Dua Belas (2) Not a Dreaming Marriage (Completed)
novel.goshere.xyz Situs Berbagi Cerita, Baca novel online gratis beragam cerita. Temukan aneka novel romance, novel horor, dan novel adult romance. Saat ini novel.goshere.xyz Situs Berbagi Cerita Dua Belas (2) Not a Dreaming Marriage (Completed)
Vote-nya man teman. Karena vote-mu menentukan kecepatan update. π
Kalau agak seret berarti agak ditunda dulu. π
***
Aku merebahkan tubuh ke kasur. Aroma Arion seperti memenuhi kamar ini. Aromanya seakan enggan menghilang, meskipun ditinggal penghuninya dua tahun lalu. Aku tahu, biarpun sudah pindah ke apartemen, hampir tiap weekend dia selalu menyempatkan pulang ke rumah ini.
Tatapanku lurus tertuju pada langit-langit kamar. Bayangan beasiswa yang diberikan Arion malam kemarin tiba-tiba menari-nari di kepalaku. Pipiku seketika terasa memanas. Aku menepuk-nepuknya pelan. "Apa, sih, Ta?" desisku kesal sendiri. Namun, bibir tipis ini malah menyunggingkan senyum tiap kali mengingat istilah tak biasa yang digunakan Arion untuk memberi pelayanan batinku. 5
"Mentang-mentang punya bimbel online." Aku terkekeh sendiri menirukan komentar Agni.
Aku kembali bangun. Kuraih ponsel di nakas. Lalu, menggeser layar.
Abang : Sptnya aku baru bisa plg jam 10. Nanti kamu tidur duluan, ya. Jgn nunggu aku.
Itu pesan terakhir yang dikirim Arion saat aku tengah mengobrol dengan Ibu di ruang tengah tadi. Pagi tadi, dia memberitahuku jika dia mungkin akan pulang malam. Kupikir, setelah Isya laki-laki itu sudah sampai ke rumah ini. Namun, ternyata jadwal kepulangannya malah mundur sampai pukul 10 malam.
Malam ini, kami berencana menginap di rumah Ibu. Arion yang mengajakku. Bukan aku. Karena besok hari Sabtu.
Saat tahu aku menginap di rumah Ibu, Mama sempat cemburu karena aku lebih mengutamakan mertua ketimbang ibunya sendiri. Selama menikah, aku memang belum sekali pun menginap di rumah Mama. Wajar kalau Mama merasa diibutirikan seperti ini.
Aku mendesah pelan. Beginilah jika menikah dengan tetangga sebelah rumah. Urusan menginap saja bisa menjadi kecemburuan antar ibu. Aku yakin, andaikan kami menginap di rumah Mama, mungkin Ibu yang merasa dimertuatirikan. 3
Aku terkikik sendiri ketika menyebut mertua tiri. Ada-ada aja aku ini.
Ponsel kuletakkan kembali ke atas nakas. Ujung mataku menangkap dua foto berbingkai yang membisu di sana. Aku mengerling ke arah foto wisuda Arion saat lulus S2 di Stanford University, tiga tahun lalu.
Kuambil foto itu hati-hati. Dalam foto ini Arion tampak tersenyum lebar mengenakan jubah dan toga wisuda. Di sebelahnya ada Ayah, Ibu, Mbak Indira, Mbak Aliya dan Nessa. Aku ingat, saat itu Mbak Indira ingin mengajakku ikut serta. Namun, aku menolaknya. 1
Jika aku nekat ikut, memangnya sebagai apa aku? Mungkin kehadiranku malah membuat risih Arion yang-kutahu-tidak menyukaiku. 5
Aku mengembalikan bingkai foto itu ke tempat semula. Lirikan mataku terarah ke foto di sebelahnya. Itu foto setahun lalu saat kami (keluargaku dan keluarga Arion) liburan bersama ke puncak. 1
Keningku mengernyit ketika melihat siapa yang berdiri tepat di belakangku.
Arion? 6
Aku ternganga.
Kenapa aku baru menyadari jika saat itu dia berdiri di belakangku?
Aku ingat, kala itu, kami tidak bertegur sapa sama sekali. Aku selalu memilih bersama Bang Gibran tiap kali Mbak Indira atau Mbak Aliya mengajak bergabung. Aku tidak mungkin mendekat jika di sana ada Arion. 1
Di ponselku memang tidak ada foto ini karena foto tersebut diambil menggunakan kamera mirrorless milik Arion. Saat itu-setelah Arion memasang kamera pada tripod-dia ikut bergabung belakangan. Kupikir dia berdiri di belakang Nessa yang berada di barisan pinggir. Namun, entah mengapa laki-laki itu malah berdiri di belakangku-padahal aku berada di tengah.
Senyumku terkembang. Aku kembali merebah. Foto itu terus kupandangi lekat-lekat. Tepatnya, pada laki-laki yang hanya kelihatan kepalanya-di belakangku. Meski dia tidak tersenyum selebar foto pertama, hatiku sudah terlampau berbunga-bunga.
Foto itu kupeluk erat-erat. Seolah Arion berada di sini, lalu menyambut rengkuhanku.
Aku tersenyum geli sendiri membayangkan itu.
Mataku terpejam. Aku tidak berniat untuk menuruti pesan Arion yang memintaku tidur lebih dulu. Aku akan terjaga sampai dia pulang dan menanyakan mengapa dia memilih berdiri di belakangku saat itu?
Bermenit-menit terpejam, sepertinya ada sesuatu yang menghalauku pelan-pelan. Sampai kemudian, aku merasa jiwa ini seolah diterbangkan, lalu melayang-layang ke alam mimpi.
Jangan bilang aku sudah terlelap? Aku belum tidur, kan?
Kuharap aku masih terjaga karena aku harus bertanya kepadanya malam ini. Seolah kesabaran untuk bertanya pada laki-laki itu seakan tak ada esok lagi.
Tapi, kenapa aku malah-seperti-semakin terlelap?
***
Aku terbangun ketika tenggorokanku terasa kering. Aku meregangkan tubuh, lalu melirik ke sisi kanan. Masih kosong.
Apa Abang belum pulang?
Aku mengerling pada jam beker di atas nakas. Sudah pukul sebelas malam.
Reflek aku menutup kuapan dengan tangan kananku, lalu bangkit. Dengan langkah lesu, aku berjalan menuju pintu keluar. Ketika mencapai anak tangga paling atas, ternyata lampu ruang tengah masih menyala. Aku melangkah pelan. Saat menuju kelokan tangga, langkahku tiba-tiba terhenti.
"Sepertinya Ayah Ibu harus pikirkan lagi soal perjodohan ini. Nessa sepertinya sangat tertekan, Bu. Dia kemarin sampai menangis saat menemuiku di kantor."
Aku tertegun. Itu suara Arion. Sepertinya dia tengah berbicara dengan Ibu. Entah apakah ada Ayah di sana.
"Tapi, Gibran itu anaknya baik, Rion. Ayah Ibu sudah kenal betul sama dia. Sekarang nyari jodoh itu juga nggak mudah. Milih-milih pasangan juga harus hati-hati. Kalau ada anak tetangga dekat, sekaligus sahabat dekat yang baik yang pantas mendampingi Nessa, nggak ada salahnya kalau kami menjodohkan mereka, kan? Soal cinta, toh Mbak Indira sama Mbak Aliya yang awalnya nggak suka, mereka juga adem ayem sama suaminya," papar Ibu panjang lebar.
"Nessa itu beda sama Mbak Indira dan Mbak Aliya, Bu. Ibu tahu sendiri gimana karakternya dia, kan?"
"Kalau soal itu, biar Ibu sama mbak-mbakmu nanti yang coba mengertikan dia. Toh, Nessa belum lulus, dia baru nulis skripsi." Ibu sepertinya tetap keukeuh.
"Justru itu yang membuatnya nggak bisa fokus dengan skripsinya, Bu. Dia merasa tertekan karena setelah lulus nanti dia akan menikah dengan seseorang yang Ayah Ibu jodohkan."
Aku tercekat. Meski yang ditolak adalah Bang Gibran, hatiku seperti ditusuki sebuah jarum yang runcing. Seolah aku ikut merasakan apa yang dirasakan Bang Gibran ketika dia sampai mendengar ini.
Tertekan?
Tidak fokus pada skripsi?
Bahkan, itu bukan sekadar penolakan. Nessa sudah menganggap Bang Gibran ibarat kuman yang harus dibersihkan.
Aku tersenyum getir. Padahal Bang Gibran bukan berwajah buruk rupa. Dia juga tergolong pintar di sekolah dulu. Dia bahkan diterima di jurusan Teknik Sipil di UI.
"Aku mohon, Ibu bisa menyarankan pada Ayah untuk mempertimbangkan ini. Biar Nessa yang memutuskan sendiri. Kasihan dia jika terlalu dipaksakan seperti ini."
Dipaksa?
Dadaku terasa panas. Entah aku merasa marah karena penolakan Nessa atau justru pada diriku sendiri. Kata itu entah menghilang ke mana akhir-akhir ini.
Ya, aku seperti melupakan kenyataan mengapa Arion menikahiku.
"Untuk membina hubungan yang baik itu nggak harus dengan menjodohkan, Bu. Tanpa perjodohan pun, hubungan Ayah Ibu sama Papa Mama, aku yakin akan tetap baik."
Meski Arion-mungkin-menyampaikan keinginan Nessa, mengapa aku merasa dia seperti tengah menyuarakan isi hatinya? 1
Mataku seketika berkabut. Bulir-bulir hangat itu seakan mengantre menyesaki pelupuk mataku.
"Apa kamu juga merasa terbebani karena Ayah sama Ibu menjodohkan kamu dengan Lovita?"
Aku menggigit ujung bibir bawahku pelan. Air mata yang terasa membendung itu kutahan rapat-rapat. Ibu seakan mewakili pertanyaanku.
"Kenapa Ibu malah bertanya seperti itu, sih?"
"Jawab pertanyaan Ibu dulu, Rion!" sergah Ibu cepat-cepat.
Aku menunggu cemas. Gigitan bibir bawahku semakin kuat. Mungkin ada bekas merah ketika kulepas nanti. Aku tak ingin tangisku tumpah di sini. Namun, aku harus bertahan sebentar demi mendengar pengakuan Arion.
Lama menunggu, laki-laki itu masih belum bersuara. Kuartikan, diamnya Arion sebagai jawaban.
Dia merasa terbebani karena perjodohan ini.
Dia menikahiku karena terpaksa.
Dia ....
Tumitku seakan melemas. Bulir-bulir air mata itu melompat keluar. Aku buru-buru membekap mulut agar isakannya tidak sampai terdengar ke ruang tengah.
Dengan gerakan pelan-dan sempoyongan-aku menaiki tangga. Sekuat tenaga aku berusaha sampai hingga kembali ke kamar.
Bingkai foto yang tadi kupeluk itu masih membisu di ranjang. Aku melirik pada seseorang yang berdiri di belakang Nessa. Sekarang tanpa bertanya pada Arion pun, aku tahu jawabannya. Aku tahu alasan mengapa laki-laki itu berdiri di belakangku.
Bang Gibran-lah alasannya. Dia yang membuat Arion bertukar tempat dengannya. 4
Aku terduduk. Tangisku semakin pecah-meski berusaha kuredam suaranya agar tidak terdengar ke lantai bawah. Dengan gemetar aku mengembalikan bingkai foto itu ke posisi semula.
Kuhapus lelehan air mata itu kasar. Lebih baik aku segera bersembunyi di balik bedcover, lalu segera tidur agar aku tidak sampai melihat laki-laki itu saat kembali ke kamar ini nanti.
Namun, harapanku pupus ketika kudengar derap langkah kaki berjalan mendekati pintu. Cepat-cepat kunaikkan bedcover hingga ke leher, lalu memejamkan mata rapat-rapat.
Kudengar derit pintu dibuka. Suara pijakan kaki itu seperti berjalan mendekat. Kuharap Arion tidak melihat jejak-jejak air mata di pipiku.
Aku berjengit ketika sisi kiri ranjang ini bergerak. Arion sepertinya memilih duduk di sebelahku. Meski terpejam, aku seakan bisa melihat Arion yang tengah menatapku lama, lalu dia menghela napas pelan.
Entah apa yang dipikirkan laki-laki itu. Aku tak ingin tahu dan tidak mau menebak-nebak lagi. Otakku terlalu kacau untuk memikirkannya lagi. 2
Ranjang ini kembali bergerak. Kurasakan tangan kukuh itu mengusap kepalaku lembut. Dan seketika aku hanya bisa membeku saat kecupan yang hangat itu hinggap di pelipisku. 1
Aku masih bergeming-dengan mata terus terpejam-ketika dia bergerak menjauh. Sampai suara gemericik air dari kamar mandi terdengar, aku baru membuka mata.
Tanganku meraba pelipis yang tadi dikecupnya.
Kenapa dia mengecup pelipisku? Bukankah dia merasa terbebani karena perjodohan ini? Lalu, kenapa dia...? 20
Sikapnya benar-benar membingungkan. Dan aku semakin tak mengerti mengartikan perlakuannya ini. 11
TBC
***
Beasiswanya sengaja di-skip dan bakal ada di novelnya yaaaa. ππ 26
Yang lupa vote part sebelumnya, tengokin gih. Kali lupa. Itu vote selisihnya agak jauh sama yang sebelumnya. π 10