu ngelamun?." tanya lurus Dimas
"Ngga, aku cuma..."
Tiba-tiba pandangan Viona tertuju ke arah samping dimana Dimas duduk, arah dimana terdapat dua orang lelaki lengkap dengan pakaian hitam putih dan dasi pita berwarna hitam tengah memainkan nada-nada klasik romantis pada masing-masing biola yang dipegangnya.
"Kamu ingat? hal ini pernah aku lakukan tepat di hari kita jadian, saat aku mengutarakan isi hati aku untuk kamu." Dimas tersenyum dengan begitu sumringahnya
"Lalu untuk apa kamu melakukan hal ini lagi?." tanya lurus Viona
"Karena aku ingin mengulang kembali kisah cinta kita." Dimas langsung turun dari kursi lalu bertekuk lutut dihadapan gadis itu sambil menyembunyikan sebelah tangannya di belakang badan
"Maksud kamu?." Viona mengerutkan kening heran
"Aku tau Viona aku pernah menorehkan luka di hati kamu, dan aku juga tau luka itu tidak akan hilang begitu saja. Tapi, tolong izinkan aku untuk mengobati luka itu, izinkan aku untuk memperbaiki semuanya." Dimas menatap dengan sangat lembut sambil mulai menunjukkan setangkai mawar merah yang tadi disembunyikannya
"Dimas." Viona mencoba memahami semuanya
"Iya Viona." Dimas mengangguk singkat sambil tersenyum penuh arti. "Aku ingin kamu kembali sama aku. Kita mulai lagi semuanya dari awal, aku janji aku tidak akan pernah meninggalkan kamu lagi apapun yang terjadi. Kita akan selalu bersama, melewati semuanya berdua. Aku mohon beri aku kesempatan sekali lagi." lanjutnya dengan penuh harap
"Dulu aku sangat mengharapkan ini terjadi, tapi kenapa sekarang semuanya terasa biasa saja. Bahkan tidak ada lagi sesuatu istimewa yang aku rasakan saat bersama dengannya." pikir Viona dalam diamnya
"Gimana Viona? apa kamu mau menerima aku kembali?." tanya Dimas dengan senyuman yang terus mengembang di wajahnya
"Bagaimana ini? apa yang harus aku lakukan? apa aku harus mencoba memberinya kesempatan? atau..." Viona kembali berpikir dengan sangat keras
Gadis itu berusaha mengingat kenangan manisnya bersama Dimas, namun semuanya sirna ketika kenangan pahit yang justru lebih jelas teringat. Batinnya terasa sakit dan hatinya terasa terkoyak-koyak. Sejenak ia menarik nafas berat lalu menghembuskannya secara perlahan. Mencoba menatap Dimas, namun malah Dion yang terbayang dalam pikirannya.
"Viona? gimana? kamu mau kan menerima aku kembali?." Dimas mengulangi pertanyaannya masih dengan senyuman yang mengembang di wajahnya
Viona berusaha setenang mungkin, lalu menyunggingkan seulas senyum di bibirnya dan menerima setangkai mawar merah yang diberikan oleh Dimas dengan tatapan hangat.
Jelas saja wajah berseri-seri langsung ditunjukkan oleh Dimas, lelaki itu begitu merasa sangat bahagia. Tubuhnya terasa melayang sambil berdiri mengikuti Viona. Namun kebahagiaan yang dirasakannya sirna seketika, saat gadis itu mengembalikan mawarnya dan mengepalkan di tangan kanannya.
"Kenapa dikembalikan?." Dimas mengerutkan kening heran
"Maaf Dimas, aku ga bisa menerima kamu lagi." sahut Viona sambil tersenyum tak enak hati
"Tapi, tapi kenapa?." tanya Dimas dengan nada berat
"Sebenarnya aku ingin memberi kamu kesempatan, tapi aku ga bisa. Karena semuanya udah berubah, aku udah ga punya perasaan apa-apa lagi sama kamu." jelas Viona mencoba setenang mungkin
"Ga ga mungkin, kamu pernah bilang kalau kamu sangat mencintai aku. Bahkan saat aku memutuskan kamu, kamu memohon agar aku tidak pergi, agar aku tetap bersama kamu. Tapi kenapa sekarang.?" Dimas nampak sangat tidak percaya
"Itu dulu Dimas. Aku memang pernah sangat mencintai kamu, tapi perasaan itu telah pergi seiring berakhirnya kisah kita." Viona menatap dengan penuh arti
"Oke, aku sadar mungkin luka yang aku berikan membuat rasa cinta kamu hilang. Tapi Viona, kita bisa memulai semuanya lagi, seiring berjalannya waktu cinta yang ada di hati kamu pasti akan tumbuh lagi. Iya itu pasti, semuanya akan seperti dulu lagi. Jadi tolong beri aku kesempatan, aku mohon." Dimas menatap dengan sangat dalam
"Ga bisa Dimas, aku benar-benar ga bisa. Semuanya telah berakhir, aku ga bisa memberi kamu kesempatan lagi. Aku udah ga mencintai kamu lagi." Viona menatap dengan tegas
"Apa ini karena Dion? karena lelaki itu kamu menolak aku? iya? itu benar kan?." tanya lurus Dimas
"Ini urusan kita, ga ada hubungannya sama Dion. Jadi kamu jangan mengaitkan orang lain ke dalam urusan kita." tegas Viona
"Lalu kenapa? masalah cinta kan bisa kita tumbuhkan lagi. Tolong beri aku kesempatan, aku sangat mencintai kamu dan akan selalu mencintai kamu." pinta Dimas sambil menggenggam erat tangan kanan gadis itu
"Tolong kamu mengerti, aku ga bisa karena aku udah ga mencintai kamu lagi. Jadi aku mohon jangan paksa aku lagi, dan lebih baik kamu juga jangan ganggu hidup aku lagi." Viona langsung menepis pegangan Dimas dan beranjak pergi dari sana
"Viona." panggil Dimas dengan geram. "Oke Viona, jika aku tidak bisa kembali lagi ke dalam kehidupan kamu. Maka siapapun tidak akan bisa masuk ke dalam kehidupan kamu." gumamnya dengan tatapan kebencian
***
Cinta tumbuh di dalam hati dan bersemi juga di dalam hati. Namun terkadang tidak disadari oleh akal. Mungkin itulah yang sudah lama dirasakan oleh Viona. Namun saat ini gadis itu sadar bahwa dirinya mencintai Dion, entah sejak kapan rasa itu muncul. Tapi sekarang sudah sampai pada puncaknya. Puncak dimana sebuah rasa mengalahkan rasa yang lainnya. Rasa trauma yang begitu dalam terkalahkan oleh rasa cinta yang kini semakin menguat.
Tak ingin terlalu lama menyiksa diri dengan memendam rasa, ia pun langsung segera bergegas ke restoran agar bisa memperbaiki hubungan yang belakangan ini telah memburuk. Bukan untuk mengakui perasaannya secara langsung, setidaknya untuk membuat lelaki itu mengerti tentang perasaannya melalui sikap yang akan ditunjukkan olehnya.
Semua ruangan yang berada di restoran telah Viona telusuri, namun keberadaan Dion tak juga ditemukannya. Hatinya merasa sangat kesal karena sudah mengabaikan lelaki itu. Wajahnya pun nampak begitu semrawut saat keluar dari toilet, seusai mengganti pakaiannya dengan seragam kerja. Begitupun dengan langkahnya yang terasa tak berarah saat berjalan menuju loker untuk menyimpan pakaian yang tadi dipegangnya. Benar-benar tak ada keceriaan di wajahnya.
"Kenapa lo, koq mukanya ditekuk gitu?." tanya Dila yang entah sejak kapan datang kesana
"Gapapa koq." Viona tersenyum singkat
"Oh iya bukannya hari ini lo izin ga masuk kerja ya? terus sekarang kenapa lo kesini?." tanya Dila lagi
"Libur kerjanya ga jadi." jawab Viona tak bersemangat
"Loh kenapa? emang si Dimas ga jadi ngajak lo jalan?." Dila kembali mengeluarkan pertanyaan
"Jalannya sih jadi, tapi udahlah gue udah ga mau ngebahas soal Dimas lagi." acuh Viona. "Eh iya, lo ngeliat Dion ga? koq perasaan gue cari kemana-mana, dia ga ada." lanjutnya dengan tatapan lurus
"Oh jadi yang bikin muka lo kusut dari tadi itu Pak Dion." Dila mulai memahami. "Tadi sih dia pergi keluar, ga tau kemana. Emangnya enapa? lo kangen ya sama dia?." lanjutnya berusaha menggoda
"Apaan sih lo. Gue cuma aneh aja, biasanya kan dia selalu stay disini." elak Viona
"Udah ngaku aja kalau emang lo kangen." sahut Dila santai. "Karena terkadang seseorang itu menjadi lebih berarti ketika dia sudah jauh dari kita." lanjutnya sambil tersenyum simpul
"Maksud lo apa sih? ngaco deh." Viona tersenyum kecil
"Viona, Viona. Gue tau kali, belakangan ini kan lo kaya jaga jarak gitu sama Pak Dion. Tapi saat dia beneran jauh dari lo, lo ngerasa kehilangan kan? lo kangen kan dengan sikapnya yang sering bikin lo kesel, ngegangguin lo terus, dan sering ngajak lo ribut ga jelas. Ayo ngaku." Dila terus menggoda sambil menyenggol lengan teman baiknya itu
"Apaan sih lo." Viona kembali mengelak namun sambil menahan senyum lalu membayangkan semua kebersamaannya bersama Dion
Seperti embun yang berwujud pekat namun tak terlihat. Satu kata yang bermakna dalam. Rindu. Itulah yang saat ini dirasakan oleh Viona. Benar, gadis itu sangat merindukan Dion. Bahkan rasa rindu itu seolah tak bisa dibendung lagi.
"Tuh kan ngelamunin Pak Dion." goda Dila kembali yang langsung menghentikan lamunan gadis itu
"Ih lo nyebelin deh, udah ah gue mau kerja." Viona mendadak salah tingkah lalu langsung beranjak pergi
Pucuk di cinta, ulang pun tiba. Yang sejak tadi dicari, kini pun berada. Viona melihat Dion tengah berada di dapur restoran. Entah sejak kapan lelaki itu datang, ia tak ingin terlalu memperdulikannya. Dengan wajah berseri-seri, ia pun langsung bergegas menghampiri orang yang saat ini menjadi pengisi hatinya itu.
Namun saat tinggal selangkah lagi ia sampai di dekat Dion yang tengah mencuci ikan di wastafel, chef Andi malah memanggilnya.
"Tolong bumbui ikan yang sudah dibersihkan sama Pak Dion ya Viona." sahut chef Andi yang membuat wajah muramnya Viona tadi kembali ceria
"O-oke chef." Viona terlihat begitu semangat
"Bahan-bahannya ada disana, kupas dulu ya sebelum di blender." sahut Dion sambil mengarahkan wajahnya ke tempat biasa ia memasak
"Iyalah di kupas, masa iya mau di blender sama kulitnya." Viona berusaha menciptakan candaan
"Ya siapa tau aja mau sama kulitnya." Dion menanggapi dengan wajah datar sambil berjalan menuju tempat yang ditunjuknya tadi
"Ih koq Dion jadi ga asyik gini sih." gerutu Viona dalam hatinya
"Mau dikerjain ga? kalau ngga, biar aku aja yang beresin semuanya." tanya Dion saat Viona hanya terdiam di belakangnya
"Eh iya iya mau." Viona langsung menghampiri lelaki itu lalu mulai melakukan pekerjaannya. "Siniin ikannya." sahutnya saat sudah selesai meracik bumbu
"Biar aku aja." Dion langsung mengambil bumbu yang masih berada dalam blender itu dan mencampurkannya pada ikan-ikan yang berada dalam wadah yang tengah dipegang olehnya
"Yaudah." acuh Viona yang mulai beranjak pergi
"Eh tunggu." Dion langsung memegang tangan kiri gadis itu dengan tangannya yang dilumuri oleh racikan bumbu. "Sorry." sahutnya yang kembali menurunkan tangannya
"Ih tangan gue." Viona menatap tangannya yang kotor lalu menatap Dion dengan sebal
"Ga sengaja." Dion menunjukkan wajah gemas
"Lo tuh ya." Viona langsung membersikan racikan bumbu yang mengotori tangannya lalu melodetinya ke wajah Dion
"Kamu." Dion membalas dengan mengeluskan tangannya yang sangat kotor pada wajah mulus Viona
"Dion." Viona kembali hendak membalas namun tangannya ditahan oleh lelaki itu
Keduanya saling bertatapan sangat dalam tanpa menghiraukan orang-orang disana. Hingga akhirnya mereka menjadi salah tingkah ketika ada orang yang menyadarkan. Seperti biasanya.
"Kalau orang sedang jatuh cinta, dunia memang serasa milik berdua. Yang lain cuma numpang." sindir chef Maya sambil membawa wadah yang berisi ikan lalu kembali ke tempat awalnya tadi
"Iya jatuh cinta, jatuh cinta sebelah pihak lebih tepatnya." gumam Dion dalam hatinya
"Jatuh cinta? aku mengakui itu. Jatuh cinta pada orang yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya." gumam Viona dalam hatinya
"Bersihin wajah kamu, setelah itu temui aku di ruangan. Yang lain sudah mendapatkan gaji bulan ini, tinggal kamu yang belum." sahut Dion dengan santai sambil beranjak ke toilet
"Gaji? ga terasa udah 3 bulan aku kerja disini, dan sebulan lagi aku kembali masuk kuliah." gumam Viona pelan sambil tersenyum simpul
Setelah membersihkan wajahnya, gadis itu pun langsung pergi menemui Dion di ruangannya. Membuka pintu secara perlahan setelah Dion mempersilahkannya masuk, lalu berjalan mendekati lelaki itu yang tengah duduk santai di kursi kerjanya dan masih menggunakan seragam chef yang dipakainya tadi.
"Duduk." suruh Dion santai
"Oke." Viona mulai terduduk berhadapan dengan lelaki itu
"Ini gaji kamu, full tanpa ada potongan." Dion memberikan sebuah amplop sambil tersenyum santai
"Berarti setiap kali lo bilang kalau lo bakal motong gaji gue, itu cuma gertakan doang dong." Viona tersenyum tak kalah santai setelah mengambil amplop itu
"Sebenarnya bukan gertakan sih, tapi ga tega juga kalau beneran dipotong." Dion menatap lurus gadis itu
"Ga tega kenapa?." Viona mengangkat sebelah alisnya
"Ya ga tega aja, aku kan masih punya rasa kemanusiaan." Dion seolah enggan untuk melanjutkan pembicaraan. "Yaudah, kembali kerja sana. Urusannya kan udah selesai." suruhnya dengan sedikit ketus
"Lo kenapa sih?." Viona mengerutkan kening heran
"Kenapa apanya?." Dion balik mengerutkan kening heran
"Ya lo kenapa? koq lo kaya berusaha ngehindar gitu dari gue?." tanya lurus Viona
"Bukannya kamu yang belakangan ini selalu ngehindar dari aku?." Dion menatap dengan tegas
"Gue ga menghindar, gue cuma..."
"Aku paham koq, ga masalah juga. Karena udah seharusnya kamu seperti itu." Dion menyunggingkan seulas senyum di bibirnya
"Seharusnya?." Viona kembali mengerutkan kening heran. "Maksud lo?." lanjutnya semakin tak mengerti
"Maksud aku, sekarang kamu kembali kerja sana." Dion mempersilahkan gadis itu pergi. "Karena aku juga mau pergi, aku mau belanja buat keperluan restoran." lanjutnya sambil mulai berdiri dan melangkahkan kakinya
"Lo ga bakal ngajak gue gitu?." tanya Viona polos
"Buat apa? nanti pacar kamu marah lagi." Dion tersenyum kecil lalu melanjutkan langkahnya
"Pacar?." Viona mengerutkan kening heran. "Dia ngomong apa sih." gumamnya yang kemudian keluar dari ruangan itu