Tujuh Belas Not a Dreaming Marriage (Completed)
novel.goshere.xyz Situs Berbagi Cerita, Baca novel online gratis beragam cerita. Temukan aneka novel romance, novel horor, dan novel adult romance. Saat ini novel.goshere.xyz Situs Berbagi Cerita Tujuh Belas Not a Dreaming Marriage (Completed)
Maapin yang janji mau update maren, eh ternyata keadaannya nggak mendukung. 🙏 2
Vote-nya jangan lupa, ya. 🤭 1
Semoga sehat semuanya. Semoga pandemi global ini segera berlalu, ya. Jaga imun dengan konsumsi makanan bergizi seimbang. Berjemur pas pagi hari, dan berdoa semoga kita semua terhindar dari wabah ini. Aamiin.
***
Jika aku sutradara dalam sebuah sinetron stripping pasti penonton akan mengataiku habis-habisan. Di saat tegang-tegangnya, sutradara malah memutuskan “bersambung”. Ketika menunggu episode berikutnya, dengan teganya sutradara justru memberi harapan palsu. Dia sengaja menunda pertemuan tokoh utamanya demi memperpanjang rasa penasaran penontonnya. 1
Dan ... ini pula yang terjadi padaku. Pada akhirnya, aku masih saja tidak berani menanyakan surat cinta itu kepadanya. Meskipun hanya bagian masa lalu, pada kenyataannya hatiku belum siap menerimanya.
Dia baru saja mengakui bagaimana perasaannya kepadaku. Aku hanya ingin menikmati hari-hariku tanpa bayangan perempuan itu. Setidaknya untuk sementara ini. Sampai suatu hari nanti aku benar-benar siap dengan apa pun penjelasan yang akan dikatakannya padaku.
Aku melihat Arion menggeleng-gelengkan kepalanya dengan menampakkan raut kesal ketika aku berjalan ke arahnya. Di tanganku ada sepotong puding regal cokelat dengan vla cokelat yang ditaruh di atas piring. Setelah mengikuti cooking class secara online, aku jadi semakin hobi berkreasi di dapur. Meskipun beberapa kali mengalami kegagalan, Arion akan tetap setia mendukungku. Apa pun hasilnya, dia selalu menjadi orang pertama yang mencicipi hasil kreasiku di dapur.
“Ada apa?” tanyaku seraya duduk di sebelahnya.
Matanya masih fokus pada layar televisi yang dia tonton. “Sepertinya mereka berjuang keras untuk menarik minat para pelajar beralih ke bimbel online mereka.”
Aku mengikuti arah pandang Arion. Seminggu ini, acara televisi hampir dipenuhi dengan promo PelajarPintar—sebuah aplikasi bimbel online yang baru di-launching enam hari lalu. Tidak tanggung-tanggung, mereka bahkan berani blocking time di jam primetime. Kata Arion, biaya untuk membeli jam tayang di waktu utama jauh lebih mahal ketimbang di luar jam primetime. Karena pada waktu itu, banyak orang yang memilih duduk santai di depan televisi.
Saat launching saja, mereka sampai mengundang boyband iKON hingga ditayangkan secara live di seluruh stasiun televisi swasta di Indonesia. Bahkan, sampai esok hari pun, semua stasiun televisi masih kompak menayangkan ulang acara itu. 12
“Iya. Aku sampai bosen, tiap buka tivi langsung ketemu PelajarPintar. PelajarPintar mulu yang keluar.”
Arion tertawa pelan. “Yang paling kusayangkan, kenapa mereka sampai mengadakan undian berhadiah untuk para pelajar yang berlangganan bimbel online mereka? Pelajar itu butuh ruang belajar yang nyaman. Ruang belajar yang membuat mereka merasa belajar itu adalah sesuatu yang menyenangkan. Dan ruang belajar yang menjadikan mereka semakin percaya diri dengan kemampuan dirinya sendiri.”
Aku mengangguk-angguk sepakat dengan pendapat Arion. Bukan hanya diskon besar-besaran agar para pelajar—dalam hal ini orangtuanya—tertarik untuk berlangganan PelajarPintar, mereka juga mengadakan undian berhadiah. Bahkan, hadiah utamanya saja ada mobil mewah.
“Yang anaknya masih SD mungkin ibunya akan tertarik berlangganan ke sana,” seloroh Arion seraya terkekeh pelan.
Aku tersenyum kecil. Tipikal ibu kebanyakan. Dalam hal apa pun mereka pasti akan mencari yang secara materi lebih menguntungkan.
“Mereka lupa kalau anak-anak sekarang itu sangat kritis sekali. Yang usia SD mungkin akan patuh dengan pilihan ibunya. Sementara mereka yang sudah remaja, kupikir mereka akan lebih memilih tempat belajar yang membuat mereka menemukan apa yang mereka cari selama ini. Dan itu semua ada di KelasSeru.”
“Aku yakin anak-anak itu tetep bakalan pilih KelasSeru biarpun mereka sampai harus promo besar-besaran kayak gini.”
“Sebenernya aku nggak khawatir dengan kehadiran mereka. Malah bagus jika kita bisa bersama-sama memajukan pendidikan di negeri ini. Tapi, kalau melihat bagaimana cara mereka menarik pelanggan agar beralih ke bimbel online mereka, sepertinya ada yang salah dengan tujuan mereka mendirikan bimbel ini. Apa jadinya negeri ini jika pendidikan dikomersialkan?” 7
Aku memandang hangat Arion. Dulu, kupikir, kita akan kesulitan berbicara panjang lebar seperti ini membahas isu-isu tertentu. Meskipun terkadang, aku kurang paham dengan apa yang dibicarakannya, dia selalu menjadi teman diskusi yang menyenangkan untukku. Saat aku belum paham, dia akan dengan senang hati menerangkan untukku.
“Kamu buat puding?”
Pandangan Arion sudah beralih pada piring yang berisi sepotong puding yang kuletakkan di atas pangkuanku.
“Tadi siang bikinnya. Yang paling mudah bikin ya baru itu. Makanya bikin puding aja dulu.”
Aku belum pintar baking. Berkali-kali mencoba, adonan selalu tidak bisa mengembang dan hasilnya bantat. Padahal aku sudah mempraktikkan seperti resep yang kudapat dari hasil googling. Mungkin aku butuh ikut kelas baking agar kelak bisa mahir dalam per-baking-an. 5
“Itu butuh proses, Ta. Nanti kamu juga bakal bisa bikin ini itu kalau mau belajar terus,” tutur Arion sembari menyendok puding itu, lalu memasukkan ke dalam mulutnya setelah membaca doa.
“Gimana? Enak?” tanyaku setelah dia merasakannya.
Dia mengangguk-angguk seraya menjawab, “Enak.”
“Serius?”
“Kamu itu kebiasaan, ya? Kalau aku bilang gini kamu pasti nggak percaya.” 1
Aku nyengir. “Bukan nggak percaya sama yang Abang bilang. Kan, buat ngeyakinin aku aja.”
Arion hanya menggelengkan kepalanya.
“Kalau gitu mana rapornya?” tagihku seraya menyodorkan tangan kananku ke arahnya.
“Jangan terlalu sering dicoret-coret, Ta. Nggak bagus buat kulit,” tolaknya seraya menyambut tanganku dengan menggenggamnya erat.
“Itu juga Abang tahu. Terus, pas kuminta Abang bilang cinta sama aku, kenapa malah milih nulis di tanganku?”
Dia hanya tersenyum menanggapi protesku.
“Lebih baik aku ganti stempel saja, ya? Rapor sama piagam penghargaannya waktu itu belum aku kasih stempel, kan?”
“Stempel?”
Arion mengangguk. Sebelum aku bisa mencerna maksud dari stempel yang barusan dikatakannya, aku sontak terpana ketika dia mengecup lembut punggung tanganku. 16
Jadi ... ini yang dimaksud stempel itu? 3
Tempias air hujan seperti berlompatan mengenai hatiku. Ada sensasi dingin yang seolah menembus, lalu mengalir di sepanjang pembuluh darahku.
“Ternyata ... Abang bisa romantis juga.”
Dia tersenyum seraya mengusap tengkuknya dengan sebelah tangannya yang bebas. “Melihat bagaimana karaktermu, sepertinya aku harus bisa mengimbangimu.”
Aku mengernyit tak paham. “Maksud Abang apa?” 1
“Coba dipahami sendiri.” 2
Dia lagi-lagi tersenyum sembari mengacak lembut rambutku dengan sebelah tangannya yang bebas, lalu melepas tautan jemarinya untuk kembali menyantap dessert buatanku.
***
Hari perpisahan itu akhirnya tiba juga.
Bang Gibran benar-benar memutuskan pergi ke pulau seberang. Mulai esok hari, aku tak lagi bisa bertemu dengannya seperti biasanya. Mungkin hanya video call yang bisa mengobati rasa rinduku padanya.
“Hati-hati di perjalanan nanti, Gib. Baik-baik di sana,” pesan Ayah—mertuaku—ketika Bang Gibran menyalaminya untuk berpamitan. Ibu yang berada di sampingnya masih saja menitikkan air mata.
Saat kulirik Mama, berkali-kali juga mengusap butiran bening yang terus membasahi kedua pipinya.
Aku tahu, mereka menginginkan keempat anaknya bisa menikah dan tetap tinggal di Jakarta. Namun, ketika Allah berkehendak lain, mereka bisa apa?
Bang Gibran dan Nessa mungkin tidak ditakdirkan satu sama lain seperti kami, ketiga saudaranya. Apalagi Nessa yang terang-terangan menolak Bang Gibran. 1
Entahlah.
Aku tidak tahu apa yang terjadi ke depan. Kuharap siapa pun yang menjadi pendampingnya nanti, dia akan menerima Bang Gibran apa adanya.
Saat ini, semua keluargaku dan keluarga Arion berada di halaman rumah Papa. Bang Gibran keukeuh tidak mau diantar sampai bandara. Bahkan, hanya dengan Arion pun dia menolaknya.
“Cukup sampai depan gerbang aja, Pa, Ma, Yah, Ibu.” Begitu yang tadi dikatakan Bang Gibran saat kami berkumpul di rumah Papa.
Bahkan, panggilan Bang Gibran untuk Ayah Ibu tidak berubah. Saat dia mengganti sapaan dengan Om dan Tante, mereka sontak menolaknya.
“Meskipun kamu nggak sama Nessa, tetep panggil kami Ayah dan Ibu. Bagaimana pun kami sudah menganggapmu seperti anak sendiri,” tukas Ayah saat itu.
Bang Gibran kini berjalan ke arahku. Sejak tadi, aku berusaha agar terlihat lebih tegar. Aku tidak mau membuat kakak ketigaku itu semakin berat meninggalkan Jakarta. Tapi, sepertinya aku tidak sekuat itu. Saat dia sudah berdiri di depanku, air mata ini akhirnya lolos juga dari pelupuk mataku.
“Astaga! Adik bontotku akhirnya ikut nangis juga. Padahal aku hampir memberimu bintang lima kalau sampai nggak ikut nangis,” seloroh Bang Gibran seraya mendekapku.
Tangisku makin menjadi. Di antara ketiga kakak laki-lakiku, aku paling dekat dengan Bang Gibran. Rasanya ada bagian dari diriku yang hilang, padahal kami hanya terpisah untuk sementara waktu.
“Nanti tiap weekend aku pasti video call-an sama kamu.”
“Cuman tiap weekend?”
“Lah? Biasanya juga ketemuan paling pas weekend atau pas lagi butuh aja, kan?”
Saat begini, bisa-bisanya dia masih senang menyindirku. Ya, harus kuakui, semenjak menikah, aku jarang bertemu dengannya. Sekadar video call-an pun bisa dihitung dengan jari. Itu pun karena ada kepentingan.
Bang Gibran akhirnya melepas dekapannya padaku. Dia sudah berpamitan dengan semuanya. Tinggal Arion yang berdiri di sebelahku yang belum disalaminya.
Ah! Aku hampir melupakan satu orang lagi yang tidak kelihatan batang hidungnya sejak kami berkumpul di rumah Papa.
Nessa tidak ikut bergabung bersama kami. Padahal aku tahu persis, saat ini dia ada di kamarnya.
Entah apa yang membuatnya enggan muncul di sini. Betapa pun dia tidak menyukai Bang Gibran, seharusnya dia tidak seperti ini. Toh, keluarga kami sudah dekat dengan keluarganya sejak dulu.
“Jaga adik gue, Bro,” pesan Bang Gibran kemudian.
Arion mengangguk mantap. “Itu sudah pasti.”
“Gue pergi dulu.” Bang Gibran menepuk bahu Arion, lalu kembali beralih kepadaku. “Jadi istri yang baik. Jangan lupa kabarin aku kalau calon ponakanku udah nongol nanti,” katanya seraya mengacak puncak kepalaku yang terbalut hijab.
Aku hampir berdecak karena ulahnya ini. Namun, ketika dia menyebut “calon ponakan”, aku lantas tersenyum sembari mengaminkan dalam hati. Rumah tangga kami pasti akan semakin berwarna dengan hadirnya buah hati di antara kami.
Membayangkan itu, hatiku terasa menghangat.
Mobil sudah siap di depan garasi. Pintu depan di bagian penumpang sudah dibuka oleh sopir yang hendak mengantar Bang Gibran ke bandara. Sebelum masuk mobil, dia kembali memeluk Mama untuk terakhir kalinya.
“Hati-hati. Nanti kalau udah sampai di sana langsung telpon Mama.”
“Iya, Ma.”
Selepas pelukan mereka terlepas, Bang Gibran bergegas masuk ke dalam mobil. Lambaian tangannya seolah mengakhiri perpisahan ini. Aku terus mengikuti hingga berhenti di ambang pintu gerbang. Pandanganku kini tak beralih sedikit pun sampai mobil hitam itu menghilang di belokan jalan komplek. Meski bayangannya sudah tak terlihat lagi, aku masih bergeming di sini hingga suara seseorang membuyarkanku. 1
“Masuk, yuk!” ajak Arion yang masih berdiri di sebelahku.
Saat aku memindai sekitar, tak ada orang lagi selain kami berdua.
“Kamu mau masuk ke rumah Mama atau Ibu?” tanya Arion seraya tersenyum geli.
“Ya, terserah Abang mau pilih masuk ke mana.”
“Karena tadi kita sudah masuk ke rumah Mama, sekarang giliran ke rumah Ibu, ya?”
Dia lantas menggandeng tanganku. Lalu, berjalan menuju pintu gerbang di sebelah rumah ini.
Jadi, begini rasanya berjodoh dengan tetangga sebelah? Saat lebaran tiba nanti, betapa mudahnya kami bolak-balik ke rumah orang tua atau mertua dalam waktu yang sangat singkat dan tidak sampai menguras tenaga. 3
Aku tersenyum geli sendiri. Hingga Arion membuka pintu gerbang, senyumku seketika melenyap saat mataku tak sengaja menangkap bayangan seseorang yang berdiri di balik jendela kaca di kamar lantai dua.
Kamar di belakang balkon itu adalah kamar Nessa. Aku yakin sekali jika sosok yang berdiri di balik tirai yang tersingkap seperempat bagian itu adalah Nessa. 1
Sejak kapan dia berdiri di situ? Apa dia sudah lama berada di sana saat kami berpamitan dengan Bang Gibran tadi? 3
Jika iya, lalu kenapa? 26
TBC 1