Tiga Belas Not a Dreaming Marriage (Completed)
novel.goshere.xyz Situs Berbagi Cerita, Baca novel online gratis beragam cerita. Temukan aneka novel romance, novel horor, dan novel adult romance. Saat ini novel.goshere.xyz Situs Berbagi Cerita Tiga Belas Not a Dreaming Marriage (Completed)
Dear siders, kudoain jarimu kepleset nekan bintang di pojok kiri itu. Aamiin. 🤲 34
***
Semula aku memilih diam dan tidak ingin memberitahu Bang Gibran tentang Nessa yang merasa tertekan dengan rencana perjodohan itu. Namun, semakin kupikirkan, aku justru semakin tidak tega jika Bang Gibran terlambat tahu.
Maka, aku putuskan untuk menemuinya di sela-sela jam istirahatnya. Senin siang ini, kami janjian bertemu di salah satu restoran dekat kantornya. Sekalian makan siang.
Kupikir, Bang Gibran harus tahu. Sebelum pihak keluarga Ayah Ibu membatalkan rencana perjodohan itu, dia harus lebih dulu mundur. Aku tidak rela jika Bang Gibran ditolak Nessa. Jika dia mundur duluan, setidaknya dia tidak seperti laki-laki yang benar-benar menginginkan adik kesayangan Arion itu.
“Jadi, mau ngomongin apa nih, adik bontotku tersayang?” tanya Bang Gibran setelah menyeruput ice tea lychee—sehabis menandaskan nasi bakar cakalang—yang tadi dipesannya. Aku memang memintanya untuk menghabiskan makanannya lebih dulu sebelum berbicara. Khawatir dia tersedak karena terkejut dengan kenyataan yang kudengar tiga malam yang lalu. 1
Aku memandang Bang Gibran lama. Sebelum berbicara, aku harus memastikan dia akan baik-baik saja. “Bang Gibran nggak akan pingsan, kan, kalau aku ngasih tahu soal ini?” 1
Laki-laki itu seketika terkekeh. “Kalau boleh ngarep sih, mendingan aku pingsan di sini. Kapan lagi coba, aku bakalan digendong sama adik bontotku ini?”
Aku memutar bola mata malas. Kebiasaan laki-laki satu ini. Suka menanggapi sesuatu dengan becanda. Mungkin ini yang membuat Nessa tidak menyukai Bang Gibran.
Aku memasang wajah serius. “Bang Gibran beneran mau serius sama Nessa?”
“Memangnya selama ini aku terlihat main-main?”
Aku menghela napas panjang. “Kalau kuminta Bang Gibran lebih baik mundur, apa ... Bang Gibran mau melakukannya?”
Laki-laki itu terpaku. Sampai beberapa detik kemudian, dia tetap tidak bersuara sedikit pun.
Pandanganku menekuri meja. “Aku kemarin nggak sengaja denger omongan Abang ke Ibu. Nessa ....” Aku terdiam sebentar. Rasanya lidah ini mendadak kelu ketika akan mengungkapkannya. Kuhela napas panjang, lalu kembali melanjutkan, “Dia ... merasa tertekan dengan rencana perjodohan ini, Bang.”
Aku mengangkat wajah. Sekadar ingin melihat bagaimana ekspresi muka Bang Gibran.
Laki-laki itu tampak tertegun. Sejurus kemudian, dia malah tertawa. Derai tawanya terdengar dipaksakan. Terasa tawar.
Aku tersenyum getir. Bukan hanya Bang Gibran yang hatinya sakit, hatiku pun sepertinya juga tidak sehat. Meski aku tidak tahu jawaban Arion ketika ditanya Ibu malam itu, nyatanya aku tidak bisa bersikap seolah kami baik-baik saja. 2
Arion sepertinya menyadari perubahanku. Aku memang tidak sampai mendiamkannya. Namun, jawabanku yang hanya sekata dua kata atau sekadar gerakan kepala (entah anggukan atau gelengan) saat dia mengajakku berbicara sudah cukup menunjukkan perubahan sikapku kepadanya. 3
Pagi tadi, dia pun tak lagi mengecup keningku seperti yang biasa dia lakukan ketika berangkat ke kantor. Entah dia ikut marah atau hanya menuruti keinginanku. 6
Ya, aku memang selabil ini. Aku mungkin berlebihan karena mengartikan diamnya malam itu sebagai jawaban. Tapi, jika dia tidak merasa terbebani mengapa dia butuh waktu lama untuk menjawabnya?
“Sebenernya tanpa kamu kata pun, aku sudah menduganya. Tapi, ketika tahu kenyataannya seperti ini, aku semakin yakin buat mundur.”
Aku hanya menatap nanar ke arahnya.
Dia tersenyum tipis. “Seminggu ini, terus terang aku dibuat galau karena ada perusahaan konstruksi di kaltim yang menawarkan posisi yang lebih tinggi. Aku sudah nyaman tinggal di Jakarta karena ada keluargaku. Dan ... dia pun juga ada di sini. Tapi, setelah tahu kenyataan ini, aku nggak akan berpikir ribuan kali lagi untuk menerimanya.”
Mendengarnya, aku seketika terenyak. “Bang ... Bang Gibran mau pergi?” 5
Laki-laki itu tertawa pelan. Dia mengangguk. “Siapa tahu aku di sana malah ketemu jodohku, kan? Toh, umur juga sudah segini," jawabnya yang lagi-lagi diiringi dengan derai tawa. 10
Meski dia tampak baik-baik saja, aku bisa mendengar ada nada getir di balik tawanya itu.
Tahun ini, umur Bang Gibran genap 29 tahun. Demi menunggu Nessa hingga lulus kuliah, dia rela menunda pernikahannya meskipun umurnya hampir memasuki kepala tiga. Ironisnya, yang ditunggu ternyata tidak menginginkannya. 1
“Kenapa kamu yang malah murung begini, sih?” Bang Gibran membuyarkan ketermanguanku dengan mengusap punggung tanganku. Laki-laki itu menyeringai lebar. “Asal kamu tahu, Ta. Aku bakalan baik-baik saja. Setelah ini, kita lihat seberapa cepat aku bisa move on. Percayalah, Abangmu ini bukan tipe cowok galon.” 5
Aku tersenyum kecil. Aku tahu dia hanya bermaksud menenangkanku.
Dulu, kupikir jodoh kami hanya akan menthok pada tetangga sebelah. Setelah Bang Dhito dan Bang Arvin, lalu disusul aku, kukira Bang Gibran juga akan berakhir dengan tetangga dekat. Namun, sepertinya dia tidak bernasib seperti kami.
Mungkin. 1
Ya, mungkin saja dia tidak berjodoh dengan Nessa. Kecuali ... Allah berkehendak lain. 8
***
Selasa ini tanggal merah. Siapa pun pasti senang saat hari libur seperti ini. Namun, tidak denganku.
Hari libur berarti aku akan banyak menghabiskan waktu dengan Arion. Sampai hari ini, hubunganku dengan Arion belum membaik. Aku tahu, aku terlalu berlebihan mengartikan diamnya Arion malam itu. Mungkin aku hanya butuh waktu sampai aku kembali bersikap seolah tidak ada apa-apa di antara kami. 1
Toh, aku tidak sampai mendiamkannya. Dalihku seakan membenarkan mengapa aku masih bersikap seperti ini meskipun tiga hari telah berlalu.
Aku menghirup udara dalam-dalam, lalu kembali melangkah menyusuri jalanan kecil ini. Hawa sejuk seketika berebutan membelai pipiku saat berjalan memasuki kawasan Arboretum. Pohon-pohon tinggi menjulang itu seakan menyambut kedatanganku. Di hutan kota ini, ada beragam jenis tumbuhan yang ditanam dan dikembangbiakkan sebagai wujud pelestarian lingkungan hidup, terutama di Ibu Kota.
Senyumku terulas tipis. Hari ini aku berencana melakukan pemotretan beberapa produk endorse. Agni yang merekomendasikan tempat ini. Sahabatku itu pula yang menawarkan sebagai fotografer gratis untukku.
Aku melirik seseorang yang berjalan di sebelahku. Ada jarak sekitar setengah meter di antara kami. Aku tersenyum kecut. Seharusnya di tempat seperti ini, kami berjalan sambil bergandengan tangan. Bukan malah terdiam membisu bak orang yang tidak saling mengenal.
Tadinya, aku akan berangkat sendiri ke tempat ini. Toh, saat pulang nanti, aku bisa pulang bersama dengan Agni. Namun, Arion memaksa mengantarku. Dia bilang, dia ada janji dengan Ghandi.
“Sekalian nganter kamu. Nanti aku jemput lagi kalau sudah selesai pemotretannya.” Begitu yang dikatakan Arion ketika aku bersikeras menolak.
Apa boleh buat. Aku membiarkan laki-laki itu mengantarku. Bahkan, sampai turun dari mobil, lalu menemaniku berjalan beriringan menuju sebuah kafe yang terletak di tengah hutan kota ini.
Langkahku semakin kupercepat ketika sebuah bangunan berdinding kayu berwarna cokelat itu mulai terlihat. Kafe berdesain modern minimalis itu terasa seperti menemukan sebuah rumah asing di tengah hutan. Rumah yang hanya berdiri sendirian, namun malah terkesan menentramkan.
Saat melewati runway panjang di depan kafe, mataku seketika menyipit begitu melihat sosok yang kukenali duduk dengan kaki menyilang di salah satu kursi di sisi kanan. Meskipun kulitnya terlihat lebih cokelat—karena sering terpapar sinar matahari—aku tak akan lupa pada wajah itu. Laki-laki berambut panjang yang diikat ke belakang dan ditata bun itu tengah menekuri kameranya. Laki-laki itu tampak tak acuh dengan sekitarnya. 1
Keningku mengernyit heran. Kenapa dia bisa ada di sini?
“Bukannya tadi bilang, kamu janjian sama Agni?”
Aku menoleh. Rupanya Arion juga memperhatikan ke arah yang sama. Alisku semakin bertaut. Aku tidak yakin Arion mengenal laki-laki itu. Seingatku, dia baru bertemu sekali saat resepsi pernikahan dulu. Itu pun tidak sampai berkenalan.
Meskipun pernah satu sekolah, mereka juga tidak sempat tahu karena Arion sudah lebih dulu lulus ketika laki-laki itu baru masuk sekolah. Cukup mengherankan juga jika Arion masih mengingat laki-laki itu.
“Aku tadi emang janjian sama Agni, Bang,” balasku kemudian. Nada suaraku masih terdengar datar. "Tadi pagi malah dia ngingetin aku biar nggak dateng telat, kok." Ini jawaban paling panjang setelah hari-hari sebelumnya aku hanya menjawab singkat atau dengan gerakan kepala saja. Aku tidak mau dia salah sangka denganku.
Namun, aku ragu jika keberadaan laki-laki itu di sini sekadar kebetulan. Buru-buru kuambil ponsel dari dalam tas, lalu segera menggeser layarnya. Embusan pelan keluar dari mulutku saat membaca pesan yang dikirimkan Agni.
Agni : Sorry, Ta. 🙏 Mas Ivan tetiba muntah2. Mungkin slh mkn. Aku telpon Yuris buat gantiin, ya. Mumpung dia ada di jkt. 2
Aku kembali mendesah panjang. “Ternyata Agni batalin tiba-tiba karena suaminya sakit. Aku baru tahu kalau Yuris gantiin dia," terangku kemudian. Sekali lagi, aku tidak mau salah sangka. Jika tidak kuterangkan, mungkin saja dia mengira aku sengaja meminta bantuan Yuris tanpa sepengetahuannya.
Arion hanya diam, tidak menanggapi ucapanku.
Aku memilih kembali berjalan. Saat sampai di pertengahan, sepertinya Yuris menyadari kedatanganku. Laki-laki itu mengangkat wajahnya. Dia menyeringai lebar begitu melihatku. Sejurus kemudian, dia menegakkan kaki, lalu melangkah mendekatiku.
Sebelum menyapaku, dia sempat melirik Arion sekilas, lalu beralih menatapku. “Hi, Vita Jelly. Lama kita nggak ketemu.” Tangannya sengaja terulur ke arahku dengan seringaian jahil. Saat aku tak kunjung menyambut, dia sontak mendesis pelan. “Sepertinya orang-orang suku Bajo itu membuatku lupa kalau Vita Jelly tetaplah Lovita. Dan Lovita tetaplah Vita Jelly.” 2
Aku hampir memutar bola mata. Joke-nya receh sekali. Dia sepertinya senang mencandaiku dengan berpura-pura menyalamiku.
Aku tak menghiraukannya dan memilih menoleh pada Arion. “Abang mau pergi sekarang atau minum dulu di sini sebentar?” Bukan bermaksud mengusir Arion. Rasanya aku tidak sampai hati jika dia malah dicuekin Yuris tanpa mau menyapanya. Sementara jika aku mengenalkan mereka, harus bagaimana aku memulai? Sepertinya tanpa dikenalkan pun, mereka sudah tahu satu sama lain.
Arion masih terdiam. Dia menatapku lama. Seolah lewat tatapannya itu, dia hendak meneliti di balik sorot mataku.
“Aku tunggu kamu sampai selesai saja.” 9
Jawaban Arion itu benar-benar mengejutkanku. Mataku sampai mengerjap beberapa kali. “Bukannya ... Abang ada janji sama Bang Ghandi?” Tadi pagi, dia mengatakan itu kepadaku. Aku yakin, aku tidak salah dengar.
“Nanti aku bisa telepon Ghandi. Toh, nggak terlalu penting juga.”
Aku terlongo. Bukankah tadi pagi, dia bilang akan segera pergi setelah mengantarku sampai ke sini? Lalu, kenapa sekarang dia berubah pikiran? 2
Arion memegang lenganku. “Kita cari tempat duduk di lantai atas saja. Kita bisa makan dulu di sana. Sudah jam sebelas, sekalian makan siang dulu.”
Aku tak sempat mengatakan pada Yuris karena Arion keburu menarik lenganku. Namun, sebelum menarik tanganku, dia sempat menundukkan kepala sekilas kepada Yuris sebagai tanda salam jika dia hendak berlalu. Ketika menaiki tangga, tangan Arion bergeser turun, lalu menggenggam jemariku erat.
Aku terus menoleh ke arahnya dengan tatapan keheranan. Aku bingung mengartikan ini semua. Saat sudah mencapai anak tangga paling atas, mataku seketika melebar saat menyadari sesuatu.
Jangan bilang kalau dia tengah cemburu?! 28
***
Hanya butuh waktu sejam, pemotretan tiga produk endorse itu selesai. Benar-benar kilat memang. Selebgram lain bahkan sampai butuh waktu empat jam demi menghasilkan satu foto yang paling bagus, sementara aku tak pernah selama itu. Apalagi sekadar satu foto. 5
Sepanjang pemotretan, Arion selalu berada di dekatku. Aku semakin yakin jika laki-laki itu sepertinya terganggu dengan keberadaan Yuris. Kini, aku mulai memahami bagaimana laki-laki itu ketika tengah cemburu. Dia selalu memasang ekspresi tenang dan tidak keluar sepatah kata pun.
Diam-diam aku bahagia mengetahui Arion yang tengah cemburu karena keberadaan Yuris. Padahal andai laki-laki itu, Yuris memang karakternya seperti itu. Aku akan tertawa jika ada yang mengira bocah tengil itu menyukaiku. 1
“Coba lihat ini! Bagus, kan?” Tiba-tiba Yuris memperlihatkan fotoku yang berdiri di tangga.
Aku sedikit melongok, namun tetap memberi jarak. Aku mengangguk membenarkan. Dalam foto itu, aku terlihat candid—padahal sengaja bergaya seolah-olah tidak sadar kamera.
“Bagusan fotoku ketimbang Agni, kan? Jelas lebih bagus hasil fotoku-lah.”
Aku reflek berdecih pelan. “Kalau Agni tahu, pasti kamu bakalan habis.”
Laki-laki tengil itu hanya mengedikkan bahu tak acuh. Dia tetap menekuri kameranya, meskipun aku sudah sedikit menjauh. “Sepertinya kalian lagi marahan,” katanya tiba-tiba tanpa melihatku.
Aku menoleh ke arahnya. “Kayaknya orang-orang suku Bajo itu juga ngubah kamu jadi sok tahu kayak gini,” selorohku sekadar mengalihkan pembicaraan. Dia tidak perlu tahu, aku dan Arion sedang tidak baik-baik saja saat ini.
“Mungkin,” timpalnya yang disusul dengan kekehan. “Tapi, aku jadi pengin ngelakuin satu permainan buat kalian.”
“Permainan apa?” sergahku cepat.
“Lihat saja nanti. Sepertinya akan jadi hiburanku kalau ngelihat cowok yang duduk di sana itu terbakar cemburu.” Yuris makin terkekeh. Dia lantas mengarahkan kamera DSLR-nya pada sinar matahari yang menelusup di sela-sela daun Mahoni Afrika. 7
Aku menahan geram. Aku paham gelagatnya. Untuk urusan mengerjai orang, bocah tengil ini tidak akan tanggung-tanggung. “Jangan coba-coba ngerjain dia!” 2
Dia tidak menghiraukanku. Dia malah mengarahkan kameranya ke arahku. “Lihat cowok di belakangmu itu. Aku tahu, di balik wajah tenangnya itu, hatinya pasti panas sekali. Saking panasnya, aku jadi pengin nyeplok telur di situ.” 11
Aku memutar bola mata malas. Di saat yang bersamaan, suara bidikan kamera terdengar. Aku sontak berdecak kesal karena bocah tengil itu sengaja mengambil ekspresi wajahku yang tidak siap kamera.
Dia meregangkan tangannya. “Duh ... aku jadi nggak sabar. Sepertinya liburanku di Jakarta akan sangat menyenangkan dengan permainan itu.” 3
Ketika dia kembali menyebut permainan, pikiranku seketika terbayang apa yang dilakukannya pada Arion. 6
Aku mendesis meluapkan kejengkelan. Bocah tengil itu benar-benar .... 3
Tbc
***
Lupa ngasih tahu kalau ada GA novel Episode Kedua. Follow IG-ku @isnaini.ibiz biar tahu akun mana saja yang ngadain GA, yaaaa. Total ada 5 eks EK nih. 🤩🤩 5