Enam Not a Dreaming Marriage (Completed)
novel.goshere.xyz Situs Berbagi Cerita, Baca novel online gratis beragam cerita. Temukan aneka novel romance, novel horor, dan novel adult romance. Saat ini novel.goshere.xyz Situs Berbagi Cerita Enam Not a Dreaming Marriage (Completed)
“Aku nggak bisa nganter kamu, Ta.”
Itu yang dikatakan Arion saat aku meminta izin untuk datang ke acara peluncuran kosmetik halal ketika kami sarapan bersama pagi tadi. Dia lembur di kantor. Sebagai istri dari suami yang supersibuk, aku harus bisa memahaminya. Ya, meskipun itu tak mudah untukku. Kupikir, istri mana pun akan merisaukan suaminya ketika tahu ada sosok perempuan yang selalu bersamanya tiap kali dia lembur. 1
Aku termangu menatap layar ponsel.
Shenina.
Perempuan itu baru saja mengunggah instastory terbaru. Aku mungkin akan bereaksi biasa-biasa saja jika dia hanya foto sendirian atau bersama teman-temannya. Tapi, seseorang yang duduk di samping Shenina dan tengah tersenyum ke arah kamera itu serasa mencubiti semua bagian hatiku.
Senyum Arion benar-benar berbeda. Senyum itu lebih lebar ketimbang dia berfoto denganku di atas pelaminan saat itu. 16
Mataku tiba-tiba berkabut.
Aku tahu, mereka memang tidak hanya berdua. Di sebelah kanan Arion ada Ghandi yang merupakan sahabat dekat Arion sejak SMA dan juga bekerja di KelasSeru. Di samping Ghandi, masih ada dua perempuan yang aku yakin juga bagian dari KelasSeru.
Ya, seharusnya aku tak perlu cemburu melihat kedekatan mereka. Toh, mereka tidak hanya berdua. Seharusnya aku juga tak perlu berlebihan menanggapi perbedaan ukuran senyum Arion yang lebih lebar ketimbang foto kami di atas pelaminan.
Tapi, kenapa mereka selalu duduk sebelahan? Lalu, senyum itu?
Meski berusaha mengenyahkan, nyatanya pertanyaan itu masih menari-nari di dalam pikiranku.
Aku menghela napas panjang. Inilah efek buruknya jika aku sampai membuat akun lain, lalu jadi stalker IG story Shenina.
“Perasaan dari tadi Vita cuman diem aja ya, Beb? Mungkin dia ngerasa jadi obat nyamuk di sini.” Suara Agni mengalihkan perhatianku. Dia mengerling jahil saat aku melirik tajam ke arahnya.
Pandanganku spontan bergeser pada tautan tangan Agni dengan suaminya yang saling menggenggam satu sama lain. Aku mendengus pelan. Tidak salah jika aku seperti obat nyamuk karena harus melihat kemesraan mereka. 3
Aku membuang pandangan pada lampu-lampu jalan yang—seolah—tak lelah berlari di tengah ingar bingar Jakarta saat malam hari. Saat kubilang Agni juga akan datang ke acara itu, Arion akhirnya mengizinkanku pergi. Apalagi ketika kukatakan, Agni akan diantar suaminya. Meski Arion tidak mencintaiku, aku tahu dia tetap peduli denganku. Mungkin rasa pedulinya itu sekadar tanggung jawab karena dia sudah menikahiku.
Lagi-lagi, mataku terasa memanas.
***
Aroma cokelat berpadu susu menguar memasuki indera penciuman. Aromanya semakin kuat seiring dengan suara langkah kaki yang berjalan mendekat. Aku menoleh ketika seseorang menyodorkan secangkir cokelat panas itu kepadaku. Uapnya tampak meliuk-liuk dimainkan angin malam yang berembus pelan.
“Untuk adik bontotku tersayang.”
Aku tertawa sekilas, lalu menerima secangkir cokelat panas itu hati-hati. Tadinya, aku yang berniat membuat cokelat panas untuk Bang Gibran. Namun, kakak tengilku ini malah mendahuluiku ke pantri.
“Biar aku yang buatin.” Itu yang dikatakannya tadi. Tentu saja aku tahu alasannya. Meskipun aku tidak sampai keliru memasukkan garam ke dalam minuman, nyatanya cokelat panas buatanku tidak seenak buatan Bang Gibran.
Aku tidak tersinggung meskipun Bang Gibran tidak menyukai minuman buatanku. Justru aku paling tidak suka jika orang hanya berpura-pura menyukai lantaran tidak ingin membuatku tersinggung.
Aku tercenung.
Sudah seminggu ini aku punya tugas baru. Ketika Arion memasak sarapan, aku bertugas membuatkan minuman untuknya. Segelas teh hangat di pagi hari itu selalu dihabiskannya sebelum berangkat kerja. Begitu pun saat malam hari ketika dia berada di ruang kerjanya. Cokelat panas atau kopi hitam buatanku selalu diminumnya. Entah minuman itu sudah pas di lidahnya atau sekadar karena tidak ingin membuatku tersinggung.
Aku tersenyum miris. Instastory Shenina yang kulihat saat masih berada di mobil Agni tadi kembali membayang.
“Apa Arion tiap malam selalu lembur?”
Suara Bang Gibran memecah kebisuan di antara kami. Aku mengerling sekilas. Lelaki itu menyesap cokelat panas perlahan. Matanya menatap lurus ke depan. Aku mengikuti arah pandangannya. Lalu, bergeming pada gemerlap cahaya berkilauan dari gedung-gedung tinggi di sekitar apartemen.
Tadi, sebelum acara selesai, aku memilih menghubungi Bang Gibran. Memintanya untuk menjemputku. Meskipun ada Agni, aku tidak mungkin pulang terlalu larut malam tanpa ditemani suamiku. Beruntung saat dihubungi, Bang Gibran bersedia menjemputku.
“Nggak setiap hari dia lembur, kok, Bang,” jawabku setelah terdiam beberapa saat.
Memang tidak setiap hari. Setelah menikah, dia hanya lembur jika pekerjaannya itu harus diselesaikan bersama tim yang lain. Setidaknya, itu yang bisa kusimpulkan tiap kali aku stalking instastories Shenina dan tim KelasSeru lainnya. Saat Arion lembur, pasti selalu ada mereka.
Dan jangan lupakan dia yang selalu duduk di sebelah Shenina.
“Baguslah kalau dia nggak sampai lembur terus. Aku sempet khawatir juga waktu kulihat dia begitu bekerja keras untuk memajukan perusahaannya. Aku cuma khawatir kalau kamu nanti dinomorduakan dengan pekerjaannya,” tutur Bang Gibran pelan. 6
Aku tersenyum kaku. Ya, pada kenyataannya dia tidak sampai menomorduakan aku dengan pekerjaannya. Entah bila aku dibandingkan dengan perempuan itu.
“Dia tetap peduli sama aku. Bang Gibran nggak perlu khawatir,” kataku pelan tanpa memandangnya.
Dari ekor mataku, Bang Gibran mengangguk pelan. Dua sikunya bertumpu pada pembatas balkon. Lalu, kembali menyesap cokelat panasnya. “Mungkin ... malah aku yang perlu dikhawatirkan. Mau aku usaha apa pun, sepertinya Nessa benar-benar nggak menyukaiku.”
Aku menoleh. Kakak lelakiku itu terkekeh bertepatan dengan suara klakson yang bersahutan di bawah sana. Dari air mukanya, aku tahu, dia sedih karena perasaannya tidak bisa berbalas.
“Apa menurutmu ... aku harus menyerah?”
Aku tertegun. Sebentar lagi Nessa akan lulus kuliah. Orang tua kami memang berencana menjodohkan mereka berdua—mengikuti ketiga saudaranya yang sudah menikah. Besar kemungkinan setelah Nessa lulus nanti, Papa akan meminta Bang Gibran untuk melamar adik bungsu Arion itu.
“Gimana aku nggak nyerah? Tiap kali dia lihat aku saja selalu pasang muka ketus.” Lagi-lagi Bang Gibran terkekeh.
Jangankan Bang Gibran, denganku saja, Nessa selalu bersikap dingin. Sepertinya adik kesayangan Arion itu tidak rela jika kakak kebanggaannya menikah dengan perempuan tidak pintar sepertiku.
Aku menepuk-nepuk pelan pundak Bang Gibran, sekadar menguatkan. Lidahku terasa kelu. Tidak tahu harus memberi saran apa kepadanya.
Toh, perasaanku sendiri juga tidak berbalas sepertinya, bukan? Bedanya, aku sudah menikah dengan laki-laki yang tidak mencintaiku, sementara dia bisa saja memilih mundur karena tidak mau menyakiti Nessa.
Aku menghela napas panjang. Lalu, tersenyum getir.
***
Aroma teh terhidu. Parfum ini begitu familier di hidungku. Meski seringkali berjarak, aku selalu ingin berlama-lama di dekatnya. Aroma tehnya begitu menenangkan. Membuatku terkadang membayangkan bagaimana rasanya jika dia memelukku sepanjang malam. 2
Seakan seperti mimpi.
Wangi parfum ini beraroma tubuhnya. Aromanya tercium sangat dekat. Dekat sekali.
Saat aku bergerak pelan, pucuk hidungku terasa bersentuhan dengan kulit. Kulit yang ... tidak selembut lenganku.
Saat menyadari kulit siapa yang bersentuhan dengan hidungku, seketika aku membuka mata. Tanpa sempat mengerjap, aku terbelalak semakin lebar.
Aku buru-buru bangkit. Namun, lengan kukuh itu rupanya memeluk pinggangku erat. Mataku menatap tak percaya pada seraut wajah yang masih terlelap.
Arion memelukku?
Ah, bukan.
Mungkin dia hanya nggak sengaja?
Ada tiga kemungkinan yang bergumul di otakku.
Pertama, Arion tidak sadar jika dia memelukku.
Kedua, aku yang tidak sadar tengah memeluknya duluan. Lalu, dia membalas pelukanku.
Dan ketiga, Arion memang ... sengaja memelukku. 4
Aku menggeleng pelan. Kemungkinan ketiga itu lebih tidak mungkin lagi. Apalagi jika mengingat bagaimana dia tersenyum saat berfoto di sebelah Shenina. Aku lebih memercayai kemungkinan pertama atau kedua.
Katakan aku terlalu lemah. Saat mataku melirik lengannya yang kukuh, entah mengapa kepalaku malah kembali merebah di atasnya.
Arion masih pulas. Dia tidak akan tahu jika saat ini aku sengaja menyandarkan kepalaku pada lengan kirinya. Lengan Arion seakan melambai-lambai menawarkan kenyamanan.
Aku selalu membayangkan, bagaimana rasanya tidur berbantal lengan Arion yang tampak bantalable itu. Dan malam ini, aku akhirnya merasakannya. 2
Seakan terhipnotis dengan rasa nyaman yang ditawarkan, aku malah menyurukkan kepala ke dalam ceruk leher Arion, lalu membalas pelukannya. 4
Tbc 5
***
Uwooooo uwooooo uwooooo. Ada anak SMP nggak di sini? 🙈🙈🙈😂😂 12
Kira-kira Arion sengaja meluk atau nggak nih? 😎 42
Karena masih remvoooooong, update belum bisa terjadwal. Muuup. Yang penting sampai ending. Ye, kan? 😁 9
Oh, ya. Banyak yang bilang kenapa aku memunculkan karakter oneng kek Lovita? 10
Duh, Lovita itu nggak seoneng yang dikira readers. Kalau dia seoneng itu, aku nggak mungkin nekat pakai POV 1. Tunggu saja kejutannya, ya. 😁
20